Bal‘am bin Ba‘ura‘: Ulama yang Jatuh dalam Godaan Dunia

0
83
Bal‘am bin Ba‘ura‘: Ulama yang Jatuh dalam Godaan Dunia
Bal‘am bin Ba‘ura‘: Ulama yang Jatuh dalam Godaan Dunia

Pada zaman Nabi Musa, hiduplah seorang alim dari kalangan Bani Israil yang tinggi ilmunya dan dihormati banyak orang. Namun, siapa sangka, di balik alim dan memiliki kehormatan yang tinggi, pada akhirnya ia terjerumus dalam kesesatan dan kebinasaan. Siapakah ia? Ia bernama Bal’am bin Ba’ura’.

Kisah ini bermula ketika Nabi Musa a.s. hendak mendatangi negeri tempat tinggal Bal’am dan berperang melawan penduduknya yang kafir. Penduduk negeri tersebut meminta Bal’am untuk berdoa melawan Nabi Musa dan kaumnya, karena Bal’am dikenal sebagai seseorang yang doanya selalu dikabulkan, serta mengetahui nama-nama Allah yang Agung (Ism al-‘Azam).

Mulanya, Bal’am menolak permintaan mereka. Namun, setelah didesak, akhirnya ia menyetujui keinginan mereka untuk mendoakan kejelekan kepada Nabi Musa, dan doanya dikabulkan, sehingga Nabi Musa beserta kaumnya tersesat di Tih (Sinai) selama 40 tahun akibat doanya. Tiba gilirannya, Nabi Musa memohon kepada Allah agar siapapun yang menghalangi dakwahnya, maka sesatkanlah ia. Ba’lam pada akhirnya hilang kemuliaannya, tercabutlah keimanannnya, sehingga mati dalam keadaan kufur [Zainuri Ihsan, Mujahadah: Bacaan dan Amalan Penting untuk Mempercepat Terkabulnya Hajat, 70].

Malik bin Dinar berkata bahwa Bal’am merupakan seorang ulama dari Bani Israil. Ia adalah sosok yang selalu dimintai pertolongan dalam keadaan sulit karena doanya yang mustajab. Nabi Musa a.s. pernah mengutusnya untuk mendatangi Raja Madyan supaya beriman kepada Allah. Namun sayangnya, Bal’am tergiur dengan hadiah dan harta yang disodorkan oleh Raja Madyan supaya mengikuti agamanya dan meninggalkan agama Nabi Musa a.s. [Tafsīr al-Munīr, 9/164]. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-A’rāf: 176 berikut.

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ

Seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya.

Al-Zuhaili menjelaskan bahwa jika Bal‘am tetap berpegang pada ayat-ayat Allah dan mengamalkannya, maka Allah akan meninggikan derajatnya dan menjadikannya salah satu ulama yang saleh. Namun, ia justru lebih memilih dunia, tergoda oleh kenikmatannya, serta sibuk mengejar hawa nafsunya. Ia tidak mengarahkan pikirannya kepada kebahagiaan akhirat, tidak mengambil petunjuk dari ayat-ayat Allah, dan tidak berusaha mencapai kesempurnaan taat kepada-Nya. Ia juga tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya dengan memanfaatkannya untuk mencari rida-Nya [Tafsīr al-Munīr, 9/164].

Baca juga: Surah Shad Ayat 31-33: Cara Nabi Sulaiman Mencintai Perkara Dunia

Al-Sa’di menyebutkan, bilamana seseorang yang mulanya dikaruniai ilmu, kemudian justru melepaskan diri darinya, seakan-akan ia mencopot pakaian yang melindunginya. Ilmu yang seharusnya mengangkat seseorang ke derajat yang lebih tinggi dengan menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan amal saleh. Namun, ketika ilmu itu ditinggalkan, ia kehilangan perlindungan, dan setan pun dengan mudah menguasainya serta mendorongnya kepada kebinasaan [Tafsīr al-Sa’dī, 308].

