BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanInilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Topik toleransi beragama belakangan ini hangat diperbincangkan, terutama berkenaan dengan toleransi antara agama. Hal ini dilakukan sebagai sarana merajut kembali harmoni sosial-keagamaan yang carut-marut akibat kontestasi politik yang menyebabkan banyak konflik, intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Fenomena tersebut jika tidak ditangani dengan baik dapat berakibat pada rusaknya kerukunan beragama

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi dimaknai sebagai sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dengan demikian, toleransi adalah sikap menghargai seseorang terhadap orang lain mengenai aspek yang berbeda dengannya.

Dalam bahasa Arab, toleransi diterjemahkan sebagai al-tasāmuh atau al-samāhah. Kata ini berasal dari kata samaha yang bermakna mengizinkan, membolehkan, membiarkan, memberi hak dan menyetujui. Selain itu, kata samhun juga dapat diartikan sebagai murah hati, dermawan, pemaaf dan besar hati.  Dalam suatu hadis nabi Muhammad Saw pernah menyebutkan bahwa Islam adalah agama al-hanīfiyyah al-samhah, yakni agama yang lurus dan penuh toleransi (Wawasan Al-Qur’an: 67).

Kata al-tasāmuh atau al-samāhah dan derivasinya memang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Kendati demikian, bukan berarti Al-Qur’an tidak mengajarkan tentang toleransi ataupun hal serupa lainnya. Sebaliknya, Al-Qur’an banyak mengajarkan nilai-nilai toleransi melalui kata kunci atau istilah-istilah lain terkait al-tasāmuh atau al-samāhah, seperti al-rahmah, al-afw dan al-shafhu.

Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai panduan atau rambu-rambu toleransi beragama yang Al-Qur’an ajarkan kepada manusia, terutama pembacanya. Panduan tersebut akan memandu pembaca kepada toleransi beragama yang proporsional (sesuai), tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas (bercampur aduk). Dan dengan rambu-rambu tersebut diharapkan dapat tercipta masyarakat yang toleran sebagaimana masyarakat Madinah dahulu.

Kesadaran Akan Keniscayaan Perbedaan

Langkah pertama yang diisyaratkan Al-Qur’an adalah kesadaran akan keniscayaan perbedaan. Tanpa kesadaran ini, maka seseorang tidak mungkin untuk menghargai apalagi menerima perbedaan. Karena ketika dalam benak seseorang terdapat pemahaman bahwa realitas manusia itu tunggal (semua manusia sama), maka realitas yang berbeda dengan realitas dalam benaknya tersebut akan dianggap salah. Bahkan mungkin ada kecenderungan untuk menghapus realitas yang berbeda itu.

Berkenaan dengan keniscayaan ini, Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat di atas secara umum berbicara mengenai uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Penggalan pertama Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan menunjukkan bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku yang lain, karena mereka semua sama-sama manusia dan berasal dari satu sumber yang sama (Tafsir Al-Misbah [13]: 261).

Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Qur’an

Secara eksplisit ayat di atas juga menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan hanya antar satu bangsa, suku, atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka. Tidak ada perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan kecuali tingkat ketakwaan mereka.

Berkenaan dengan kesamaan derajat manusia, Rasulullah pernah bersabda, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak juga non-Arab atas orang Arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (HR. al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah)

Selanjutnya pada bagian ayat kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal menunjukkan bahwa dalam kenyataannya manusia itu beragam, baik ras, suku, kebangsaan, warna kulit, maupun jenis kelamin dan sebagainya. Perbedaan tersebut merupakan sunatullah yang tidak bisa dihindari dan harus diterima dengan bijaksana.

Setelah menyadari keniscayaan perbedaan, manusia seharusnya tidak menjadikan hal tersebut sebagai alat pemecah belah ataupun wadah kesombongan, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk saling mengenal antara satu sama lain. Menurut Quraish Shihab, Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada pihak lain, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Perkenalan itu dibutuhkan untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi (saleh sosial) dan kebahagiaan ukhrawi (saleh ritual) (Tafsir Al-Misbah [13]: 262).

Dalam konteks perbedaan agama dan toleransi beragama, seorang muslim harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas manusia yang tidak bisa dihindari. Dengan kesadaran tersebut, ia semestinya dapat bertoleransi dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain dalam aspek sosial-kemasyarakatan, tanpa membedakan antara sesama muslim dengan non-muslim. Karena pada hakikatnya mereka semua adalah makhluk yang Allah ciptakan.

Singkatnya, seorang muslim wajib meyakini dengan penuh keyakinan terhadap ajaran Islam, namun pada sisi yang lain ia harus menghargai pemeluk agama atau kepercayaan lain sebagai sesama manusia. Ia juga tidak boleh menyombongkan keislamannya dan tidak boleh merasa lebih baik dari manusia lain, karena pada bagian akhir ayat disebutkan Innallāha ‘alīmun khabīr yang berarti Sesungguhnya (hanya) Allah yang mengetahui tingkatan ketakwaan manusia dan hampir mustahil manusia mengetahuinya. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...