Ummatan wasatha yang disampaikan oleh M. Thalibi sedikit berbeda dengan kebanyakan penjelasan para mufassir terdahulu. Terlepas dari semua itu, misi penyebutan ummatan wasatha di dalam Alquran adalah untuk memuliakan umat yang menerima risalah terakhir. Untuk memuliakan risalah ini Allah swt menjadikannya berbeda dengan ajaran-ajaran yang telah lalu, yaitu dengan perubahan-perubahan hal yang dianggap fundamental seperti arah kblat, tradisi keagamaan yang melawan tradisi sosial dan lain sebagainya.
Mengenal Lebih Dekat M. Thalibi
M.Thalibi adalah Profesor Emeritus di Universitas Tunis, sebagai sarjana muslim ia menulis beberapa karya ilmiah dengan tema besar sejarah Islam dan Maroko (Maghrib). Ia lahir di Tunis pada tahun 1921 dan menempuh pendidikan di sana pula, kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Paris.
Thalibi memiliki karir yang cukup terkenal, baik sebagai sejarawan Afrika Utara abad pertengahan dan juga sebagai pemikir teoritis mengenai sifat dan misi Islam di dunia modern. Dalam konteks yang lebih umum pemikirannya adalah tentang eksegesis al-Qur’an, analisis historis dan epistemologi agama.
Berikut redaksi ummatan wasatha yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143,
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)
Dalam surah Al Baqarah ayat 143 Thalibi mengambil penjelasan ulama dalam hal sebab turunnya ayat tersebut, bahwasannya ayat ini turun berkaitan dengan pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Makkah. Menurut al-Razi kiblat yang mengarah ke Baitul Maqdis adalah sikap keramahan kepada kaum Yahudi, dan ini juga tidak terdapat dalam Alquran. Ibnu Katsir juga mengambil penjelasan dari Ikrimah, Abu al-Aliyah dan Hasan al-Basri, bahwa arah kiblat ke Baitul Maqdis merupakan ijtihad Nabi sendiri.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam
Sedangkan pemindahan arah kiblat ke arah Ka’bah menurut al-Razi karena Ka’bah adalah pusat dan lokasi tengah bumi. Dan juga merupakan kiblat dari Nabi Ibrahim, tempat kelahiran Ismail serta tempat yang dimuliakan Allah. Ketika itu Nabi Muhammad saw. berharap kiblat Baitul Maqdis dipindah agar berbeda dengan kaum Yahudi. Kemudian Allah mengabulkan permohonan kekasih-Nya ini.
Menurut penjelasan al-Ashfahaniy, wasatha adalah tengah-tengah sesuatu yang memiliki dua sisi yang ukurannya sama. وَسَطَ dengan dibaca fathah huruf sin maka digunakan untuk sesuatu yang memiliki kesatuan bentuk yang menempel, seperti anggota badan kepala. Sedangkan وَسْطَ dengan dibaca sukun sin, digunakan untuk kesatuan yang terpisah, seperti di tengah-tengah suatu masyarakat.
Dengan kata ini terkadang juga dipakai untuk maksud yang tengah-tengah, yaitu posisi yang terhindardari pandangan yang fanatik dan juga pandangan yang menyepelekan (Al-Asfahaniy, Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hal. 522). Kata “umat” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan kata sya’bu dan jumhur yang berarti rakyat atau bangsa (Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 40). Kata wasth atau wasath memiliki makna sesuatu yang berada di tengah-tengah suatu tempat atau yang berada di tengah di antara dua hal.
Secara kebahasaan konteks wasatha dalam ayat tersebut dapat diartikan dengan kata al-‘adlu yaitu seimbang, sesuai dan tidak berat sebelah, juga mengandung makna pilihan. Dikatakan al-‘adlu karena adil adalah setelah adanya kesamaan di antara dua sisi dan berada tepat di tengah keduanya.
