Asy-Syaukani adalah seorang mufasir awal kontemporer pada abad 12, ia juga merupakan seorang ulama besar yang mulia, beliau seorang mujtahid yang menguasai beragam disiplin keilmuan. Asy-Syaukani memiliki berbagai spesialisasi keilmuan sehingga dijuluki sebagai ensiklopedia pengetahuan. Ia menciptakan banyak karya yang sangat cemerlang, salah satunya yang cukup popular adalah tafsir Fath al-Qadir.
Biografi asy-Syaukani
Asy-Syaukani bernama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syaukani sampai kepada al-Shan‘ani. Ia dilahirkan pada siang hari, Senin tanggal 28 bulan Dzulqa’dah atau bertepatan dengan tahun 1173 H di kota Hijratu Syaukan. dan ia meninggal pada malam Rabu tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1250 H saat menjadi hakim di Shan’a, ketika beliau berumur 77 tahun dan dimakamkan di Shan’a. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Fath al-Qadir; al-Jami‘ Baina Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 1, 5 dan 10)
Asy-Syaukani belajar Alquran kepada sejumlah ulama dan menyelesaikan bacaan al-Qur’an pada seorang faqih, yang bernama Hasan bin ‘Abd Allah al-Habl. Asy-Syaukani juga belajar ilmu agama kepada ayahnya. Ia menghafal beberapa kitab seperti al-Azhar karya Imam Mahdi, al-Tahdhib karya al-Taftazani, Mukhtasar al-Faraid karya al-Asifari, al-Tahlis fi ‘Ulum al-Balaghah karya al-Qazwani dan masih banyak lagi. (Muhammad Ihsan, Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani Dalam Kitab Fath al-Qadir: Kajian Terhadap Surah al-Fatihah, 6)
Cara belajar asy-Syaukani yakni setiap hari ia mencapai kurang lebih tiga belas pelajaran yang didapat pada siang hari dari gurunya, kemudian ia sampaikan kepada muridnya di malam hari. Hidupnya semata-mata hanya digunakan untuk menuntut ilmu saja. Muridnya setiap hari belajar kepadanya lebih dari sepuluh mata pelajaran, seperti nahwu, sharaf, manthiq, balaghah, ushul fiqh dan lainnya. (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu‘ah fi Ahadits al-Maudhu’ah, 13)
Baca Juga: Na’ilah Hashim Sabri, Perempuan Pertama Penulis Lengkap Tafsir Alquran
Akidah asy-Syaukani
Asy-Syaukani dibesarkan di lingkungan keluarganya yang bermazhab Zaidiyyah yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Zaid Ibn Ali Ibn Zainul Abidin. Mazhab Zaidi ialah salah satu cabang dari paham Syi’ah atau mazhab Syi’ah Zaidiyyah. Sewaktu kecil ia telah menguasai ilmu fikih dari mazhab Zaidiyah, seperti kitab al-Azhar.
Pemahaman mazhab Zaidiyah ini lebih dekat dengan pemahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, terutama dalam masalah keadilan para sahabat Nabi Saw. Mereka tidak memandang bahwa para imam sepadan dengan para nabi. Namun, dalam beberapa masalah ilmu kalam, mazhab Zaidiyah ini lebih dekat dengan pemahamn Mu’tazilah.
Pemahaman kalam menurut Mu’tazilah ini pastinya sudah difahami oleh asy-Syaukani yang telah dipelajari dari pendahulunya, khususnya kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhsyari. Ia telah mendalaminya, mendiskusikannya, bahkan mengkritisinya melalui tokoh-tokoh ulama Yaman yang hidup pada zamannya. (Mukarramah Achmad, Fath Al-Qadir Karya Asy-Syaukani (Suatu Kajian Metodologi), 78-79)
Kecintaannya pada ilmu tidak menutup kesempatan dirinya dengan hanya mengkaji mazhab Zaidiyah. Pada saat itu, asy-Syaukani didukung oleh lingkungan di Yaman sehingga ia bisa mempelajari karangan imam-imam besar, seperti Imam al-Syafi’i, Ibn Taimiyah juga Ibn Hazm. Pemikiran yang terbuka seperti inilah yang menjadikan asy-Syaukani menentukan langkah mana yang tepat dijadikan panutan. (Rosa Lestari, Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Tafsir Fathul Qadir Karya Imam asy-Syaukani, 38)
Baca Juga: al-Mubṣir li Nûr al-Qur’ân, Tafsir yang Ditulis atas Isyarat Nabi
Pandangan asy-Syaukani dalam bidang teologi cenderung pada paham aliran salaf. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya pada surah Ala’raf [7]: 54.
