Apa berbedaan Al-Quran dan hadis yang sama-sama berisi firman Allah swt? kenapa ada firman Allah yang berupa Al-Quran dan ada yang berupa hadis? Dua pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang muncul di pikiran saat menemui Hadis Qudsi. Mengenai Al-Quran dan Hadis Qudsi, banyak yang mengerti bahwa keduanya adalah dua hal yang berbeda. Namun tidak semua orang tahu letak perbedaan keduanya dan hikmah di balik firman Allah swt yang dibedakan tersebut.
Perbedaan Al-Quran Dan Hadis Qudsi
Al-Quran dan Hadis Qudsi adalah sama-sama firman Allah swt. Namun, keduanya memiliki sifat yang berbeda sehingga mempengaruhi aspek penggunaannya. Perbedaan yang dimaksud dapat diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut:
Al-Quran adalah firman Allah swt yang diturunkan melalui Malaikat Jibril, sedang Hadis Qudsi adalah firman Allah yang disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad. Lafad dan makna Al-Quran berasal dari Allah, sehingga cukup dengan membaca lafadznya saja, meski tidak mengerti maknanya, sudah bernilai pahala. Selain itu, lafad Al-Quran mengandung i’jaz sehingga tidak boleh diubah sesuka hati, meski dengan lafad lain yang semakna (Qawaidut Tahdis/22).
Dalam berinteraksi dengan Al-Quran, setiap orang muslim disyaratkan harus suci dari hadas kecil maupun besar saat menyentuh maupun membawanya. Selain itu, orang yang hadas besar juga tidak boleh membacanya. Setiap muslim juga harus meyakini kebenaran Al-Quran. Karena Al-Quran diriwayatkan secara sahih dan mutawatir. Sehingga bisa dipastikan kesahihannya.
Baca Juga: Inilah Telaah Makna Kata Al-Quran
Adapun Hadis Qudsi, maknanya dari Allah sedang lafadnya berasal dari Nabi Muhammad saw. Allah menyampaikan sesuatu kepada Nabi Muhammad, dan Nabi mengolahnya dalam bahasa beliau. Tidak seperti Al-Quran, Hadis Qudsi boleh disampaikan dengan redaksi yang berbeda selama tidak mengubah kandungan makna. Lafad Hadis Qudsi tidak mengandung i’jaz sebagaimana Al-Quran, juga tidak disyaratkan harus suci dari hadas saat menyentuhnya. Keharusan meyakini kesahihan sebuah hadis yang tergolong hadis qudsi, bergantung tingkat periwayatan hadis tersebut, yang bisa saja lemah sehingga tidak harus diyakini kebenarannya (Qawaidut Tahdis/22).
Beberapa ulama’ telah membuat karya khusus yang memuat banyak Hadis Qudsi. Salah satunya adalah ‘Abdur Ra’uf Al-Munawi; pengarang kitab Syarh Faidul Qadir. Al-Munawi menyusun kitab berjudul Al-Ittihafat As-Saniyah Bil Ahadis Al-Qudsiyah yang memuat 272 Hadis Qudsi, dilengkapi nama sahabat yang meriwayatkannya serta mukharrijnya.
Hikmah Keberadaan Al-Quran Dan Hadis Qudsi
Keberadaan firman Allah swt yang dibedakan antara Al-Quran dan Hadis Qudsi memiliki hikmah tersendiri. ‘Abdul ‘Adhim Az-Zarqani dalam kitab Manahilul ‘Irfan menjelaskan, Hadis Qudsi adalah suatu bagian tersendiri dan memiliki karakter tersendiri di luar Al-Quran dan hadis nabi.
Bila Al-Quran adalah firman Allah swt yang harus disampaikan dengan redaksi lafad yang sama, dan hadis nabi adalah ucapan Nabi Muhammad salallahualaihi wa sallam yang boleh disampaikan secara makna atau dalam artian boleh menggunakan redaksi yang berbeda, maka Hadis Qudsi adalah firman Allah yang boleh disampaikan secara makna saja, atau boleh dengan redaksi lafad yang berbeda (Manahilul ‘Irfan/1/37).
Baca Juga: Empat Peran Hadis dalam Menafsirkan Al Quran
Bentuk Hadis Qudsi yang seperti ini memberikan kemudahan tersendiri bagi umat Islam. kemudahan tersebut adalah dapat menyampaikan firman Allah swt, tanpa harus terpaku dengan redaksi yang sama. Selain itu, orang yang hadas sekalipun, boleh membaca, menyentuh maupun membawanya kemana saja.
Dengan ini, untuk berdekatan dengan Allah melalui firman-Nya tanpa harus menjaga diri dari hadas, dan menyampaikan firman Allah dengan redaksi yang bisa disesuaikan dengan tempat dan keadaan, bisa terwujud. Hal ini adalah bentuk rukhsah atau kemudahan tersendiri yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya (Manahilul ‘Irfan/1/37).
Salah satu contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan sahabat Anas ibn Malik berikut:
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “يَا ابْنَ آدَمَ! إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ! لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ! إنَّكَ لَوْ أتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقَيْتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً” .
Anas ibn Malik berkata: Aku mendengar Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, aku ampuni dirimu atas apa yang ada dari dirimu dan aku tidak perduli. Hai anak Adam! Andai dosa-dosamu sampai ke awan langit lalu engkau meminta ampun kepadaku, maka aku mengampunimu. Hai anak Adam! Sesungguhnya engkau andai datang kepadaku membawa kesalahan seberat bumi, lalu engkau menemuiku sembari tidak menyekutukanku dengan apapun, maka pastilah aku datang kepadamu dengan ampunan seberat bumi.” (HR. Imam At-Tirmidzi)
Wallahu A’lam