Menjawab Anggapan Inkonsistensi Kaidah Pengulangan Isim Dalam Penafsiran Bag. 2

Inkonsistensi Kaidah
Inkonsistensi Kaidah Pengulangan Isim bag. 2

Pada artikel sebelumnya telah dibahas bagaimana jawaban atas anggapan inkonsistensi kaidah pertama dalam kaitannya dengan penafsiran. Sebetulnya ketika kita merenungi sanggahan ayat-ayat yang diajukan sebagai bantahan sangat mungkin justru ditemukan mutiara penafsiran yang lain dengan menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Kali ini, mari kita lanjutkan perenungan pada kaidah kedua.

Anggapan Inkonsistensi Kaidah Kedua

Kaidah kedua pengulangan isim berbunyi:

إِنْ كَانَا نَكِرَتَيْنِ فَالثَّانِي غَيْرُ الْأَوَّلِ غَالِبًا

Jika keduanya berupa nakirah, maka umumnya yang kedua tidak sama dengan yang pertama.

Kaidah yang kedua ini juga dibantah dengan beberapa ayat, antaralain QS. Az-Zukhruf [43]:84:

وَهُوَ الَّذِى فِى السَّمَاءِ أِلَهٌ وَفِى الْاَرْضِ اِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ

Dan dialah Tuhan yang disembah di langit dan Tuhan yang disembah di bumi

Dan Firman-Nya pada QS. Al-Baqarah [2]: 217, yaitu:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang pada bulan itu adalah dosa besar.

Baca Juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

Menurut mereka yang punya anggapan inkonsistensi tadi, jika kaidah kedua ini diterapkan maka akan disimpulkan ada dua tuhan, yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, tentu tidak demikian. Begitu pula ayat yang kedua, kata qital di ayat tersebut akan dipahami sebagai bentuk qital yang berbeda. Padahal jawaban itu sesuai dengan apa yang ditanyakan, sehingga kata qital pertama dan kedua itu maksudnya sama. Dengan demikian ada inkonsistensi dalam penerapan kaidah ini.

Jawaban Atas Anggapan

Sebetulnya kaidah kedua ini jika diterapkan tidak masalah. Bahkan justru akan menambah ragam penafsiran tanpa menghasilkan kesimpulan keliru sebagaimana anggapan itu.

Dalam Al-Itqon Imam Suyuthi mengutip jawaban Ath-Thibi yang mengatakan bahwa ayat ini masuk bab takrir (pengulangan). Begitu juga bisa dilihat dalam Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an (IV/98-99). Termasuk dari syarat kaidah-kaidah pengulangan ini tidak dikehendaki dengan takrir. Pembahasan takrir ini terkait bentuk-bentuk ithnab dalam cabang ilmu ma’ani.

Ada juga jawaban dari penafsiran yang lain. Misalnya, Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir (51), mengutip pendapat para pakar tafsir yang mengartikan ilah dengan arti “Ketuhanan sehingga dimaknai dengan “Dia (Allah), yang ketuhanan-Nya terbentang di langit dan terbentang juga di bumi”.

Selain itu, beliau juga menampilkan pendapat yang setidaknya bisa “menyelamatkan” kaidah ini dari anggapan inkonsistensi. Beliau mengatakan: “bisa saja kedua bentuk tersebut berbeda, antaralain, bahwa di langit ketuhanan-Nya sangat jelas, tidak ada atau hampir tidak ada satu makhluk pun yang membangkang. Sedang ketuhanan-Nya di bumi tidak sejelas itu, karena di sini sekian banyak makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak mengakui wujud-Nya“.

Penafsiran di atas sejalan dengan kaidah kedua yang berkonsekuensi ilah kedua berbeda dengan ilah pertama, tanpa bertentangan dengan akidah yang benar, yaitu hanya ada satu Tuhan yang di sembah. Bagi penduduk langit, ilah (ketuhanan) tuhan sangat tampak nyata, berbeda bagi penduduk bumi yang diliputi kesamaran.

Pertanyaannya, mungkinkan satu Dzat mempunyai sifat-sifat yang bertentangan? Jawabannya tentu mungkin. Misalnya, Allah punya sifat Azh-Zhahir (Yang Jelas) dan Al-Batin (Yang Samar). Dua sifat yang paradoks berkumpul dalam satu Dzat Allah.

Atau bisa juga dilihat dari sisi perbedaan sesuatu yang dijadikan sekutu oleh orang-orang musyrik. Sebagian mereka menyekutukan Allah di langit dengan menganggap-Nya punya anak perempuan berupa para malaikat. Sedangkan di bumi ada sebagian mereka yang menyekutukan-Nya dengan berbagai macam berhala.