Allah kemudian memberikan perumpamaan tentang kehinaan dan kerendahan Bal’am dengan menganalogikannya seperti seekor anjing yang selalu menjulurkan lidah, baik ketika dikejar maupun dibiarkan. Sebuah gambaran keadaan yang paling buruk dan paling hina dari seekor anjing, yang dijadikan perumpamaan bagi seseorang yang telah berpaling dari ayat-ayat Allah. Berikut lanjutan redaksi ayat di atas.

فَمَثَلُه كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ

Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga).

Al-Qurthubi mengomentari, anjing yang senantiasa menjulurkan lidah merupakan analogi yang cocok dalam menggambarkan keserakahan seperti anjing yang terus membungkuk demi meraup kepuasan dunia dan memuja kenikmatannya tanpa pernah merasa kenyang [Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, 9/383]. Sebab, apabila seseorang memandang maksiat sebagai suatu kenikmatan, secara tidak sadar ia akan terdorong kepada perbuatan maksiat tersebut [Syajarah al-Ma’ārif, 8].

Ilmu yang dimiliki sepatutnya menjadi jalan untuk semakin dekat dengan-Nya, bukan malah sebaliknya. Sebagaimana pesan firman Allah:

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Az-Zumar: 42).

“Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Yunus: 24).

Baca juga: Sapi Bani Israil Simbol Pengorbanan dan Ketundukan

Al-Zuhaili mengutip pendapat al-Razi, bahwasanya kisah Bal’am ini menjadi pengingat keras bagi para ulama. Sebab, orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan kehilangan keberkahan ilmu, dan semakin jauh dengan Allah [Tafsīr al-Munīr, 9/165].

Begitu pula al-Maraghi mengungkapkan bahwa kisah dalam ayat di atas menjadi pelajaran dan peringatan bagi orang-orang beriman agar tidak mengikuti hawa nafsu, sehingga tidak tergelincir ke dalam jurang yang sama seperti yang dialami oleh Bal’am. Ia tersesat karena kecintaannya pada dunia, ketergantungannya pada syahwat, dan kesenangan duniawi [Tafsīr al-Maraghī, 9/107]. Betapa cobaan tidak hanya datang dari kekurangan, tetapi juga dalam bentuk kelebihan pula.

Kisah Bal‘am bin Ba‘ura‘ menjadi pengingat bagi kita bahwa ilmu yang tinggi tidak menjamin seseorang tetap berada di jalan yang lurus. Godaan dunia bisa saja datang dalam berbagai macam bentuk yang tidak terduga. Jika di masa lalu Bal‘am tergelincir karena godaan harta dan kedudukan, maka di era modern, banyak orang alim yang justru diuji dengan ketenaran melalui media sosial.

Baca juga: Membumikan Alquran di Tengah Gelombang Digitalisasi

Media sosial memberikan wadah kepada semua orang, termasuk seseorang dengan ilmu agama yang mumpuni untuk mendapatkan pengikut yang banyak, dihormati, dan dijadikan panutan. Namun, tanpa kesadaran dan kontrol diri, popularitas bisa menjadi jebakan yang menjerumuskan. Hasrat untuk mempertahankan eksistensi kerap kali membuat seseorang lebih mengutamakan engagement dibandingkan tujuan karena-Nya. Tidak jarang, terjadi distorsi dalam penyampaian ilmu, hanya menyampaikan yang viral, menyederhanakan perkara agama secara berlebihan, atau bahkan terjerumus dalam debat kusir demi mempertahankan citra.

Alquran telah memberikan gambaran jelas bahwa ilmu seharusnya menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya, bukan alat untuk mencari keuntungan duniawi. Sebagaimana perumpamaan anjing yang selalu menjulurkan lidah, orang alim yang tergoda oleh dunia tidak akan pernah merasa cukup dengan popularitas yang sudah diraih. Oleh karena itu, penting bagi siapa pun yang berilmu untuk selalu mengintrospeksi diri, merawat ikhlas, menata niat, dan senantiasa berpegang teguh pada prinsip yang dibenarkan-Nya, agar tidak tergelincir seperti Bal‘am bin Ba‘ura‘.

Wallāhu a’lamu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini