BerandaKisah Al QuranSurah Al Lahab dan Prinsip Kesetaraan dalam Islam

Surah Al Lahab dan Prinsip Kesetaraan dalam Islam

Surah Al Lahab termasuk surah pendek dalam Alquran yang mudah dihafal. Namun, di balik turunya surah pendek ini, terdapat hikmah tentang bagaimana Islam menjunjung tinggi prinsip kesetaraan (equality/musawah) derajat manusia. Suatu prinsip yang membuat Islam melawan tindakan diskriminasi atau eksploitasi manusia atas manusia lainya.

Secara umum, surah Al Lahab ini berisi tentang kecaman terhadap Abu Lahab dan istrinya yang menentang dakwah Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam yang beliau bawa. Dalam surah ini, Abu Lahab dan istrinya telah dicatat akan masuk neraka. Surah ini menjawab kecaman yang sebelumnya dilakukan Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad saw dalam beberapa peristiwa.

Asbabun Nuzul

Ada beberapa riwayat tentang sebab turunya surah Al Lahab. Riwayat yang paling masyhur adalah ketika Nabi Muhammad saw mendapat perintah untuk memperingatkan keluarganya akan siksa Allah (QS. Asy-Syu’ara ayat 214), beliau kemudian mengumpulkan keluarga besarnya. Sesuai perintah Allah Swt, Nabi memperingati keluarganya. Abu Lahab yang juga paman Nabi selanjutnya mengecam tindakan Nabi. “Celakalah kamu Muhammad! Apa hanya karena ini kamu mengumpulkan kami?” Kemudian turunlah surah ini yang mengecam balik tindakan Abu Lahab.

Namun, terdapat riwayat lain dari Abdurrahman bin Zaid yang dikutip Syaikh Ahmad bin Muhammad Ash-Shawi dalam kitab hasyiyahnya atas Tafsir Jalalain. Dalam riwayat itu disebutkan, surah Al Lahab turun berkenaan dengan Abu Lahab yang mendatangi Nabi. Ia mendatangi Nabi untuk bertanya, “Apa yang aku dapat jika aku mengimanimu, Muhammad?”. Nabi menjawab, “Sebagaimana yang didapat oleh segenap muslimin”. Abu Lahab terkejut, “Tidak ada keutamaan bagiku atas yang lain?”. Nabi menjawab, “Apa yang kamu cari?”. Abu Lahab kemudian mengecam ajaran yang dibawa Nabi, “Celakalah agama ini, jika aku dan mereka derajatnya sama!”. Kemudian, turunlah surah ini.

Baca Juga: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya

Kemarahan Abu Lahab itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-politik Mekkah waktu itu. Kebanyakan umat Islam yang mula-mula mengimani Nabi memang berasal dari kalangan bawah, seperti budak, fakir-miskin, dan perempuan. Tentu, Abu Lahab yang sebelum datangnya Islam mendapat kemuliaan dan tempat istimewa dalam pandangan kaum Quraish, tidak terima bila antara dia dan orang-orang yang dianggap rendahan ini dipandang setara oleh agama ‘baru’ yang dibawa Muhammad.

Abu Lahab dan Superioritas Pemimpin Kabilah Quraish

Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza, putra dari Abdul Muthalib, yang juga kakek Nabi Muhammad SAW. dari Bani Hasyim. Bani Hasyim ini memiliki posisi yang tinggi di kalangan Quraish. Sedangkan saat Islam datang, Abu Lahab merupakan putra tertua kedua Abdul Muthalib setelah Abu Thalib. Lebih tua dari dua paman Nabi lainya yang kemudian masuk Islam, Hamzah ra dan Abbas ra.

Kedudukan Abu Lahab di kalangan Quraish semakin kokoh ketika menikahi Umu Jamil dari Bani Abdu Syams, suku yang juga memiliki posisi tinggi. Keturunan suku tertentu memang merupakan kunci tinggi rendahnya posisi seseorang di mata masyarakat Quraish waktu itu. Berhubungan dengan keluarga ini, membuat Abu Lahab sukses menjalankan perdagangan. Karena para pemimpin Bani Abd Syams, seperti Abu Sufyan dan lainya, biasanya menjadi para kepala kafilah-kafilah dagang Quraish. Segala kekayaan dan kemuliaan keluarganya, membuat Abu Lahab dikenal sebagai jajaran pembesar Quraish yang juga merupakan saudagar dengan harta melimpah.

Segala kedudukan itu, tentu ingin dipertahankan oleh Abu Lahab dengan cara apapun. Ia tidak segan mempraktikkan segala cara saat berdagang, seperti berbuat zalim, penipuan, eksploitasi, serta monopoli dagang demi mempertahankan kekayaan dan kedudukanya. Karena itulah, dia bersama pembesar Quraish melawan keras ajaran yang dibawa keponakanya yang dikenal jujur, yakni Nabi Muhammad, karena prinsip kesetaraan di dalam ajaranya dianggap mengancam dan membahayakan kedudukan ia dan para pembesar Quraish (Mahmod I A R, 2008).

Prinsip Kesetaraan Islam

Islam memerintahkan agar kita senantiasa berlaku adil dalam segala hal, tanpa memandang golongan, kerabat atau agama yang dipeluknya. Keadilan merupakan hal yang harus dikedepankan untuk menjaga kehormatan manusia (Syamsuddin, 2019). Hal ini didasarkan pada firman Allah, Surah Al Maidah ayat 8 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah! Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS al-Maidah [5] ayat 8).

Islam juga menjunjung tinggi prinsip kesetaraan (al-musâwah, equality), artinya manusia setara secara sosial dan politik, serta semua orang mesti diperlakukan dengan pertimbangan dan perhatian yang sama. Baik itu dalam aspek hukum, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Yang membedakan kedudukan manusia dalam pandangan Islam bukanlah status sosialnya, melainkan kadar ketakwaanya. Hal ini dapat dirujuk pada Surah Al Hujurat ayat 13  (Azaki K, 2019).

Baca Juga: Tafsir Surah Alhasyr Ayat 9: Prioritas dalam Urusan Ibadah dan Muamalah

Itulah mengapa, keinginan Abu Lahab untuk diistimewakan tentunya dikecam habis-habisan oleh Alquran. Karena menyalahi prinsip kesetaraan yang dijunjungnya. Prinsip kesetaraan dalam Islam membuat siapapun berhak mendapatkan posisi yang penting dalam masyarakat, tidak harus keturunan suku tertentu, sebagaimana peradaban Jahiliyah sebelumnya.

Prinsip kesetaraan ini membuat Bilal bin Rabah ra yang status sosialnya tidak diakui karena merupakan budak, kemudian dihormati segenap muslimin sebagai muazinnya Rasulullah saw. Sahabat Abdullah bin Maktum ra. yang tadinya tidak dianggap masyarakat karena buta, menjadi muazin dan sahabat kepercayaan Rasulullah saw, yang dipercaya memimpin Madinah ketika Nabi pergi berperang. Sedangkan perempuan yang tadinya hanya menjadi objek nafsu laki-laki, dipenuhi hak-hak serta diakui peran sosialnya oleh Islam. Sebaliknya, orang yang tadinya mempunyai kedudukan tinggi seperti Abu Lahab, mesti disiksa dalam neraka, karena menolak mengimani Nabi Muhammad saw yang ajaranya menjunjung tinggi kesetaraan manusia. Wallahu a’lam bish shawab.

Nuzula Nailul Faiz
Nuzula Nailul Faiz
Santri PP Nurul Ummah Yogyakarta dan mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis berbagai situs keislaman.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...