Salah satu penafsiran Al-Quran yang berbahasa Jawa, beraksara Pegon dengan makna gandul adalah Tafsir Iklil yang ditulis oleh Kiai Misbah Mustafa. Pada artikel sebelumnya telah diulas biografi Kiai Misbah. Judul tafsir ini lengkapnya adalah Tafsir Al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil. Kitab tafsir ini sangat terkenal di sebagian kalangan masyarakat muslim tradisional di Jawa Tengah dan Yogyakarta di samping Tafsir Al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir Al-Quran Al-‘Aziz karya kakaknya, KH. Bisri Mustafa.
Penggunaan bahasa Jawa Pegon dan makna gandul dalam tafsir ini menjadikan tafsir ini memiliki karakter khas yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Sebagai upaya untuk memahami pesan Al-Quran dan menyampaikannya kepada masyarakat, Tafsir yang berbahasa Jawa Pegon ini yang sarat akan nuansa lokalitas di dalamnya sangat memudahkan masyarakat Jawa dalam memahami apa yang disampaikan di dalamnya.
Sejarah Penulisan Tafsir Iklil
Tafsir ini memang sengaja ditulis dalam bentuk aksara Jawa Pegon karena Kiai Misbah melihat realitas sosial-budaya masyarakatnya yang lekat akan tradisi pesantren dan Jawa, maka untuk memudahkan dan menyampaikan pesan Al-Quran Kiai Misbah menulis tafsir ini. Aspek yang lain, misalnya, kondisi masyarakat saat itu yang lebih mementingkan duniawi, dan mengabaikan kepentingan ukhrawi adalah salah satu bentuk keprihatian tersendiri bagi Kiai Misbah.
Maka dengan hadirnya Tafsir Iklil ini, Kiai Misbah berharap agar mereka mampu mempunyai keimanan dan kepribadian yang kokoh, tidak mudah goyah karena pengaruh lingkungan. Kiai Misbah menuturkan,
“Al-Qur’an suwijine kitab suci saking Allah kang wajib digunaake kanggo tuntunan urip dening kabeh kawulane Allah kang padha melu manggon ana ing bumine Allah. Saben wong Islam wajib ngakoni yen al-Qur’an iku dadi tuntunan uripe, yaiku artine ucapan “wa al-Qur’ān imāmī”. Wong Islam ora kena urip ing bumine Allah nganggo tuntunan sak liyane al-Qur’an. Ora kena urip cara wong kafir, utawa wong Hindu utawa wong Budha utawa cara apa bahe (KH Misbah bin Zain al-Mushtafa, al-Iklil fi Ma‘ani al-Tanzil).
Terjemahannya,
“Al-Quran merupakan kitab suci dari Allah yang harus digunakan sebagai tuntunan hidup oleh semua hamba Allah yang menempati bumi-Nya. Setiap orang Islam wajib mengakui bahwa Al-Quran menjadi tuntunan hidupnya, inilah artinya “wa Al-Quran imami”. Setiap muslim tidak boleh hidup di bumi Allah dengan menggunakan tuntunan selain Al-Quran, tidak boleh hidup dengan cara orang kafir, atau cara orang Hindu, cara orang Budha atau yang lain”
Baca juga: Mengenal Tafsir Ilmi, Tafsir Jawahir Karangan Thanthawi Jauhari
Spesifikasi Tafsir Iklil
Kiai Misbah memulai penulisan tafsir ini pada tahun 1977 hingga 1985. Tafsir Iklil ini mempunyai sistematika dan teknik penulisan yang khas, yaitu menggunakan bahasa Jawa, beraksara Arab pegon dan makna gandul yang menjadi distingsi karya-karya ulama pesantren Jawa.
Setiap ayat Al-Quran diterjemahkan secara harfiah dengan menggunakan makna gandul atau jenggot yang ditulis miring ke bawah di setiap kata, kemudian diterjemahkan per ayat di bagian bawah. Tafsir Iklil terdiri atas 30 juz dan dicetak sebanyak 30 jilid. Setiap jilid berisi penafsiran terhadap setiap juz dari Al-Quran. Jilid 1 merupakan penafsiran terhadap juz 1, dan seterusnya. Dan juga setiap juz dicetak dengan sampul yang berbeda-beda warnanya dengan juz lain.
