Banalitas dalam komunikasi dan informasi tidak hanya terjadi di era digital. Di era Nabi Muhammad pun sudah marak terjadi. Banalitas ada sebab maraknya fenomena hoaks, sebagaimana yang terjadi pada Nabi. Nabi sering mendapatkan fitnah dan tuduhan. Tuduhan yang sering diterima oleh Nabi yakni bahwa Nabi adalah seorang penyihir.
Dalam Alquran sendiri disebutkan, fenomena hoaks itu sudah ada sejak masa Nabi Adam a.s. di surga. Allah memerintahkan kepada Nabi Adam dan istrinya–Hawa-untuk tinggal dan menetap di surga. Serta, Allah memberikan kebebasan kepada keduanya untuk memakan segala buah dan makanan yang ada di dalam surga, kecuali satu buah terlarang, yakni khuldi.
Itu adalah informasi valid, yang bersumber dari Allah secara langsung. Namun, karena adanya keirian dari iblis, akhirnya iblis mencoba untuk mempengaruhinya dengan memberikan informasi yang tak kalah dahsyatnya.
Baca juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Alquran
Iblis memberikan penegasan alasan mengapa Allah melarangnya untuk memakan buah itu. Iblis pun memelintirkan fakta, yakni agar Adam dan isterinya tidak menjadi malaikat atau menjadi orang yang kekal di dalam surga. Untuk menambahkan keyakinan bahwa informasi yang diberikan iblis itu terlihat valid, iblis mempertegas kembali dengan sumpahnya. Bahwa ia–iblis-adalah sang pemberi nasihat (Q.S. Ala’raf [7]: 19-21).
Kisah di atas terjadi pada masa Nabi Adam a.s. Di masa Nabi Muhammad pun fenomena hoaks masih terjadi. Jika pelaku pada kisah Nabi Adam adalah iblis, pelaku di masa Nabi Muhammad adalah mereka yang memusuhi dakwah dari Nabi.
Walid ibn al-Mughirah adalah salah seorang yang berpengaruh dari suku Makhzum kala itu. Ia menyebarkan berita hoaks bahwa Nabi adalah seorang penyihir. Tuduhan penyihir itu, sepertinya tuduhan yang paling “efektif”. Sebab, Nabi terkenal dengan predikat sebagai orang yang ummi atau tidak pandai baca-tulis.
Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Alquran dalam Klarifikasi Berita
Terkait dengan ke-ummi-an tersebut, menurut analisis dari penulis, Muhammad Gholib mengklasifikasinnya menjadi tiga definisi. Pertama, bahwa ummi adalah mereka yang tidak memiliki kitab suci. Kedua, ummi ditujukan kepada penduduk Makkah, sebab mereka memiliki sebuah tradisi hafalan sebagai basis keilmuan mereka.
Jika melihat pada dua definisi di atas, maka mereka yang menuduh Nabi sebagai orang yang ummi, juga masuk dalam definisi ummi. Sebab, mayoritas masyarakat Makkah saat itu adalah penganut dari paganisme yang tidak memiliki pegangan kitab suci dan mereka erat dengan tradisi hafalannya. Kiranya, ummi lebih tepat dengan definisi yang ketiga, yakni tidak bisa membaca dan menulis (Muhammad Gholib, Ahl Kitab, 51-53).
Ke-ummi-an Nabi itu kemudian dijadikan celah oleh mereka yang benci terhadap ajaran yang didakwahkan oleh Nabi. Lantas, kemudian Walid memanfaatkan keadaan ini untuk menghalangi agar seseorang tidak percaya dan tidak mengikuti Nabi. Peristiwa ini terekam dalam surah Almudatstsir [74]: 11-30.
ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا (11) وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا (12) وَبَنِينَ شُهُودًا (13) وَمَهَّدْتُ لَهُ تَمْهِيدًا (14) ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيدَ (15) كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيدًا (16) سَأُرْهِقُهُ صَعُودًا (17) إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ (18) فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ (19) ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ (20) ثُمَّ نَظَرَ (21) ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ (22) ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ (23) فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ (24) إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ (25) سَأُصْلِيهِ سَقَرَ (26) وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ (27) لَا تُبْقِي وَلَا تَذَرُ (28) لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ (29) عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ (30)
Analisis Tafsir
Dalam Tafsir al-Misbah, ayat yang menjelaskan tentang kisah Walid ada dalam ayat 11-30 dalam surat al-Mudatstsir. Dua sisi dari kehidupan Walid yang eksplorasi oleh Alquran adalah tentang kenikmatan yang diberikan kepada Walid, baik itu harta, anak, maupun kedudukannya. Kemudian terkait dengan sebuah ancaman yang akan diterimanya sebab telah mengingkari ayat-ayat Allah (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 15, 467).
Gelar “al-Walid” yang diberikan kepadanya memang menunjukkan sebuah keistimewaan yang dimilikinya. Namun, ini juga sekaligus sebagai ancama dan ejekan. Sebab, ia merasa hanya dirinya yang memiliki keistimwaan tersebut. Sehingga, Allah mengatakan bahwa Allah sendiri yang akan menghadapi Walid.
Allah memang menjadikan harta kekayaannya Walid terbentang luas di seluruh Jazirah Arab. Namun, ketika ia akan wafat, hartanya berangsur-angsur berkurang hingga ia akhirnya jatuh miskin. Selain hartanya yang melimpah, ia juga dikarunia putra-putri yang banyak, yakni 11 orang. Mereka semua adalah orang terpandang.
Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran
Mereka sering menghadiri upacara-upacara penting yang tidak semua orang bisa menghadirinya. Karena kecukupannya itulah semua anaknya tidak perlu bersusah payah untuk mencari nafkah. Segala kelapangan dan kenikmatan dimiliki oleh Walid. Namun, ia justru menginginkan yang lebih. Ia menginginkan surga.
Ia memberikan pernyataan, bahwa jikalau pun surga itu ada, pasti surga diperuntukkan baginya. Namun, ketika ditunjukkan ayat-ayat Alquran, ia menolak padahal ia tahu bahwa Alquran itu benar. Penolakannya tersebut sebab ia mendapatkan desakan dari Abu Jahal untuk mengatakan bahwa Alquran itu adalah bagian dari sihir. Padahal ia tahu akan kebenaran Alquran.
Maka dari itu, Allah mengutuk keputusannya yang dihasilkan dari cara berpikir yang salah. Kemudian, ia memikirkan ulang terhadap apa yang sudah ia katakan. Ia menyadari akan kekeliruannya, hingga merengut dan berubah air mukanya. Namun, keputusannya terlanjur diucapkan bahwa Alquran adalah bagian dari sihir. Sebab perbuatannya inilah, ia mendapatkan ancaman masuk dalam neraka (Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 15, 472-488).