Sebagian orang menilai berdebat (jadal) merupakan hal yang harus dihindari terlebih kerap kali menuai konflik dan menyulut amarah. Namun, bagi sebagian lainnya berdebat justru dapat menjadi wahana untuk beradu argumen, memperkaya diri dengan pengetahuan. Dalam konteks pendidikan, debat merupakan salah satu metode efektif dalam pembelajaran.
Penggunaan metode ini sangat bermanfaat untuk membangun, mengasah, dan menajamkan kemampuan berpikir kritis, logis dan analitis peserta didik. Allah swt telah memerintahkan secara eksplisit penerapan metode berdebat dalam firman-Nya QS. al-Nahl [16]: 125:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”(Q.S. al-Nahl [16]: 125)
Baca juga: Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali
Tafsir Surah Al-Nahl Ayat 125
Jika pada pembahasan sebelumnya mengeksplor ayat ini ke dalam dua metode (hikmah dan mauidzah hasanah), maka pembahasan kali ini mengulas metode yang terakhir ini wa jadilhum billati hiya ahsan (berdebatlah kalian dengan cara yang lebih baik).
Etika berdebat telah dibahas secara rinci oleh Muhammad ‘Ali As-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir-nya. Ia menafsirkannya dengan perintah debat meski perbedaan pendapat itu berlangsung sengit dan tajam, dengan cara ahsan (yang paling baik). Cara ahsan ini ialah penyampaian argumen dengan tutur kata yang halus lagi lembut. Di sisi lain, berdasarkan hujjah yang rasional serta mencerahkan.
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quranul Adzim-nya pun menandaskan bahwa ayat itu menyerukan untuk berdebat dengan cara yang terbaik, yaitu tutur kata yang lemah lembut, santun, serta arif dan bijaksana.
Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, kata jadilhum diambil dari kata jidal, bermakna diskusi atau bukti yang mematahkan argumen lawan diskusi kita. Sehingga ia merasa tidak kuasa untuk menyanggahnya, baik yang dipatahkan itu diterima oleh semua orang maupun lawan diskusi kita.
Dalam perspektif Quraish Shihab, kata jadil terdiri dari tiga macam karakter.
Pertama, jadal bermakna buruk, jika disampaikan dengan kasar, mengundang amarah lawan, serta menggunakan dalil yang invalid. Selain itu juga argumen yang di sampaikan menisbikan fakta, mengelabui bahkan mengaburkan bukti yang ada.
Kedua, jadal bermakna baik, apabila dipresentasikan secara halus, lembut, sejuk, menggunakan argumen yang logis dan rasional.
Ketiga, jadal bermakna terbaik (ahsan), selain penuturan yang halus, jelas, tidak berbelit-belit. Jadal juga disertai argumen yang logis, rasional dan bukti yang valid serta mencerahkan sehingga menemukan benang merah antara keduanya.
Sementara itu, Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menandaskan bahwa ber-mujadalah adalah mengkritisi pendapat/ argumen seseorang dan mematahkan bahkan mementahkan jawaban yang berbeda dengan kita yang dituturkan dari pihak lawan. Hal berbeda disampaikan pula oleh as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain. Adapun maksud redaksi wa jadilhum billati hiya ahsan adalah menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu
Debat kompetitif adalah metode yang efektif
Ayat di atas berisi perintah untuk menggunakan metode berdebat secara ahsan (yang terbaik). Dalam konteks pembelajaran debat merupakan salah satu metode yang cukup efektif untuk membangun kemampuan kritis dan analitis peserta didik.
Tentunya berdebat harus diiringi dengan cara-cara kompetitif dan demokratis. Antara lain, penggunaan diksi kata yang baik dan santun, tidak terkesan menyudutkan lawan, berargumen secara tegas, jelas, logis dan rasional. Selain itu, debat juga disertai dengan bukti yang valid dan mutakhir sehingga menghasilkan titik temu.
Maka, dalam hal ini pendidik harus kreatif. Misalnya, sebelum debat dilakukan, pendidik bersama peserta didik menentukan dan menyepakati topik. Begitu juga, membuat kontrak forum terlebih dahulu antar peserta didik terkait etika maupun tata tertib berdebat, Ini bertujuan untuk membiasakan peserta didik berdebat secara kompetitif dan demokratis.
Pemilihan topik pun harus menggugah jiwa peserta didik. Misalnya, budaya nyontek, kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, kasus korupsi, hamil diluar nikah, anarkisme remaja, dampak penggunaan hp dan sebagainya. Hindari topik yang berkaitan dengan SARA kecuali pendidik telah memberikan materi secara mendalam dan berkesinambungan sehingga tidak menimbulkan diskriminasi dan disintegrasi.
Semua hal itu dilakukan guna menghindari debat kusir (debat tak bermutu, dan menyerang pribadi peserta debat). Oleh karena itu, peserta didik harus disiapkan dan dilatih sedemikian rupa agar debatnya bernuansa keilmuan dan ilmiah.
Hal ini senada dengan Kurikulum 2013 (K-13) yang menekankan pada kemampuan peserta didik berpikir kritis dan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/ HOTS). Dan debat menjadi salah satu metode yang efektif untuk merealisasikannya.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik
Debat juga dapat membangun kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis. Debat juga melatih untuk mengendalikan emosi, membangun sikap demokratis dan kompetitif, belajar menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Tak kalah pentingya, melatih kemampuan public speaking sehingga peserta didik percaya diri dan tidak demam panggung saat tampil berbicara di muka umum.
Dengan demikian, debat adalah sarana untuk menemukan benang merah, menjadi solusi atas peliknya problematika dengan berdasar argumentasi jelas dan valid. Karenanya, para ulama kita mencontohkan perbedaan pendapat adalah rahmat dan keberkahan tatkala disikapi dengan arif dan bijaksana. Wallahu a’lam.