BerandaTafsir TematikTafsir AhkamProgresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)

Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)

Dalam syariat Islam, hukuman bagi beberapa jenis pelaku kejahatan sudah dengan jelas ditegaskan dalam beberapa ayat Alquran. Pelaku perzinaan, misalnya, disanksi dengan hukum rajam sampai mati jika pelakunya sudah memiliki pasangan atau dicambuk seratus kali apabila belum pernah menikah. Pencuri dihukum dengan dipotong tangannya, sebagaimana disinggung dalam Q.S. Al-Maidah ayat 38.

Tujuan disyariatkan hukuman-hukuman tersebut dalam Islam adalah untuk memberikan efek jera dan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa. Jika tujuan ini tercapai maka akan terwujud stabilitas sosial yang tentram dan harmonis.

Sanksi Pencurian dalam Islam

Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelaku tindakan pencurian akan disanksi dengan hukuman potong tangan. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam ayat berikut.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa; Mahabijaksana (Q.S. Al-Maidah [5]: 38).

Berdasarkan ayat di atas, ulama sepakat bahwa orang yang mencuri akan dikenakan sanksi potong tangan. Meski demikian, ulama tetap memberikan beberapa kriteria dan batasan operasional hukuman tersebut. Misalnya, nominal yang dicuri senilai ¼ dinar dan barang tersebut memang disimpan di tempat yang semestinya [Al-Fiqh al-Manhaji, juz 8, hal. 76].

Keputusan Sang Khalifah Membebaskan Hukuman Pencuri

Dalam sejarah Islam, hukuman potong tangan ini tercatat pernah terjadi beberapa kali, baik di zaman Rasulullah maupun pada zaman Khulafa al-Rasyidun sepeninggalan beliau a.s. Pada masa kekhalifahan sahabat Umar bin Khattab pun fenomena hukuman potong tangan pernah diterapkan kepada Ibnu Samurah yang terbukti melakukan tindakan pencurian [Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 6. Hal 160].

Pada saat kekhalifaahn Umar bin Khattab juga, umat Islam dilanda kelaparan karena kekurangan bahan makanan akibat kemarau berkepanjangan. Akibatnya, tatanan masyarakat mulai tidak kondusif dan sering terjadi kejahatan, salah satunya pencurian.

Melihat fenomena tersebut, sikap yang diambil Umar bin Khattab dianggap cukup kontroversial sekaligus progresif. Para pencuri yang seharusnya dijatuhi hukuman potong tangan justru dibiarkan. Alasannya karena situasi yang tidak kondusif dan kelaparan yang melanda masyarakat disinyalir menjadi penyebab sebagian orang melakukan aksi pencurian. Dengan dasar itulah beliau mengambil keputusan bahwa hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan pada waktu itu mengingat kondusifitas sosial yang tidak stabil.

Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Hukum dalam Alquran (Bagian 1)

Pandangan Khalifah Umar bin Khattab ini tidak bisa dinilai mengabaikan nas Alquran. keputusan tersebut justru mencerminkan progresivitas Umar bin Khattab dalam mengaitkan antara teks dan konteks. Sebagaimana diketahui bahwa hukuman potong tangan merupakan bagian dari syariat Islam yang postulat hukumnya sudah ditegaskan dalam Alquran. Akan tetapi, untuk diterapkan dalam suatu kasus pencurian diperlukan suatu kajian untuk memastikan apakah dalam realita tersebut sudah terpenuhi rukun dan syarat operasional hukuman potong tangan atau belum.

Di samping itu, menurut Syaikh Said Ramadhan al-Buthi, keputusan Umar bin Khattab ini sejatinya merupakan upaya mengkompromikan dua nas. Ayat di atas bersifat umum, sebagaimana yang dikatakan Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib. Artinya siapapun pelaku pencuri dalam kondisi apapun harus dihukum potong tangan. Namun di sisi lain, Rasulullah saw. memerintahkan agar sebisa mungkin hukuman itu dihindari. Beliau saw. Bersabda;

ادْفَعُوا الْحُدُودَ مَا وَجَدْتُمْ لَهُ مَدْفَعًا

Cegahlah hukuman-hukuman (al-hudud) selagi kalian menjumpai alternatif (H.R. Ibnu Majah)

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I) 

Atau dalam redaksi lain beliau bersabda;

ادْرءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا فَخَلُّوا سَبِيلَهُ، فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُخْطِيءَ فِي الْعُقُوبَةِ

Cegahlah hukuman-hukuman (al-hudud) terhaap kaum muslimin sebisa mungkin. Jika kalian menemukan celah maka bebaskanlah mereka. Sesungguhnya seorang imam yang salah dalam memberi maaf lebih baik daripaa salah dalam memberikan hukuman (H.R. Al-Baihaqi).

Selain mempertimbangkan konteks sosial, keputusan Khalifah Umar bin Khattab tersebut dinilai oleh Al-Buthi sebagai upaya memadukan antara nas Alquran dan hadis di atas. ketika ayat tersebut berlaku umum, maka hadis yang menjelaskan tentang anjuran untuk tidak memvonis hukuman kepada pelaku kejahatan dengan berbagai apologi (syubhat) telah membatasi keumuman ayat tersebut. Artinya hukuman potong tangan akan diterapkan selama tidak ditemukan kesangsian-kesangsian dan faktor-faktor lain yang dapat menggugurkan hukuman tersebut.

Yang menjadi subhat dalam kasus pencurian di masa Khalifah Umar bin Khattab di atas adalah kondisi terdesak sehingga secara normatif ia dibenarkan mengambil harta orang kaya–misalnya-sesuai kebutuhannya. Dalam fikih, hal tersebut diperbolehkan meskipun nanti ia diwajibkan untuk mengganti rugi atas harta yang diambil. Terlepas dari perdebatan mengenai dosa tidaknya, pencurian yang dilakukan dalam kondisi kelaparan atau terdesak menjadi salah satu alasan tidak diberlakukannya hukuman potong tangan [Dhawabit al-Mashlahah, hal. 146].

Baca juga: Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran

Jika ditelisik kembali, keputusan yang diambil Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bentuk penerapan dari Ijtihad bi Tahqiq al-Manath. Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa ijtihad model ini orientasinya adalah menerapkan atau mengaplikasikan hukum Islam yang ada. Dalam kasus ini, Khalifah Umar bin Khattab menganggap bahwa kondisi panceklik merupakan bagian dari kesangsian (syubhat) yang bisa melepaskan seseorang dari hukuman.

Tindakan Sahabat Umar bin Khattab ini merupakan pelajaran penting bagi para yuris Islam bahwa dalam menerapkan suatu postulat hukum dalam realita kehidupan tidak cukup hanya dengan bermodalkan rumusan hukum taklifi semata. Seorang yuris harus juga mempertimbangkan syarat-syarat, tidak adanya mani’, dan lain sebagainya yang dalam Usul Fikih dikenal dengan hukum wadh’i. Suatu hukum, misalnya hukuman potong tangan, boleh saja sudah final. Akan tetapi, menerapkan postulat hukum tersebut dalam sebuah realitas memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain.

Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau mempu mendialogkan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i sehingga hukum Islam yang sudah ada tidak diterapkan secara membabi buta. Wallahu a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...