Juz 1 (137 halaman), Juz 2 (142 halaman), Juz 3 (184 halaman), Juz 4 (245 halaman), Juz 5 (143 halaman), Juz 6 (157 halaman), Juz 7 (145 halaman), Juz 8 (190 halaman), Juz 9 (210 halaman), Juz 10 (294 halaman), Juz 11 (249 halaman), Juz 12 (180 halaman), Juz 13 (178 halaman), Juz 14 (185 halaman), Juz 15 (236 halaman), Juz 16 (108 halaman), Juz 17 (123 halaman), Juz 18 (140 halaman), Juz 19 (114 halaman), Juz 20 (136 halaman), Juz 21 (141 halaman), Juz 22 (129 halaman), Juz 23 (127 halaman), Juz 24 (97 halaman), Juz 25 (117 halaman), Juz 26 (88 halaman), Juz 27 (80 halaman), Juz 28 (94 halaman), Juz 29 (117 halaman), Juz 30 (192 halaman).
Dari rincian juz di atas terlihat yang paling tebal adalah juz 10 (294 halaman), yang paling sedikit adalah juz 27 (80 halaman). Mulai juz 1 hingga juz 29 halaman ditulis secara berkelanjutan berakhir di halaman 4482. Sementara itum untuk juz 30 diberi judul Tafsir Juz ‘Amma fi Ma’ani at-Tanzil dengan halaman terpisah, yaitu mulai halaman 1 hingga 192.
Makna Al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil diberikan sendiri oleh Kiai Misbah. Al-Iklil berarti “mahkota” dalam bahasa Jawa disebut “kuluk” atau “tutup kepala seorang raja’”. Kiai Misbah berharap dengan memberikan nama Al-Iklil bagi kitab tafsirnya supaya Allah swt memberi kemudahan kepada umat Islam dalam memahami Al-Quran dan menjadikannya sebagai pedoman dan pelindung hidupnya sehingga membawa ketentraman di dunia dan akhirat.
Baca juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi
Kekhasan Tafsir Iklil
Ada beberapa ciri khas yang terdapat dalam tafsir ini di antaranya,
Kiai Misbah membagi penjelasan terhadap ayat menjadi dua bagian, seraca global dan rinci. Secara global ditandai dengan garis tipis mendatar dan secara rinci ditandai dengan garis tebal. Selain itu, Kiai Misbah juga menggunakan istilah-istilah khusus untuk menekankan sesuatu yang penting.
Kiai Misbah menggunakan istilah “keterangan” untuk menunjukkan penjelasan penafsiran yang biasanya ditulis relatif lebih panjang karena bermaksud menjelaskan panjang lebar ayat tersebut, disingkat dengan ket. ditambah dengan nomor ayat yang tengah ditafsirkan, “masalah” untuk mengungkap contoh persoalan yang sedang ditafsirkan, “tanbih” sebagai keterangan tambahan, dan biasanya berupa catatan penitng, “faedah” berisi intisari ayat dan “kisah” berisikan cerita atau riwayat yang sedang dikutip Kiai Misbah berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.
Dilihat dari model penafsiran di aats bahwa kiai Misbah menggunakan metode analitis atau tahlili dalam menafsirkan Al-Quran. Disusun berdasarkan urutan ayat (tartib mushafi) selanjutnya mengemukakan asbabun nuzul, munasabah antar ayat serta menjelaskan berbagai hal lain seperti penjelasan makna kata, hadis Nabi, riwayat dari sahabat dan tabi’in, dll.
Tak pelak, Kiai Misbah juga seringkali mengangkat isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat, isu gender, misalnya. Dalam konteks ini, Kiai Misbah seringkali merespons atas situasi terkini saat itu seperti kasus MTQ dan berbagai tradisi yang terjadi di masyarakat adalah kasus-kasus yang mendapatkan perhatian dari Kiai Misbah dalam menafsirkan Tafsir Al-Iklil Ma’ani fi Tanzil. Wallahu A’lam.