Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

Dua Anak Nabi Adam
Dua Anak Nabi Adam credit: sotor. com

Qabil dan Habil adalah dua anak nabi Adam yang diceritakan oleh Al-Qur’an. Cerita keduanya merupakan kelanjutan dari episode kisah perjalanan nabi Adam dan keturunannya di dunia. Di dalam kisah tersebut terdapat pesan-pesan ilahi yang memuat banyak hikmah, pelajaran dan peringatan bagi seluruh manusia setelah mereka, terkhusus pembaca al-Qur’an al-Karim.

Diceritakan bahwa setelah nabi Adam bisa bertemu kembali dengan Hawa di Jabal Rahmah pasca diturunkan ke dunia (bumi), keduanya melangsungkan kehidupan berumah tangga. Kemudian nabi Adam dianugerahi 4 orang anak, yakni Qabil, Iklima, Layutsa dan Habil. Qabil dan Iklima dilahirkan secara beriringan (kembar), begitu pula Layutsa dan Habil.

Anak-anak nabi Adam tumbuh sebagaimana anak-anak biasanya. Mereka bermain, belajar, berinteraksi dan beribadah di bahwa bimbingan nabi Adam dan Hawa. Meskipun anak-anak Adam as memiliki privilage yang sama, perbedaan sikap dan sifat di antara mereka tidaklah bisa dihindari. Karena ini berkaitan dengan cara masing-masing anak merespon peristiwa atau realitas yang terjadi di sekitar mereka.

Ketika dua anak Nabi Adam ini menjelang usia dewasa, Ayahandanya memberikan dua tanggung jawa kepada keduanya. Qabil diserahi tanggung jawab untuk mengurus ladang pertanian, sedangkan Habil diberi amanah untuk mengurus peternakan domba. Dari kedua pekerjaan tersebut, terlihat bahwa Habil lebih rajin dan telaten dibandingkan Qabil yang suka bermalas-malasan.

Kemudian Allah mewahyuan kepada nabi Adam untuk mengawinkan Habis dengan Iqlima dan Layutsa dengan Qabil. Ini bertujuan untuk meneruskan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Mendengar perintah Allah itu, Qabil menolak dan berkata, “Aku tidak akan kawin kecuali dengan Iqlima, karena ia dilahirkan bersamaku dalam satu kandungan. Aku lebih mencintainya daripada saudari sekandung Habil.”

Nabi Adam kemudian menegur Qabil, “Wahai anakku, janganlah engkau menentang Allah Swt dalam urusan yang telah diperintah oleh-Nya kepadaku.” Qabil tetap bersikeras dan mengatakan, “Kalau demikian, aku tidak akan membiarkan saudara laki-lakiku mengambil Iqlima bagaimanapun keadaannya.” Dikisahkan bahwa Qabil melakukan ini karena Iqlima jauh lebih cantik dibandingkan Layutsa.

Baca Juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Agar permasalahan tersebut selesai, dua anak nabi Adam ini kemudian diperintahkan untuk berkurban kepada Allah. Siapa yang kurbannya diterima, maka ia berhak mendapatkan Iqlima. Mendengar itu, Qabil dan Habil setuju. Mereka berdua pergi menuju Makkah sambil membawa kurban. Habil mengurbankan domba yang paling bagus, sedangkan Qabil mengurbankan buah-buahan yang paling jelek.

Api pun turun menyambar kurban Habil dan membiarkan kurban Qabil. Qabil tidak menerima hal itu, karena ia akan kehilangan Iqlima. Ia berkata dengan sangat marah, ”Sungguh aku akan membunuhmu, sehingga engkau tidak dapat menikah dengan saudara perempuanku.” Habil lantas menjawab, “Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.” Pembicaraan selesai dan keduanya pulang ke rumah.

Abu Ja’far al-Baqir menyebutkan: Adam merasa gembira dengan kurban kedua anaknya tersebut dan merasa senang dengan diterimanya kurban Habil, walaupun kurban Qabil tidak diterima. Mengetahui respon ayahnya, Qabil dengan hati yang dengki lantas berkata, “Allah menerima kurban Habil sebab engkau berdoa untuknya dan tidak berdoa untukku.” Ia masih tidak rela melepaskan Iqlima dan berencana untuk membunuh Habil.

Pada suatu hari, Habil tidak pulang dari menggembala. Maka nabi Adam mengutus Qabil untuk mencari tahu kenapa ia tidak pulang. Setelah bertemu Habil, Qabil kembali mengancam Habil dengan berkata, “Seandainya engkau mengambil Iqlima, pasti aku akan membunuhmu. Aku tidak akan memberikan saudara perempuanku yang cantik kepadamu dan aku tidak akan menikahi saudara perempuanmu yang jelek itu.”

Mendengar ancaman saudaranya, Habil menjawab, “Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Maidah: 28) Habil menunjukkan rasa takut kepada Allah dan keengganan melawan tindakan buruk saudaranya, sekalipun dirinya jauh lebih kuat dibandingkan Qabil.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Pada saat itu, Iblis mencoba memanas-manasi Qabil dan membisikkan rencana-rencana jahat yang seharusnya ia lakukan. Akibat bisikan tersebut, emosi Qabil memuncak dan ia mengambil sebongkah batu lancip lalu memukulkannya ke kepala Habil hingga ia tewas terbunuh. Menurut sebagian ahli kitab, peristiwa ini terjadi di gunung Qasiyyun, selatan kota Damaskus.

Setelah Qabil membunuh Habil, ia kebingungan mau dibawa ke mana dan mau diapakan mayat saudaranya tersebut. Sebagian ulama tafsir menyebutkan bahwa Qabil membawa mayat Habil di pundaknya selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Al-Suddy mengatakan bahwa Qabil selalu membawa mayat Habil kemanapun ia pergi, hingga Allah mengirim dua ekor gagak yang mencontohkan cara mengubur mayat. Firman Allah Swt:

“Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil). Bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.” (QS. Al-Maidah [5]: 31)

Akibat dari tindakan pembunuhan tersebut, Qabil diberikan balasan setimpal, yakni menanggung dosa yang amat besar. Firman Allah Swt, “Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 29)

Ahli sejarah mengatakan bahwa nabi Adam sangat sedih ketika mengetahui kematian Habil. Ibnu Abbas juga mengatakan hal senada: “Setelah Adam as merasa yakin anaknya terbunuh, ia menangis beserta istrinya Hawa. Tahun itu menjadi tahun musibah bagi anak-anak mereka.” Dikisahkan, nabi Adam bahkan melantunkan syair kesedihan (syair Arab), namun pendapat ini lemah karena Adam termasuk orang yang berbahasa Suryani. Wallahu a’lam.