Etos Kerja dalam Islam

Etos Kerja dalam Islam
Etos Kerja dalam Islam

Sementara ini, tidak sedikit kalangan yang menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk hidup miskin. Hal ini dilandaskan pada sikap Nabi Saw. yang sangat pro terhadap orang miskin. Sebagian ulama panutan pun lebih memilih hidup dalam keadaan miskin dengan alasan supaya lebih mudah menjalani penghitungan amal di akhirat kelak. Hal ini yang kemudian membuat beberapa orang Islam bersikap apatis, bahkan cenderung fatalistik terhadap urusan dunia. Akibatnya, mereka tidak mau bekerja mencari nafkah hidup, sehingga menyebabkan kemiskinan menjamur dimana-mana.

Tidak bisa dipungkiri memang banyak kecaman baik dalam Alquran maupun hadis terhadap sikap hedonistik dan bemewah-mewah dalam urusan dunia. Akan tetapi, hal ini tidak lantas kemudian dipahami bahwa Islam melarang umatnya untuk kaya dan bekerja mencari anugerah Allah Swt. di dunia.

Islam memang tidak selalu menampilkan keberpihakan kepada kaum papa. Akan tetapi, hal itu tidak meniscyakan Islam menghendaki umatnya miskin dan melarat. Islam justru memotivasi umatnya agar menjadi mukmin yang kuat. Sebab, mukmin yang kuat; baik kuat keyakinan, kuat ilmu kuat finansial dan sebagainya, lebih disenangi oleh Allah Swt. daripada mukmin yang lemah.

Baca Juga: Tafsir Surah Alqashah Ayat 26: Isyarat Profesionalisme dalam Pekerjaan

Anjuran Islam Supaya Bekerja

Alquran adalah kitab suci yang diturunkan untuk membimbing manusia menjalani kehidupan agar mendapatkan kebahagian di dunia dan di akhirat. Jika kebahagian di akhirat dapat diraih dengan melakukan amal saleh serta meninggalkan perbuatan dosa, maka kebahagian dunia diperoleh dengan terpenuhinya kebutuhan serta tersedianya fasilitas kehidupan baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa proyeksi utama ajaran Islam adalah menuntun umat manusia agar selamat di kehidupan akhirat kelak.

Namun demikian, agama juga tidak menutup mata terhadap kebutuhan duniawi umat manusia sehingga banyak teks-teks agama (Alquran dan Hadis) memotivasi manusia agar bekerja mencari penghidupan. Rezeki memang telah Allah hamparkan di muka bumi ini (Hud [11]: 6), akan tetapi untuk memperolehnya harus dilakukan dengan cara berusaha. Allah Swt berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [الجمعة: 10]

Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Q.S. Aljumuah [62]: 10

Baca Juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy

Selain ayat di atas, sejatinya ada banyak ayat lain yang menunjukkan pentingnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Di antaranya, Alankabut [29]: 18, Alisra’ [17]: 12, Alqashah [28]: 73 dan masing banyak lagi. Jika diperhatikan, Alquran sering kali menggunakan istilah ابتغاء dengan segala derivasinya untuk menunjukkan makna bekerja. Hal ini, menurut Syekh Musthafa al-Maraghi, mengisyaratkan bahwa seseorang akan mendapatkan rezeki hanya jika ia mau berusaha sebagaimana lumrahnya. (Tafsir al-Maraghi, Juz 15, 19)

Ayat di atas menjadi legalisasi bagi umat Islam untuk mencari kehidupan dunia, asalkan tidak sampai menyebabkan lalai dari hal-hal yaang bersifat ukhrawi. Ini menunjukkan bahwa seseorang harus bersikap moderat terkait urusan dunia dan akhirat, sebab dunia merupakan ladang bagi kehidupan di akhirat. Baik tidaknya nasib seseorang diakhirat tergantung dari bekal serta amal perbuatan yang dilakukan di dunia.

Bekerja sejatinya juga dapat menjelma menjadi ladang amal saleh jika diniati baik. Namun sebaliknya, jika bekerja diorientasikan untuk hal-hal yang dilarang agama seperti untuk berbangga-bangga atau hanya ingin mencari glamor dunia semata, maka ia dapat mengundang murka Allah Swt. Dalam hal ini Rasulullah ٍٍٍٍSaw. bersabda,

مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلَالًا اسْتِعْفَافًا عَنْ مَسْأَلَةٍ , وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ , وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ , وَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا مُفَاخِرًا مُكَاثِرًا مُرَائِيًا لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

Barang siapa yang mencara dunia (rezeki) dengan cara halal dengan tujuan agar supaya terhidar dari prilaku meminta-minta, memenuhi kebutuhan keluarga serta dapat berbelas kasih kepada tetangganya maka kelak ia datang di hari kiamat dalam keadaan wajahnya bersinar bagai bulan purnama. Dan, barang siapa yang mencari dunia (rezeki) untuk berbangga-bangga, berfoya-foya, serta mengharap pujian orang maka ia akan menemui Allah dalam keadaan dimurkai. HR. Al-Baihaqi

Orang yang bekerja dalam sektor apapun akan memperoleh pahala yang besar, setidaknya jika memiliki salah satu dari tiga motivasi bekerja. Pertama, bekerja agar tidak mengulurkan tangan meminta-minta sehingga menjadi beban orang lain. Kedua, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta kebutuhan hidup keluarganya. Dan yang ketiga, bekerja supaya dapat membantu tetangga atau orang lain yang membutuhkan.

Jika pekerjaan didasarkan pada salah satu dari tiga motivasi di atas, maka bukan hanya hasil materiil yang akan diperoleh, melainkan orang tersebut juga akan meraup keuntungaan ukhrawi berupa pahala yang agung. Bahkan mencari rezeki yang semula perkara mubah bisa berubah menjadi sesuatu yang wajib jika diniati dengan baik.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Najm [53]: 39-40; Kaitan Erat antara Keberhasilan dan Usaha

Dalam Kitab Ihya Ulum al-Din, Imam al-Ghazali membuat satu bab khusus menerangkan tentang keutamaan bekerja dan mencari penghidupan. Beliau mengutip banyak ayat, hadis dan atsar mengenai mulianya orang yang bekerja. Salah satunya yang menarik adalah sikap geram Sayyidina Umar terhadap seorang lelaki yang selalu berada di masjid untuk beribadah tetapi mengabaikan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Terlebih lagi, untuk kebutuhan makan, minum dan sebagainya ia hanya mengandalkan uluran tangan saudaranya.

Berangkat dari peristiwa ini, keluarlah staetment menarik dari Sayyidina Umar bin Khattab ra. yang mendorong umat muslim untuk tidak mengabaikan pekerjaan mencari nafkah. Beliau berkata,

لَا يَقْعُدُ أحدكم عن طلب الرزق يقول اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي فَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ السَّمَاءَ لَا تمطر ذهباً ولا فضة

Janganlah salah seorang dari kalian hanya duduk terdiam tidak mau mencari rezeki, malah berkata, ‘ya Allah berilah aku rezeki’. (mengapa?) Sebab, kalian tau bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak. (Ihya Ulum al-Din, Juz 2, 62)

Akhir kata, proyeksi utama ajaran Islam adalah membimbing manusia agar mencapai kebahagian hakiki di akirat kelak. Akan tetapi, Islam tidak menghendaki umatnya lemah dan tertindas, sehingga umat Islam dituntut untuk bekerja mencari nafkah agar bisa mandiri secara ekonomi. Dari sini, terlihat bahwa Islam menghendaki adanya keseimbangan antara dimensi dunia dan dimensi akirat.

Wallahu a’lam.