Mufasir asal Tunisia dalam kitabnya At-Tahrir Wa At-Tanwir (XXV/267) itu berkomentar:

فَكَانَ قَوْلُهُ: فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ إِبْطَالًا لِلْفَرِيقَيْنِ مِمَّا زُعِمَتْ إِلَهِيَّتُهُمْ

Maka Firman-Nya: فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ itu membatalkan kedua belah pihak dari persangkaan ketuhanan mereka.

Dalam tulisan yang lalu, disebutkan beberapa syarat berlakunya kaidah pengulangan isim. Selain semua itu, ada syarat lagi yaitu kedua isimnya berasal dari satu pembicara. Maka dengan syarat ini, Firman-Nya pada QS. Al-Baqarah [2]: 217 sudah terjawab sendiri. Jawaban ini bisa dilihat dalam Al-Itqon.

Kata qital pertama itu ucapan orang-orang yang bertanya, sedangkan kata qital kedua muncul dari orang yang ditanya (Rasulullah SAW). Mengenai siapa orang yang bertanya ada dua pendapat, yaitu orang-orang islam dan orang-orang kafir. Namun, kebanyakan mufasir ikut pendapat yang kedua.

Sebagaimana dalam kitab-kitab siroh, Rasulullah SAW mengutus Abdullah bin Jahsy untuk memimpin suatu pasukan yang terdiri dari 8 orang di bulan Jumadil Akhiroh, kira-kira 2 bulan sebelum peperangan Badar. Pasukan ini bertugas untuk menghadang rombongan yang membawa harta orang-orang kafir Quraisy. Pemimpin rombongan tersebut dibunuh, dua orang lainnya ditawan, dan ada satu yang melarikan diri.

Kejadian itu terjadi pada awal bulan Rojab. Sebagaimana yang sudah maklum, bulan Rojab merupakan salah satu bulan yang diharomkan untuk melakukan peperangan. Sehingga pihak kafir Quraisy menggugat kepada Rasulullah SAW atas kejadian tersebut dengan mengatakan: “Sungguh Muhammad telah menghalalkan peperangan di bulan harom (mulia). Bulan dimana orang yang ketakutan merasa aman, karena mengalirkan darah terjaga di bulan itu”

Imam Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib (6/33) telah mengulas ayat di atas dengan sangat apik. Menurut mufasir kenamaan ini, penggunaan isim nakirah pada qul qitalin fiihi kabir mengingatkan bahwa perang yang berimbas dosa besar ini bukanlah perang yang mereka tanyakan. Melainkan peperangan lain yang bertujuan menghancurkan islam dan menguatkan kekafiran. Karena kata qital pertama itu peperangan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dalam rangka menolong islam dan merendahkan kekafiran.

Pemilihan diksi isim nakirah dalam dua kata ini karena alasan yang lembut ini. Allah tidak berkata dengan terang-terangan supaya hati mereka tidak merasa sempit. Bahkan Allah menyamarkan makna pembicaraan ini, sekiranya tampak seperti tuduhan terhadap apa yang mereka inginkan, dan pada hakikatnya (makna yang tersembunyi) sesuai dengan kebenaran.

Baca Juga: Mengenal Muthlaq-Muqayyad: Definisi, Pembagian, dan Kaidah Penerapannya

Sisi keindahan makna ini hanya bisa diperoleh dengan menggunakan isim nakirah pada kedua kata tersebut. Andaikan keduanya menggunakan bentuk ma’rifat, atau salah satunya saja maka faidah agung ini tidak diperoleh. Imam Ar-Razi mengakhiri pembahasannya dengan uangkapan tasbihnya:

فَسُبْحَانَ مَنْ لَهُ تَحْتَ كُلِّ كَلِمَةٍ مِنْ كَلِمَاتِ هَذَا الْكِتَابِ سِرٌّ لَطِيفٌ لَا يَهْتَدِي إِلَيْهِ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Maha suci Dzat yang memiliki rahasia lembut di setiap kata dari perkataan Kitab ini (Al-Qur’an), hanya orang berakal saja yang mendapatkan petunjuk rahasia itu.

Itu sebabnya, kita perlu merenungkan lagi penafsiran ayat-ayat yang dianggap terdapat inkonsistensi. Semoga kita dijadikan oleh-Nya termasuk diantara orang-orang yang dimaksudkan dalam ungkapan tasbih tersebut. Amin Ya Mujibas Sailin. Walllahu Ta’ala A’lam.