Wasath juga berarti tidak lebih condong dan berlebihan pada satu sisi. Sehingga maknanya adalah umat Islam dalam beragama memposisikan diri di tengah-tengah di antara yang berlebihan dan yang menyia-nyiakan, di antara yang fanatik dan yang meremehkan. Karena umat Islam dalam beragama tidak fanatik sebagaimana kefanatikan umat Nasrani dan juga tidak meremehkan sebagaimana yang dilakukan umat Yahudi.
Baca juga: Tafsir Surat al-Fath 29: Benarkah Harus Bersikap Keras kepada Non-Muslim?
Ummatan wasatha yang dimaksudkan dalam al-Baqarah ayat 143 adalah umat tengah-tengah yang dipilih Allah tanpa memandang fisik, sehingga Allah tidak memandang bangsa Arab lebih unggul dari pada bangsa lain. Bangsa Arab lebih dianggap salah satu bangsa yang tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lain dari seluruh manusia di dunia. Ummatan wasatha dan persaksian disebutkan dalam al-Qur’an dengan posisi yang sempurna. Umat pilihan Allah yang diberikan amanah untuk menyampaikan risalah terakhir.
Ketika hal-hal sejarah yang bertentangan dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Makkah maupun era awal di Madinah, sesungguhnya ini memang berat. Karena terdapat perubahan besar-besaran dari ajaran Ibrahim terdahulu, tetapi pada dasarnya perubahan ini menjadikan agama Islam lebih maju dan melampaui semua ajaran yang telah lalu.
Arah kiblat yang diperintahkan kepada ummatan wasatha untuk sholat menghadapnya pada dasarnya bukanlah kiblat baru. Karena kiblat ini merupakan pondasi yang telah ditinggikan oleh Ibrahim dan Ismail. Bahkan dengan pemindahan kiblat ini, ajaran Islam telah dengan cepat melampaui semua ajaran dengan mengambil asal pokok ajaran tauhid, bukan cabangnya.
Ummatan wasatha pernah diakui oleh orang-orang Yahudi bahwasannya umat yang termasuk adalah masyarakat di samping Arab, Persia dan Afrika. Padahal ummatan wasatha yang dimaksudkan Alquran adalah semua umat manusia tanpa adanya batasan. Jika ada batasan pun batasannya adalah satu, yaitu umat satu yang menyembah Allah. Sebagaimana dalam Q.S. al-Anbiya [21]: 92.
Baca juga: Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas
Ummatan wasatha juga disebut sebagai ummat syahadah, apa yang ditentukan dalam setiap detil kepada umat Nabi Muhammad ini adalah untuk mempersiapkan mental agar dapat mengemban tugas menyebarkan syahadat kepada seluruh manusia. Sebagaimana syahadat yang disampaikan oleh Rasul saw terakhir, sehingga ummat ini menjadi perantara langsung dari rasul secara terus menerus. Dalam surat Ali Imran ayat 110 juga disebutkan bahwa umat ini adalah umat yang paling baik.
Tetapi penjelasan di atas tidak sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir terdahulu yang berpendapat bahwa sesungguhnya Allah tidak membutuhkan syahadat dari suatu umat untuk membangun hujjah kepada hamba-hamba-Nya. Dan persaksian manusia tidak diperhitungkan secara bersama-sama, tetapi lebih pada persaksian perseorangan.
Terlepas dari semua penjelasan yang bertentangan, ummatan wasatha menjadi saksi dalam penyampaian risalah kenabian yang juga diberikan tanggung jawab meneruskan penyampaian tersebut kepada semua manusia. Sedikit banyak ummat ini juga berkontribusi dalam dakwah dan kehidupan Nabi, sehingga mereka bersaksi atas kerasulan, kebaikan dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw, begitu juga sebaliknya Nabi Muhammad saw menyaksikan apa saja yang mereka lakukan dalam membantu penyebaran agama Islam