BerandaTafsir TematikSpiritualitas Manusia dan Alam dalam Perspektif Islam

Spiritualitas Manusia dan Alam dalam Perspektif Islam

Ketika mengamati alam semesta, seseorang bukan hanya memahami bahwa fenomena itu sudah nyata terjadi. Fenomana yang mengitari kehidupannya bukan sekadar didorong untuk mengaitkan kealaman dengan ciptaan-Nya. Lebih dari itu, ada nalar berpikir yang mendorong kepada kesadaran. Alam semesta yang diciptakan-Nya bukan sekadar menjadi dalil bahwa Tuhan itu ada. Yang penting untuk diperhatikan, pengamatan secara saksama terhadap alam semesta menimbulkan kesadaran akan kebesaran Tuhan Yang Maha Menciptakan. Mulai dari mikro sampai dengan makro kosmos, semuanya terjadi berkat Tuhan, termasuk diri manusia yang memikirkannya.

Berpikir dengan mengaitkan satu fenomena pada yang lainnya berada dalam alur berpikir rasional. Gambaran hukum alam menyediakan lahan berpikir rasional.  Namun, ketika hal itu menimbulkan ruang kesadaran kepada Yang Maha Menciptakan, seseorang sudah beranjak ke persepsi spiritual. Persepsi ini akan menghadirkan jalinan akal dan hati pada kesadaran kebesaran Allah Swt.

Apa itu Persepsi Spiritual?

Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran, fenomena alam dan Alquran adalah tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Tuhan. Ini menjadi cikal bakal lahirnya persepsi spiritual.

Persepsi spiritual sebagai tindakan mengetahui atau memahami alam semesta sebagai tanda-tanda bukti dan indikasi keberadaan dan kebesaran Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Persepsi spiritual merupakan kesadaran bahwa keragaman ciptaan, alam semesta, dan pengalaman manusia adalah tanda-tanda dan manifestasi dari keesaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.  Persepsi menghubungkan kesadaran akan pemahaman terhadap fenomena terhadap kehadiran Tuhan dan segala kebesaran-Nya.

Baca juga: Benarkah Ibn ‘Arabi Mendukung Paham Panteisme dalam Tafsirnya?

Dalam konteks psikologi, persepsi spiritual akan mendorong seseorang menemukan kesadaran batin. Kesadaran batin yang mengaitkan dirinya pada Tuhan akan melahirkan sikap yang baik. Sebab, kesadaran tersebut akan berbuah bahwa dirinya hidup di alam semesta ini berdampingan dengan makhluk lain, dirinya lemah di hadapan-Nya, dan kehidupannya akan dipertanggungjawabkan.

Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (2006) menegaskan bahwa melalui pengamatan dan refleksi terhadap tanda-tanda tersebut, manusia menyadari sifat-sifat khusus Tuhan.  Allah berfirman dalam Alquran bahwa ada tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Akan tetapi, tanda-tanda tersebut tidak dapat diketahui dan dipahami kecuali oleh mereka yang menggunakan akalnya, sebagaimana pada Q.S. 2: 164, 242, 266; 3: 118, 190; 6: 126; 7: 26; dan 20: 20-25.

Tiga Tahapan Persepsi Spiritual

Seseorang harus melalui tiga tahap proses berpikir sebelum dia dapat memahami pesan-pesan spiritual di alam semesta. Tahap pertama adalah pengumpulan data dari alam semesta melalui persepsi indera. Pada tahapan ini fenomena diindera dan diproses dalam nalar. Alur informasi dari dunia luar diproses melalui daya berpikir. Apa yang empirik menjadi sumber data atau informasi. Sebab, tidak mungkin hal ini diteruskan pada tahap konseptualisasi apabila belum ada tahapan empiris.

Tahap kedua adalah menafsirkan dan memahami data yang terkumpul melalui pemikiran rasional untuk mencapai pengetahuan. Pada tahap ini, data-data tersebut diamati, diselidiki, dan dieksperimenkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan secara ilmiah. Selain itu, proses analisis diarahkan untuk menguraikan sifat-sifatnya serta manfaat dan bahaya yang dapat ditimbulkannya bagi manusia, lingkungan, dan makhluk lainnya. Studi ini merupakan tahap yang sangat diperlukan dalam mencapai persepsi spiritual. Hasil akhir dari proses berpikir ini adalah pengetahuan filosofis dan ilmiah, teori, hukum, dan aplikasinya.

Baca juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial

Tahap ini berhubungan dengan metode ilmiah. Pendalamannya terdapat pada ruang konseptualisasi berupa teori, konsep, hukum, atau teorema.

Tahap ketiga adalah tahap wawasan spiritual. Pada tahap ini, manusia menyadari dan merasakan bahwa dalam pengetahuan tentang alam semesta dan pengalaman manusia terdapat pesan-pesan dan bukti-bukti keberadaan dan kebesaran Allah. Jembatan antara persepsi rasional dan persepsi spiritual adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti apa tujuan dari keberadaan, bagaimana saya hidup, dan apakah ada kehidupan setelah kematian? Pemikiran reflektif atas pertanyaan-pertanyaan ini membangun hubungan antara pemikiran rasional dan spiritual, seperti pernah dikemukakan Iqbal (2006).

Dari Pikir ke Zikir

Hasil persepsi spiritual diperoleh melalui refleksi dan kontemplasi dari realitas ciptaan dengan mempertanyakan metafisiknya. Objek yang direnungkan mengandung pesan-pesan dari Allah bahwa Dia ada dan berkuasa. Hal ini tentu ada di luar imajinasi untuk membuat objek yang dipelajari begitu indah dan harmonis dengan ciptaan lainnya.

Baca juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

Pada tingkat kognisi ini, manusia juga menyadari keterbatasannya dan mengakui kebutuhan akan Tuhan untuk mencapai kebahagiaan yang memungkinkannya untuk mengakui Tuhan melalui tindakan yang benar. Dengan kata lain, melalui pendekatan spiritual, seseorang memahami dan menyimpulkan bahwa dirinya, alam semesta, dan pengalaman manusia adalah tanda-tanda yang mengarah kepada Tuhan yang menyebabkan dia mengenali dan mengakui keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Pada titik di mana seseorang menyadari bahwa semua keberadaan adalah tanda-tanda yang menandakan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, pemikiran reflektif (pikir) diubah menjadi perenungan (zikir).

Hal ini pernah ungkap oleh Ibn Qayyim dalam Miftāḥ Dār al-Saādah (2010) bahwa Hasan al-Basri mengatakan bahwa orang yang berilmu secara konsisten melakukan zikir (mengingat Allah) melalui fikr (berpikir). Ibn Qayyim pun menegaskan bahwa pikir dan zikir adalah benih-benih ilmu. Wallahu a’lam

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...