BerandaUlumul QuranInilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Potret Mushaf tertua Nusantara di Rotterdam, setelah Potongan sejarah tentang mushaf Al-Quran tertua Nusantara yang kini tersimpan di Perpustakaan Rotterdam telah usai dipaparkan di edisi sebelumnya. Kali ini, fokus pada pembahasan potret fisik dan karakteristik mushaf tersebut. (untuk sebelumnya bisa klik di sini)

Salah satu yang menarik dari mushaf Al-Qur’an dengan kode MS 96 D 16 ini adalah rasm-nya. Gaya penulisan mushaf ini nyatanya tidak keseluruhan menggunakan rasm usmani. Bisa dikatakan cenderung menggunakan rasm imla’i, sebuah gaya penulisan yang menitikberatkan pada kaidah bahasa Arab.

Seperti yang mafhum diketahui bahwa gaya penulisan mushaf telah dianggap paripurna pada masa Usman bin Affan. Gaya penulisan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah rasm usmani.

Kembali pada rasm yang digunakan dalam mushaf tertua Nusantara tadi. Pengunaan rasm imla’i semakin memperkuat hasil penelitian Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, bahwa pola penulisan Al-Qur’an Indonesia sebelum adanya Mushaf Al-Quran Standar Indonesia cenderung menggunakan rasm imla’i. Bahkan pada abad ke-17 dan 18 rasm imla’i lah yang paling mendominasi khazanah mushaf Nusantara.


Baca juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!


Untuk mengetahui penggunaan rasm imla’i, mari kita cermati surat Al-Fatihah dalam MS 96 D 16 berikut ini:

Dari gambar di atas, kita cermati pada kata العالمين  dan مالك. Penulisan dua kata ini menggunakan kaidah imla’ bahasa Arab yang ditandai dengan penulisan alif, karena dibaca panjang.  Adapun penulisan rasm usmani untuk dua kata ini adalah  العلمين  dan ملك tanpa adanya alif, meski biasanya ada fathah berdiri. Hal ini dalam ilmu rasm Qur’an masuk dalam kategori kaidah Al-Hadzf (pembuangan) dari enam kaidah total menurut Imam Al-Suyuthi (w. 911 H).

Ulama penulis kitab Al-Itqan ini merumuskan 6 kaidah pokok rasm usmani. Pertama membuang huruf (al-hadzf), kedua menambah huruf (az-ziyadah), ketiga penulisan hamzah (al-hamzu), keempat penggantian huruf (al-badal), kelima menyambung dan memisah tulisan (al-fasl wal wasl), dan terakhir kalimat yang bacaanya lebih dari satu (ma fihi qira’atani wa kutiba ala ihdahuma). Terkait enam kaidah ini kita akan uraikan di artikel lain agar bisa lebih terperinci.

Sayangnya, tidak mudah untuk mengakses manuskrip yang sekarang masih di Belanda ini. Sehingga tidak ditampilkan contoh lain seperti penulisan kata  الصلوة  yang dalam imla’ bahasa Arabnya tertulis dengan  الصلاة . Contoh ini juga menjadi sampel standar dalam menentukan suatu mushaf apakah menggunakan rasm usmani atau tidak.

Sesuatu yang perlu dipahami terkait penggunaan rasm imla’i adalah konteks penggunaan dan bagaimana hukum penulisannya. Tentu saat ini mushaf-mushaf yang lolos pentashihan merupakan mushaf yang menggunakan rasm usmani.

Berbeda dengan era penyalinan manuskrip. Saat itu mushaf ditulis dengan rasm imla’i karena bersinggungan erat dengan pengajaran baca tulis Al-Qur’an. Tak dapat dipungkiri memang, pembacaan ayat Al-Qur’an dengan rasm imla’i lebih memudahkan pembacanya. Karena alasan pendidikan inilah sebagian ulama memperbolehkannya.


Baca juga: Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia


3 Pendapat Penulisan Rasm Al Quran

Sesungguhnya ada tiga pendapat terkait penulisan rasm Al-Quran. Pendapat pertama menyebut bahwa rasm usmani adalah tauqifi (aturan dari awal mula), pendapat yang dipelopori oleh Malik bin Annas (w.795 H) ini membuat wajibnya penulisan Al-Qur’an dengan rasm usmani.

Pendapat kedua menyebut bahwa rasm usmani bukan tauqifi, melainkan produk ijtihadi dari para sahabat Nabi di masa Usman. Sehingga pola penulisan bebas dengan gaya apapun yang terpenting adalah memudahkan pembaca. Adapun pendapat ini dikemukakan oleh al-Baqillani (w.403 H) dan Ibnu Khaldun (w.808 H).

Pendapat terakhir merujuk pada al-Izz ibnu ‘Abd as-Salam (w. 661 H) dan Az-Zarkasy (w.794 H) yang mengatakan, bagi orang awam boleh disesuaikan dengan rasm imla’i (pola konvensional). Sedangkan orang tertentu, tetap harus dengan rasm usmani. Namun secara garis besar, penulisan rasm usmani merupakan upaya untuk melestarikan khazanah Al-Qur’an dan memberikan kehati-hatian yang lebih dari suatu perbedaan.

Sementara itu, potret fisik mushaf tertua Nusantara ini menyimpan kekhasan tersendiri. Tebal manuskrip tercatat 4,8 cm dan berjumlah 485 halaman dengan terdiri dari 4 bagian. Peter G. Riddel menyebut kertas yang digunakan 3 bagian pertama terdapat garis tebal (chain lines), ini menunjukkan karakteristik kertas Eropa. Sementara bagian terakhir tidak ada garis tebalnya (chain lines).

Mushaf ini ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah. Tinta hitam untuk huruf dan harakat. Sedangkan tinta merah digunakan untuk tanda baca, simbol dan nama surahnya. Mushaf goresan tangan Abd Idris Faqran ini juga rapi dan menampilkan khat naskhi dengan sentuhan kufi, sehingga memberikan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.


Baca juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya


Perihal kesalahan kata, sang penulis menyertakan versi kata yang benar. Penulis juga menuliskan kata atau ayat yang kelewatan di pinggir halaman. Uniknya, mushaf yang diteliti oleh Riddel ini acap kali diperlakukan dengan cara sederhana untuk menghapus tulisan. Keunikan ini seperti adanya bekas gosokan tangan pada tulisan yang dirasa salah.

Di balik karakteristik mushaf tertua seperti penggunaan rasm imla’i dan berbagai keunikan fisik lainnya. Mushaf ini merupakan bukti autentik khazanah keagamaan dengan sejarah yang syarat akan makna. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

 

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...