BerandaTafsir TematikTiga Bentuk Amanah dalam Q.S. Alnisa’ Ayat 58 Perspektif al-Razi

Tiga Bentuk Amanah dalam Q.S. Alnisa’ Ayat 58 Perspektif al-Razi

Saling menjaga kepercayaan satu sama lain merupakan salah satu komponen terpenting dalam memelihara hubungan sosial, sekaligus menjadi bentuk ketakwaan kepada Allah. Kata amanah sendiri berasal dari kata al-amn, dengan pengertian rasa aman atau percaya.

Secara makna luas, amanah dimaknai sebagai penyerahan suatu kepercayaan kepada pihak lain yang diyakini bahwa apabila di bawah tanggung jawabnya  sesuatu yang diserahkan itu akan aman dan terjaga dengan baik.

Perintah kewajiban menunaikan amanah telah disebutkan dalam potongan firman-Nya Q.S. Alnisa [4]: 58 berikut.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya.

Al-Razi, salah seorang mufassir kontemporer, mengomentari bahwa konsep amanah dalam ayat ini tidak hanya sekadar hubungan antar manusia. Lebih dari itu, ia membagi ke dalam tiga bentuk amanah, di antaranya: amanah dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan diri sendiri.

Baca Juga: Kisah Utsman bin Thalhah dan Sabab Nuzul Surah Alnisa’ Ayat 58

Amanah dengan Tuhan

Hal ini mengandung makna keharusan bagi kaum muslim untuk melaksanakan dan menunaikan semua kewajiban (al-ma’mūrāt) dan meninggalkan segala larangan-Nya (al-manhiyyāt).

Dan ini merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan secara terus-menerus sebagai seorang hamba. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa amanah dalam segala hal adalah wajib dilaksanakan sebagai seorang hamba, baik dalam wudhu, janabah, salat, zakat, dan puasa.

Ibnu Umar menambahkan bahwa Allah telah menciptakan kemaluan manusia untuk diamanahkan agar menutup dan menjaganya dengan baik, kecuali apa yang telah menjadi haknya.

Amanah dianugerahkannya lisan, adalah agar tidak digunakan untuk berbohong, ghibah, namimah, kufur, bid’ah, dan sikap-sikap buruk yang dikeluarkan oleh lisan lainnya. Dianugerahkannya mata, adalah agar tidak difungsikan untuk melihat sesuatu yang diharamkan.

Kemudian, dianugerahkannya pendengar adalah agar tidak digunakan untuk mendengar ucapan tidak senonoh, kotor, dan kebohongan. Hal yang sama berlaku pula bagi seluruh bagian tubuh manusia, termasuk hati. (al-Razi, Mafātīḥ al-Ghaib, 10/109)

Oleh karenanya, menjadi seorang hamba sudah menjadi kewajiban baginya untuk senantiasa menunaikan hak-hak Allah, sebagai upaya mendekatkan diri kepada-Nya dan memeroleh ridha-Nya.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Amanah dengan Sesama Manusia

Yaitu menjaga kepercayaan kepada sesama, seperti dalam urusan muamalah, pemerintahan, maupun kemasyarakatan, di antaranya bersikap jujur dengan menjaga dan mengembalikan sesuatu yang dititipkan kepadanya dan menahan diri dari melebih-lebihkan takaran timbangan.

Maka dalam hal ini, sikap amanah pelaku bisnis direfleksikan dengan tidak berbuat culas, mencurangi timbangan, atau tindak kecurangan lain yang merugikan. Kemudian, para penguasa atau pejabat bisa ditunjukkan dengan tidak melakukan tindakan korupsi dan menindas rakyat.

Selanjutnya, menjaga aib sesama dan tidak mengabarkan berita yang belum diketahui jelas kebenarannya. Hal ini ditujukan supaya mencegah terjadinya permusuhan dan pertengkaran, yang pada akhirnya akan merugikan secara personal maupun banyak orang. Sehingga dengan begitu akan terciptanya kerukunan dan kedamaian masyarakat.

Terakhir, keadilan para pemimpin terhadap rakyatnya dan keadilan para ulama terhadap umat yang tidak mengusung mereka pada fanatisme belaka, melainkan membimbing mereka pada keyakinan dan perbuatan yang mendatangkah maslahat baik di dunia maupun akhirat. (al-Razi, Mafātīḥ al-Ghaib, 10/109)

Baca Juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah

Amanah dengan Diri Sendiri

Yaitu tidak mengarahkan dirinya berbuat sesuatu apapun kecuali yang bermanfaat dan terbaik baginya dalam agama dan dunia. Sebagai misal, tidak mengorbankan dirinya demi syahwat dan amarah terhadap apa yang merugikannya kelak di akhirat. (al-Razi, Mafātīḥ al-Ghaib, 10/109)

Jenis yang ketiga ini jarang disadari oleh manusia pada umumnya. Mengingat bahwa setiap manusia merupakan khalifah  atau pemimpin, paling tidak, ia memimpin dirinya sendiri.

Menjaga kesehatan diri dengan mengatur pola makan yang baik, berolahraga, beristirahat yang cukup, dan berupaya menyembuhkan dirinya ketika sakit dengan berobat. Selain itu, menahkodai jiwanya pula untuk selalu menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya

Penutup

Amanah seringkali dipahami sempit hanya sekadar pemasrahan kepercayaan kepada orang lain. Lebih dari itu, al-Razi memperluas implementasi amanah pada tiga aspek, yakni kepada Tuhan, sesama, dan diri sendiri.

Dengan demikian, setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya terhadap segala sesuatu yang diperbuat, baik terhadap Tuhan, sesama manusia, maupun diri sendiri, yang kelak akan dipertanggung jawabkan di akhirat.

Wallahu A’lamu.

Fatia Salma Fiddaroyni
Fatia Salma Fiddaroyni
Alumni jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri; santri PP. Al-Amien, Ngasinan, Kediri.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...