Salah satu kajian ilmu Al-Quran yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat adalah kajian muhkam dan mutasyabih. Walaupun beberapa ulama ada yang menolak keberadaan ayat yang bersifat mutasyabihat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa memang ada ayat-ayat dalam Al-Quran yang masih menimbulkan berbagai kemungkinan makna. Sehingga tidak cukup apabila hanya diartikan secara harfiah. Jika demikian, lantas apa hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Quran?
Definisi Singkat Mutasyabihat
Kata Mutasyabih terambil dari akar kata asy-Syabah yang bermakna serupa (tapi tak sama). Sedangkan secara definitif, Mutasyabih dalam lingkup kajian ulumul Qur’an adalah ayat-ayat yang maknanya masih samar, dan belum ada kejelasan makna. Sehingga butuh penjelasan yang lebih mendalam untuk mengungkap kandungan makna ayat mutasyabihat.
Manna’ al-Qaththan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran menjelaskan bahwa ayat-ayat mutasyabihat memiliki tiga ciri, yaitu: (1) makna yang hanya diketahui oleh Allah; (2) ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna; dan (3) ayat yang tidak dapat dipahami secara literal, sehingga butuh penjelasan dalam memahami makna ayat tersebut.
Baca Juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan
Macam-macam Ayat Mutasyabihat
Dalam kitab Manahil al-Irfan fi ‘Ulum Al-Quran karya Muhammad Abd al-’Adzim az-Zarqani, beliau menjelaskan bahwa terdapat tiga macam bentuk ayat-ayat mutasyabihat, antara lain yaitu: Pertama, ayat yang dimana semua manusia tidak mampu menggapai pemahaman terhadap makna dan kandungan ayat tersebut. Ayat-ayat mutasyabihat yang masuk dalam kategori pertama ini adalah ayat-ayat yang berbicara tentang dzat Allah beserta hakikat maupun sifat-Nya. Serta tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan waktu terjadinya kiamat dan hal-hal ghaib lainya.
Salah satu contoh ayat mutasyabihat bentuk pertama ini adalah Q.S. Luqman [31] ayat 34:
اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ࣖ – ٣٤
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.”
Kedua, ayat mutasyabihat yang setiap orang dapat mengetahuinya dengan cara melakukan kajian yang mendalam. Ketegori kedua ini berisi ayat-ayat yang memiliki lafadz yang tidak umum (gharib), tidak adanya kejelasan hukum, kosakata yang bersifat ambigu, dan lain sebagainya. Contoh ayat macam kedua ini adalah Q.S. al-Nisa’ [4] ayat 3:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ – ٣
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Dalam ayat tersebut terdapat ketidakjelasan apakah perintah poligami tersebut bersifat wajib atau sunnah, ataupun yang lainya. Sehingga dalam satu ayat dapat melahirkan berbagai pendapat hukum (ma ihtamala aujah).
Baca Juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran
Ketiga, ayat mutasyabihat yang hanya diketahui oleh sebagian ulama khusus (khawas al-ulama’). Karena dalam memahami ayat tersebut dibutuhkan kejernihan hati dan penyucian jiwa, serta memiliki kompetensi yang tinggi dalam melakukan ijtihad terhadap pemaknaan ayat tersebut. Salah satu contoh ayat kategori ketiga ini adalah Q.S. al-Fath [48] ayat 10:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ ۚ فَمَنْ نَّكَثَ فَاِنَّمَا يَنْكُثُ عَلٰى نَفْسِهٖۚ وَمَنْ اَوْفٰى بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ اللّٰهَ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ – ١٠
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”
Hikmah Keberadaan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Masih dalam kitab yang sama yaitu Manahil al-Irfan fi ‘Ulum Al-Quran, az-Zarqani menjelaskan bahwa dari setiap macam ayat-ayat mutasyabihat tersebut memiliki beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya. Untuk ayat mutasyabihat ketegori pertama, az-Zarqani menyebutkan terdapat beberapa hikmah, yaitu:
- Sebagai bentuk rahmat Allah kepada umat manusia yang sangat lemah ini. Karena ketika Allah hendak menampakkan sedikit keagungan-Nya, maka secara langsung gunung akan hancur dan Nabi Musa sebagai manusia langsung jatuh pingsan (Q.S. al-A’raf [7]: 143). Selain itu, dengan dirahasiakannya waktu kiamat, supaya manusia tidak malas dalam mempersiapkan bekal amal dalam menghadapi kedatangan hari tersebut.
- Sebagai bentuk ujian, apakah umat manusia mengimani perkara-perkara yang ghaib yang diceritakan dalam Al-Quran secara yakin ataupun justru menolak kebenaran akan hal ghaib tersebut.
- Untuk menunjukkan bahwa manusia itu sangat lemah dan hanya memiliki pengetahuan yang sangat sedikit. Serta menjadi bukti akan kebesaran dan keluasan ilmu Allah.
- Dijelaskan oleh al-Razi, bahwa andaikan semua isi ayat Al-Quran itu bersifat muhkamat, maka akan menghasilkan satu madzhab saja yang dianggap benar. Sehingga otomatis akan menyalahkan madzhab lain yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan madzhab pertama tersebut.
Baca Juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam
Adapun jenis ayat mutasyabihat yang kategori kedua dan ketiga, ayat-ayat tersebut memiliki hikmah sebagaimana berikut:
- Sebagai bentuk penetapan akan mu’jizat Al-Quran, dengan ketinggian mutu sastra dan balaghah yang dimiliki Al-Quran.
- Az-Zarqani mengutip pendapat al-Razi yang mengatakan bahwa apabila ditemukan suatu ayat yang bersifat mutasyabihat maka akan muncul kesulitan dalam pemahaman ayat tersebut. Sehingga mengakibatkan jalan menuju Allah menjadi lebih sulit dan lebih berat. Namun demikian, bertambahnya kesulitan tersebut justru menambah kadar pahala. Hal ini dikarenakan semakin sulit jalan yang ditempuh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka pahala yang disiapkan akan disesuaikan dengan kadar usahanya. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 142.
- Dengan adanya ayat yang bersifat muhkamat dan mutasyabihat, maka akan memunculkan ilmu-ilmu baru yang digunakan sebagai perangkat atau alat untuk memahami ayat tersebut. Contohnya seperti ilmu gramatika bahasa Arab, ushul fikih, balaghah, dan lain sebagainya.
Masih mengutip pendapat al-Razi, beliau menjelaskan bahwa dengan adanya ayat muhkamat dan mutasyabihat akan mendorong penggunaan nalar rasio (al-adillah al-aqliyah) sebagai alat bantu dalam memahami makna dan kandungan ayat mutasyabihat tersebut. Sehingga tidak akan jatuh dalam kegelapan taklid.