BerandaTafsir TematikArgumentum ad Verecundiam, Sesat Pikir yang Disinggung Alquran

Argumentum ad Verecundiam, Sesat Pikir yang Disinggung Alquran

Logika merupakan sebuah disiplin ilmu yang berfungsi untuk menghindari kesalahan dalam berpikir. Oleh karenanya, cendekiawan muslim seperti Imam al-Ghazali begitu mengapresiasi ilmu ini. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan sensasionalnya yang berbunyi “Siapa yang tidak menguasai ilmu mantik (logika), maka kredibilitasnya dalam pengetahuan sungguh dipertanyakan.” Kurang lebih demikian narasi yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya.

Lebih dari itu, apresiasi al-Ghazali terhadap ilmu logika juga bisa ditengarai dengan tersedianya bab tersendiri yang membahas tentang ilmu ini. Ungkapan ini kemudian menyulut “nalar” Ibn Shalah, seorang ahli hadis terkemuka yang kemudian dengan jelas mengkritik al-Ghazali dengan ungkapan “Sesungguhnya para sahabat dan generasi salaf tidak mengetahui ilmu ini; dan merekalah sumber ilmu agama.” (Yusuf al-Qaradhawiy, al-Imam al-Ghazali: Bayna Madihihi wa Naqidihi, hlm. 122).

Sebagai kitab yang dibahasakan Muhammad Abduh dengan “kitab hidayah/petunjuk” untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak (Tafsir al-Manar, hlm. 19), Alquran bukan hanya berisi tentang syariat dan akidah saja. Lebih dari itu, Alquran juga berisi tentang beberapa ilmu pengetahuan, termasuk ilmu logika yang akan dibahas dalam tulisan singkat ini.

Dalam ilmu logika ada sebuah kesalahan berpikir yang disebut argumentum ad verecundiam. Pola pikir ini menyatakan bahwa kebenaran itu bisa didapatkan berdasarkan “siapa yang berbicara” dengan tanpa melihat isi atau konten yang ada. Pola pikir seperti ini pernah disinggung dalam salah satu ayat Alquran. Tepatnya, dalam Q.S. Al-Hujurat: 6 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Paling tidak, ayat tersebut secara literal bisa dipahami, bahwa Alquran sebenarnya pernah menarasikan tentang sebuah bentuk sesat pikir dalam ilmu logika yang disebut dengan argumentum ad verecundiam. Meskipun, Alquran juga tidak menjelaskannya secara spesifik. Untuk mengetahui analisa lebuh lanjut terkait ilmu logika dalam Alquran, penulis akan mencoba mengurainya dalam beberapa subbab berikut.

Baca juga: Menghindari Kesalahan Logika dalam Memahami al-Quran Menurut Al-Ghazali

Historisitas turunnya ayat

Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Baghawiy dalam tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil, bahwa turunnya ayat ini di latarbelakangi oleh al-Walid ibn ‘Uqbah yang  diutus oleh Nabi untuk meminta sedekah kepada Bani Musthaliq. Konon, diceritakan bahwa di masa jahiliyyah pernah terjadi perselisihan di antara keduanya. Masyarakat sekelilingnya begitu kagum kepadanya, lantaran al-Walid begitu mengagungkan perintah Nabi.

Di tengah perjalanan, al-Walid mendapati bisikan setan supaya kembali dan memberikan kabar kepada Nabi bahwa Bani Musthaliq telah menolak memberi sedekah dan mereka juga akan membunuh al-Walid. Mendengar berita ini, Nabi Muhammad marah besar dan langsung memerintahkan supaya memerangi mereka (Bani Musthaliq) (al-Baghawiy, Ma’alim al-Tanzil, juz 7, hlm. 339).

Demikian penggalan dari historisitas turunnya Q.S. Al-Hujurat: 6. Namun, paling tidak dari penggalan historisitas tersebut, dapat dikerucutkan sebagai berikut; Pertama, yang dikehendaki sebagai seorang yang fasiq dalam ayat ini adalah al-Walid ibn ‘Uqbah yang memberikan berita hoax kepada Nabi. Kedua, dari sini bisa diketahui betapa bahayanya berita hoax. Dari kasus ini saja misalnya, berita hoax yang disampaikan oleh al-Walid mampu menyulut amarah Nabi yang kemudian hendak memerintahkan sahabat untuk memerangi Bani Mustaliq.  

Baca juga: Hoaks Seputar Covid-19 dan Pesan Tabayyun dalam Alquran

Solusi Alquran terhadap argumentum ad verecundiam

Argumentum ad verecundiam merupakan salah satu dari sekian banyak kesalahan berpikir (logical fallacies) yang ada. Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Nurul Ibrahimi dalam kitabnya yang berjudul ‘Ilm al-Manthiq. Dalam kitabnya itu, Ibrahimi juga membahasakannya dengan suhulah al-tashdiq (terlalu mudah membenarkan sesuatu). Bahkan, dia juga membuat semacam sindiran terhadap golongan ini. Menurutnya, golongan ini terlalu mudah “percaya” terhadap apa yang didengar dan juga terlalu mudah “percaya” terhadap apa yang dibaca (Muhammad Nurul Ibrahimi, ‘Ilm al-Manthiq, hlm. 81).

Berkaca kepada kesalahan berpikir argumentum ad verecundiam, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang “mempunyai gelar, pangkat, kharisma, dll.” biasanya akan selalu dianggap benar. Dan sebaliknya, orang yang sudah terstigma buruk juga biasanya akan selamanya dianggap buruk. Adanya asumsi seperti inilah yang kemudian ditengahi oleh Alquran dengan narasi yang berbunyi “fatabayyanu”.

Tabayyun atau yang dikenal dengan klarifikasi merupakan tawaran solusi Alquran untuk menghindari sesat pikir argumentum ad verecundiam ini. Kata tersebut memberikan ruang untuk lebih objektif dalam menerima sebuah berita dengan tanpa melakukan diskriminasi dan intimidasi morel terhadap siapapun. Dalam arti lain, orang yang “terkesan benar” seperti orang-orang yang telah disinggung di atas juga berpotensi salah. Dan sebaliknya, orang-orang yang terstigma buruk juga berpotensi menyampaikan informasi yang benar. Hendaknya ucapan dan perbuatan seseorang dipandang secara objektif tanpa terpaku pada cap, stigma, dan status yang tersematkan padanya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Jangan Terkecoh oleh Label Figur!

Rahmat Yusuf Aditama
Rahmat Yusuf Aditama
Santri Ponpes “Merah Putih” dan UIN Sunan Kalijaga Minat kajian : Sejarah Peradaban Islam, Tafsir, Tasawuf, Filsafat
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran

Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran

0
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin tentu memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan-kebijakan dalam mengatur rakyatnya. Di samping itu pemimpin juga dituntut untuk memiliki...