قوله: {ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ} قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قولاً، وأحقها وأولاها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه: استوى سبحانه عليه بلا كيف، بل على الوجه الذي يليق به مع تنزهه عما لا يجوز عليه، والاستواء في لغة العرب هو العلوّ والاستقرار
Firman-Nya: (Dia bersemayam di atas ‘Arsy). Para ulama berbeda pendapat mengenai menjadi empat belas pendapat. Pendapat yang paling utama dan paling benar adalah madzhab para al-salaf al-salih yaitu bahwa Allah Swt. ber-istiwa’ tanpa “bagaimana”, akan tetapi dengan cara yang sesuai dengan-Nya disertai dengan menyucikan-Nya dari apa-apa yang tidak boleh disandangkan kepada-Nya. Menurut bahasanya orang-orang Arab, al-istiwa’ adalah al-‘uluw wa al-istiqrar (tinggal dan menetap). (Asy-Syaukani , Fath al-Qadir, Jilid 4, 100)
Apabila terdapat masalah fiqhiyah saat menafsirkan ayat ahkam, ia menjelaskan mazhab-mazhab para fuqaha’, lalu mengungkapkan perselisihan dan alasan mereka. Serta, memperkuat sebagian pendapatnya, menarjihnya, menelaskan, kemudian mengistinbatkan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. (Muhammad Zaini, Studi tentang sistem penafsiran tafsir Fathul Qadir asy Syaukany, 149)
Dengan demikian, dapat disimpulkan mazhab fikih asy-Syaukani adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang jauh dari sikap taklid yang diharamkan. Hal ini dapat dilihat penafsirannya pada surah Almaidah [5]: 6.
قوله: {فٱغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ } الوجه في اللغة مأخوذ من المواجهة، وهو عضو مشتمل على أعضاء، وله طول وعرض، فحده في الطول: من مبتدأ سطح الجبهة إلى منتهى اللحيين، وفي العرض، من الأذن إلى الأذن، وقد ورد الدليل بتخليل اللحية. واختلف العلماء في غسل ما استرسل، والكلام في ذلك مبسوط في مواطنه. وقد اختلف أهل العلم أيضاً: هل يعتبر في الغسل الدلك باليد أم يكفي إمرار الماء؟ والخلاف في ذلك معروف، والمرجع اللغة العربية، فإن ثبت فيها أن الدلك داخل في مسمى الغسل، كان معتبراً وإلا فلا. قال في شمس العلوم: غسل الشيء غسلاً إذا أجرى عليه الماء ودلكه انتهى
Firman-Nya: (Maka basuhlah mukamu). Secara bahasa, al-wajh diambil dari kata al-muwajahah, yaitu bagian tubuh yang mencakup beberapa anggota yang mempunyai panjang dan lebar. Batasan panjangnya adalah dari permulaan dahi hingga ujung pangkal jenggot, sedangkan lebarnya dari telinga sampai telinga. Ada juga dalil yang menunjukan untuk menyela-nyela jenggot, dan para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan membasuh jenggot yang terurai. Pembahasan tentang ini telah dipaparkan pada bidangnya tersendiri. Para ulama juga berbeda pendapat, apakah menggosok dengan tangan termasuk membasuh (mencuci)? Atau cukup dengan membasuhkan air? Perbedaan pendapat mengenai ini cukup dikenal, dan sandarannya adalah bahasa Arab. Jika menurut bahasa menggosok termasuk membasuh (mencuci), maka menggosok dianggap bagian darinya. Sedangkan jika menurut bahasa menggosok tidak termasuk membasuh (mencuci), maka menggosok tidak dianggap bagian darinya. Disebutkan dalarn Syams al-‘UIum, bahwa dikatakan ghasala ghaslan apabila membasuhkan air dan menggosoknya. (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Jilid 3, 279)
Baca Juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6
Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan, bahwa asy-Syaukani adalah seorang yang berakidah salaf. Memang sangat aneh jika seorang yang berasal dari Yaman memiliki akidah salaf, karena dia hidup di lingkungan yang bermazhab Zaidiyah sejak kecil. Namun, keanehan ini tertepis dikarenakan ia memiliki kelebihan dalam pemikiran yang bebas.
Dalam bidang teologinya, walaupun kebanyakan pengikut mazhab Zaidiyah mengikuti paham Mu’tazilah, namun asy-Syaukani tidak mengikutinya. Justru ia cenderung mengikuti aliran mazhab salaf. Dan dalam bidang fikih, ia juga lebih condong pada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Wallahu a’lam bish shawab.