Ada satu jenis manusia yang sejak dulu sampai sekarang masih eksis. Dan sepertinya akan tetap eksis. Dalam sejarah, mulai dari masa para nabi, masa kerajaan, masa kolonial, sampai masa modern saat ini, manusia dengan perilaku hipokrit masih banyak, terutama dalam lingkup kekuasaan. Anehnya, mereka melakukannya secara terang-terang
Orang hipokrit adalah orang yang wajahnya bisa berubah sesuai siapa yang berkuasa. Kata-katanya manis sekali, senyumnya ramah, dan pembawaannya tampak halus. Ternyata, Alquran telah menggambarkan mereka dengan jelas dalam Surah Albaqarah ayat 204-207.
Baca Juga: Q.S Albaqarah Ayat 205: Sifat Munafik dan Perusak Lingkungan
Allah memulai dengan firman-Nya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُۥ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَيُشْهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِى قَلْبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلْخِصَامِ
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS. Albaqarah[2]: 204)
Ulama menjelaskan bahwa ucapan yang “membuat kagum” ini bisa berupa pujian, kata-kata manis, atau tampilan seolah mendukung kebenaran. (Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn Muḥammad al-Māwardī, al-Nukat wa al-ʿUyūn, 265)
Dalam konteks kekuasaan, ini adalah tipe orang yang pandai merangkai kalimat untuk menyenangkan penguasa: memuji kebijakan apa pun, mengagungkan pemimpin, bahkan seakan-akan membela rakyat, padahal semuanya demi kedudukan aman, atau keuntungan pribadi. Dan biasanya orang seperti ini sangat sensitif, ngotot kalau dikritik.
Sebagian mufasir mengatakan: ia tampak mencintai Rasulullah, tampak ingin berada di pihak yang benar, tetapi hatinya tidak demikian. Dengan kata lain: ia pandai membungkus ambisinya dengan kata-kata agama dan kebaikan.
Lalu Allah berfirman: “Dan ia menjadikan Allah sebagai saksi atas apa yang ada dalam hatinya…”. Inilah ciri klasik orang hipokrit, yakni bersumpah dengan nama-nama suci, bersikap religius di depan umum, berbicara seolah untuk kepentingan bangsa dan umat—padahal niatnya bukan itu. Ulama menafsirkan bahwa ia berkata, “Allah menjadi saksi bahwa aku benar,” padahal isi hatinya sebaliknya. Bahkan dalam qira’ah Ibnu Mas‘ud di lafadz “wa yastashhidu Allāha” ia menghadirkan Allah sebagai saksi, padahal ia tahu ia sedang berbohong.
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang hipokrit semacam itu biasanya suka berdebat. Mujahid dan As-Suddi mengatakan ia berdebat dengan cara bengkok. Mereka memutar fakta, mengaburkan kesalahan, membela yang salah, dan melempar tuduhan kepada yang benar. Al-Hasan mengatakan ia pembohong dalam argumen. Qatadah menambahkan: hatinya keras dalam bermaksiat kepada Allah.
Karakter ini sangat mirip dengan mereka yang berdiri di dekat kekuasaan hanya untuk kepentingan diri. Membela bukan karena benar, tetapi karena takut kehilangan posisi atau ingin mendapat bagian. Mereka bisa sangat agresif dalam menyerang siapa pun yang mengkritik penguasa, seakan-akan mereka sendiri sedang membela negara, padahal hanya membela kursi mereka.
Jadi tidak mengherankan jika Nabi ﷺ bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Āṣim dari Ibn Jurayj dari Ibn Abī Mulaykah dari ‘Āisyah r.a. dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras dalam berdebat (dengan cara buruk)”.(Shahih Bukhari 2277).
Kemudian Allah melanjutkan gambaran perilaku orang seperti itu dengan ayat:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِى ٱلْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ ٱلْحَرْثَ وَٱلنَّسْلَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْفَسَادَ
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS.Al-Baqarah: 205)
Baca Juga: Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20
Imam Syafi‘i menjelaskan bahwa kata sya‘i dalam firman Allah, bukan berarti berjalan kaki, tetapi bermakna melakukan tindakan. Dengan kata lain, kerusakan yang dibawa orang ini bukan karena langkah kakinya, tetapi karena perbuatan dan manuvernya. Beliau mengutip syair dalam kitabnya:
قال الشافعي رحمه الله تعالى: قال زهير: سعى بعهدِهم قومٌ لكي يُدرِكوهمُ فلم يفعلوا ولم يَليِموا ولم يَألوا
“Suatu kaum berusaha memenuhi janji mereka untuk menyusul orang-orang itu, tetapi mereka tidak melakukannya, tidak condong (kepada janji itu), dan tidak pula mengurangi (apa yang diwajibkan atas mereka).” (Tafsīr al-Imām ash-Shāfi‘ī. 323)
Penjelasan ini relevan dengan para penjilat penguasa. Di depan manis dan loyal, di belakang, ia mengatur siasat, menyingkirkan orang-orang yang tidak ia suka, melemahkan lawan politik, menyebar isu, atau memelintir informasi demi memperkuat posisinya. “Merusak tanaman dan keturunan” dalam tafsir dipahami bukan hanya kerusakan fisik, tetapi kerusakan tatanan masyarakat, ekonomi, moral, dan keadilan, semuanya rusak demi kepentingan sekelompok kecil.
Dan saat seseorang mencoba menegurnya, Allah menggambarkan reaksinya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ
“Dan ketika dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah,’ maka kesombongannya mendorongnya berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 206)
Inilah sikap yang sering terlihat. Ia membalas kritik dengan kemarahan, memperkeras sikap, bahkan menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara yang mengingatkan. Nasihat agama baginya dianggap ancaman, bukan tuntunan.
Ayat itu ditutup dengan hukuman yang tepat: “Cukuplah baginya Jahannam…”. Jadi keadilan yang pantas buat kriteria orang seperti itu memang neraka. Di sini bukan ingin menghakimi, tapi faktanya memang begitu. Dan sebagai peringatan kepada diri pribadi untuk tidak menjadi orang semacam itu.

















