BerandaTafsir TematikWahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Selain akhlak mulia, hal yang mungkin luput kita sadari dalam rangka meneladani Nabi saw di bulan maulid ini adalah sosoknya sebagai pejuang kemanusiaan. Nabi Muhammad saw merupakan figur yang berperan penting dalam rangka menghilangkan diskriminasi ras dan ikut andil dalam melakukan transformasi sosial termasuk menghilangkan perbudakan.

Ajaran yang dibawa Rasulullah Saw mendorong para sahabat untuk membebaskan budak. Terobosan yang di abad ke-7 M terbilang sangat maju. Di saat masyarakat lain seperti di Byzantium dan Romawi justru melegalkan perbudakan dan menganggap budak adalah kebutuhan.

Sebagai pejuang kemanusiaan, Nabi Muhammad saw juga sangat dekat dan mencintai orang-orang lemah dan miskin. Bahkan, dalam sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri Rasulullah saw berdoa:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا، وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا، وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ

“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkan aku bersama orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan Al-Baihaqi)

Menurut Syekh Ahmad Thayyib sebagaimana dijelaskan dalam situs dar-alifta.org, doa ini tidak tepat diartikan sebagai dorongan umat Islam untuk hidup miskin. Doa ini adalah bentuk kecintaan dan kepedulian Nabi saw kepada mereka. Kecintaan ini membuktikan bahwa Nabi saw adalah pribadi yang sederhana dan berada di pihak orang-orang tertindas.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Naml Ayat 34: Penjajahan Menyalahi Fitrah Kemerdekaan Manusia

Sebagai pejuang kemanusiaan dan pembebasan, sejak awal Rasulullah saw telah merangkul orang-orang lemah (mustadh’afin) dan duduk sejajar dengan mereka. Wahyu Al-Quran menyindir perilaku orang-orang Quraisy Makkah yang berbangga-bangga dengan nasab dan harta benda. Sebagaimana misalnya tercantum dalam Surat At-Takatsur (102): 1-8 dan Al-Humazah (104): 1 – 9.

Al-Quran sebagai pedoman Nabi Saw, selalu mendorong kesetaraan sosial dengan tidak membeda-bedakan status sosial. Semua manusia sama dan sejajar di hadapan Allah Swt.

Atas dasar ajaran inilah Allah Swt menegur Nabi Saw ketika tidak menghiraukan Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang datang ke hadapannya, sedang Nabi bersama para pembesar Quraisy. Hal ini tentu saja perlu kita pahami sebagai bagian dari sifat manusiawi Nabi Saw. Karena kemakshumannya, Allah Swt yang langsung mengingatkan baginda Nabi saw. Allah Swt berfirman:

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seoran buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy). Maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya. …”

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menerangkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw sedang bercakap-cakap dengan para pembesar Quraisy. Rasul Saw sangat berharap agar mereka dapat memeluk Islam. Seketika datanglah Abdullah Ibn Ummi Maktum, yang telah masuk Islam lebih dulu, hendak menanyakan sesuatu. Akan tetapi Rasul Saw agaknya kurang menghendaki pertanyaan dari Abdullah Ibn Ummi Maktum. Lalu turunlah ayat ini.

Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan

Dari kasus Surat ‘Abasa ini, kita bisa mengambil contoh bahwa Al-Quran menghendaki Rasulullah Saw selalu menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Karena memang inilah inti dari ajaran Islam dan risalah kenabian.

Ajaran kemanusiaan, pembebasan, kesetaraan, dan perjuangan melawan diskriminasi ini wajib menjadi panduan umat Muslim hingga saat ini. Salah satu tokoh yang bisa dikatakan cukup berhasil mengimplementasikan ajaran Al-Quran ini adalah Farid Esack. Ia menggunakan spirit pembebasan Al-Quran untuk menjadi basis teologi dalam meruntuhkan rezim apartheid di Afrika Selatan.

Apartheid adalah kebijakan yang diberlakukan pemerintah Afrika Selatan untuk melakukan segregasi politik dan ekonomi antara kulit putih dan kulit berwarna. Kebijakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian komunitas dan lembaga Muslim dengan dalih menghindari fitnah dan melarang pemberontakan.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Dengan menggunakan spirit pembebasan Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad saw Farid Esack membuat narasi tandingan. Esack menegaskan bahwa sejatinya ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw memiliki agenda pembebasan dan tidak menganut teologi diam. Cerita tentang perjuangan Farid Esack dan konsepnya soal teologi pembebasan al-Quran ini dapat kita temukan dalam bukunya yang berjudul Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perpsective of Interreligious Solidarity Against Oppression.

Selain Farid Esack, tentu masih banyak lagi tokoh yang menjadikan ajaran pembebasan Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad Saw sebagai dasar perjuangan mereka.

Melalui momentum bulan maulid Nabi ini, kita patut berupaya untuk mengimplementasikan ajaran dan keteladan Nabi sebagai pejuang kemanusiaan. Wallahu A’lam.

Wildan Imaduddin Muhammad
Wildan Imaduddin Muhammad
Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

0
Alquran menyebutkan fenomena alam tidak hanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi juga sebagai pengingat akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Salah satu elemen alam yang...