Relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial, yang menunjukkan praktik ketimpangan, menjadi alasan cukup kuat mengapa perspektif kesetaraan gender dibutuhkan dalam suatu produk tafsir. Pasalnya, ketimpangan berbasis gender secara faktual kerap terjadi. Sejumlah wacana yang diambil dari tafsir dan produk hukum pun turut urun dalam menciptakan praktik menyimpang tersebut.
Ketimpangan tersebut bermula dari asumsi bias masyarakat terhadap gender. Diakui atau tidak, pembedaan gender masih kerap kita temukan pada pola pikir masyarakat Indonesia. Jika bias dalam memahami sesuatu, biasanya akan menimbulkan ketidaksesuaian dalam bersikap.
Ketimpangan gender memiliki beragam bentuk. Seperti yang dituliskan Mansour Fakih dalam Analisis Gender, terdapat 5 bentuk ketimpangan gender, yakni beban ganda, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan stigmatisasi.
Dalam konteks Indonesia, ketimpangan gender antara lain dapat kita lihat dari isu kekerasan berbasis gender, yang terus berkembang dalam berbagai bentuk yang kompleks, hingga hari ini. Melansir liputan6.com (3/21), sebesar 42 % masyarakat Indonesia mengalami kekerasan berbasis gender selama pandemi. Dari jumlah yang tidak sedikit itu, perempuan menjadi sasaran paling banyak. Kekerasan yang dialami pun beragam, seperti kekerasan seksual, psikis, siber, KDRT, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas dan detilnya dapat dilihat pada hasil survey komnas perempuan.
Baca juga: Alquran Tidak Melegitimasi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Selain kekerasan, ketimpangan gender juga tampak dari praktik beban ganda yang harus dipikul sebagian perempuan di Indonesia. Sebelum dipahami dengan kurang tepat, beban ganda yang saya maksud ialah beban ekstra khusus (specific extra burden), yang dipikul istri, bukan beban ganda secara harfiah, yang berarti dua beban. Secara substansi, beban ganda ialah beban lebih kompleks, yang bisa saja dipikul salah satu dari suami atau istri, yang hidup dalam relasi timpang. Sehingga, titik tekan beban ganda ada pada ketidakseimbangan peran suami-istri.
Dalam konteks akhir-akhir ini, beban ganda lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Mengutip hasil survei UN Women, selama pandemi, persentase perempuan yang memikul beban ganda merangkak naik. Sebagai indikator, perempuan memiliki tugas berlipat ganda, meliputi mengajar anak; belanja; dan mengurus rumah; dan merawat keluarga. Beban ganda ini semakin terasa bagi perempuan karir, yang juga merangkap sebagai istri dan ibu.
Baca juga: Surah Al Lahab dan Prinsip Kesetaraan dalam Islam
Mengapa beban ganda bisa terjadi? Hal ini disebabkan antara lain oleh asumsi yang kemudian menjadi norma masyarakat bahwa perempuan karir harus tetap dapat menjamin tanggungjawabnya sebagai pengurus rumahtangga. Salah satu bukti nyata, tradisi masyarakat muslim di Lhokseumawe berupa kewajiban perempuan yang sudah berumah tangga untuk patuh pada perintah suami. Mengutip Bastiar dalam Pemenuhan Hak dan Kewajiban Suami-istri, peraturan ini sudah menunjukkan citra perempuan berada pada kasta yang lebih rendah dari suami, sekaligus mengaminkan bahwa mahligai rumahtangga merupakan relasi yang bersifat atasan-bawahan, alih-alih mitra sejajar. Tidak hanya itu, tradisi masyarakat Lhokseumawe ini juga mewajibkan perempuan karir untuk menjalankan peran ganda di kala ia telah bersuami.
Apa yang terjadi di Lhokseumawe merupakan bagian kecil dari praktik subordinatif terhadap perempuan yang berbasis paham keagamaan di Indonesia. Tradisi tersebut terbentuk antara lain karena anggapan bahwa perempuan memiliki kemampuan intelektual yang lebih rendah dari laki-laki, cenderung emosional, dan karena itu, mereka diasosiasikan sebagai manusia lemah. Anggapan ini terbentuk oleh pemahaman mereka terhadap sumber-sumber agama.
Baca juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis
Tak dipungkiri, beberapa tafsir –terutama yang lahir pada era Islam Klasik-, sarat dengan nuansa patriarki saat mendiskusikan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mencengangkan, karena memang tafsir-tafsir bernuansa patriarki tersebut dikarang dan dikembangkan pada struktur sosial, yang menempatkan laki-laki dalam posisi superior. Namun, fenomena sekarang, setidaknya sejak awal abad 19, menunjukkan perubahan. Mengutip Husein Muhammad dalam Fiqh Perempuan, sistem patriarki berganti menuju kesejajaran peran, dengan mulai menggeliatnya kesetaraan gender di lingkup sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Seperti yang dapat kita lihat sendiri saat ini, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi setara untuk mengambil peran di ruang publik ataupun domestik. Karena itulah, tafsir era klasik butuh untuk direkonstruksi dan dikembangkan, agar sesuai dengan konteks saat ini.
Pada kondisi inilah tafsir ayat relasional dengan sudut pandang kesetaraan gender sangat dibutuhkan. Selain karena konteks yang telah berubah, diperkuat juga dengan berbagai ketimpangan gender yang massif dan terus bergulir sebagaimana narasi di atas. Keberadaan tafsir dengan lensa kesetaraan dapat memunculkan pemahaman keagamaan yang berperi keadilan dan berperi kemanusiaan dalam pengertiannya dan praktiknya saat ini. Wallahu a’lam[]