BerandaUlumul QuranMenghindari Kesalahan Logika dalam Memahami al-Quran Menurut al-Ghazali (Bag. 2)

Menghindari Kesalahan Logika dalam Memahami al-Quran Menurut al-Ghazali (Bag. 2)

Al-Quran sering dijadikan argumentasi pokok dari suatu klaim hukum Islam. Biasanya Al-Quran akan dijadikan sebagai premis mayor dalam suatu silogisme. Seperti dalam contoh berikut,

Fulan adalah orang yang mencuri harta milik Said. (Premis Minor).

Orang yang mencuri harus dihukum potong tangan, sesuai ketentuan QS. Al-Maidah: 38 (Premis Mayor).

Maka, Fulan harus menerima hukum potong tangan. (Kesimpulan).

Silogisme di atas telah valid, sebab terma penengah (tali pengikat) antara kedua premis telah dijumpai, yaitu “orang yang mencuri”. Namun meskipun suatu silogisme telah dapat disebut valid, simpulan yang dihasilkan tidak secara otomatis dapat dikatakan benar.

Validitas silogisme ditentukan oleh sejauh mana silogisme memenuhi komponen-komponennya (premis minor, mayor, terma penengah) dan ketepatan dari bentuk silogisme itu sendiri. Sedangkan nilai kebenaran dari suatu simpulan bergantung pada kebenaran kedua premis penyusunnya.

Macam kesalahan logika deduktif selanjutnya yang dipaparkan al-Ghazali dalam kitab Mi’yar al-‘Ilmi adalah seputar sikap terburu-buru dalam menilai kebenaran premis. Kata beliau dalam karyanya tersebut,

أَنْ تَكُوْنَ الْمُقَدِّمَةُ كَاذِبَةً، وَذَلِكَ لَا يَخْلُوْ اِمَّا أَنْ يَكُوْنَ لِالْتِبَاسِ اللَّفْظِ اَوْ لِالْتِبَاسِ الْمَعْنَى

(Macam kesalahan logika selanjutnya) adalah dikarenakan ketidakbenaran premis-premis. Kesalahan dalam premis adakalanya disebabkan keambiguan lafal atau keambiguan makna.” (Mi’yar al-‘Ilm, hal 204).

Baca juga: Menghindari Kesalahan Logika dalam Memahami al-Quran Menurut Al-Ghazali

Keambiguan Lafal 

Contoh silogisme yang disebutkan di awal mengandung cacat logika yang satu ini. Lebih spesifik lagi, kesalahan itu terdapat dalam Surah al-Maidah ayat 38 yang dijadikan argumentasi premis mayor. Sebelum melanjutkan kita perlu membaca ayat tersebut.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُما جَزاءً بِما كَسَبا نَكالاً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38)

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.​” (Q.S. Al-Maidah: 38).

Frasa al-Sariq dan al-Sariqah pada ayat di atas diterjemahkan dengan “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri…”. Terjemahan ini tidak sepenuhnya benar, sebab al-Quran mempergunakan isim fail (kata benda subjek) dengan menyebut al-Sariq. Sehingga seharusnya terjemahan yang tepat adalah, “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan…” Al-Quran tidak mempergunakan lafal rajulun wa niswatun saraqaa. Terdapat perbedaan aksentuasi antara kedua redaksi tersebut.

Kesalahan satu ini lah yang harus diwaspadai ketika mempergunakan atau berhadapan dengan logika deduktif. Terang al-Ghazali,

اَمَّا الْتِبَاسُ اللَّفْظِ فَهُوَ اَنْ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الصَّادِقَةِ مُنَاسَبَةٌ كَمَا اِذَا اشْتَرَكَتْ لَفْظَتَانِ فِى مَعِنًى وَ بَيْنَهُمَا اِفْتِرَاقٌ فِى مَعْنًى دَقِيْقٍ فَيُظَنُّ اَنَّ الْحُكْمَ الَّذِي اُلْفِيَ صَادِقًا عَلَى اَحَدِهِمَا صَادِقٌ عَلَى الْاَخَرِ

“Keambiguan lafal adalah ketika terdapat dua lafal yang mengesankan adanya  hubungan kesamaan makna di antara keduanya. Seperti dua kata yang bersinonim, namun sebenarnya memiliki perbedaan dalam detail makna. Sehingga kedua kata akhirnya diduga memiliki kesamaan hukum antara satu sama lain.” (Mi’yar al-‘Ilm, hal 204).

Baca juga: Tidak Semua Lafal Mudah Dipahami: Mengenal Lafal-Lafal Khafi ad-Dalalah dalam Al-Quran

Perbedaan Aksentuasi Kata Sinonim

Al-Ghazali memaparkan beberapa contoh kata Bahasa Arab yang saling bersinonim namun sebenarnya memiliki perbedaan aksentuasi dalam detail penggunaan. Seperti kata al-Buka’ (البكاء) dan al-‘Awil (العويل). Keduanya sama-sama berarti “tangisan”. Namun bilamana tangisan itu disertai suara menangis yang nyaring, ia lebih tepat disebut al-‘Awil. Jika tidak, baru ia dapat disebut al-Buka’.

Komentar al-Ghazali, “Banyak orang yang kemudian menyamakan pengguanan kedua kata ini.” Tentu ini adalah dugaan yang salah dan akan berimbas fatal dalam penggunaan silogisme. (Mi’yar al-‘Ilm, hal 205).

Dalam kasus kita, frasa “orang yang mencuri” (rajulun saraqa) kita anggap sama dengan frasa “pencuri” (al-sariq). Padahal jika kita renungkan lagi keduanya memiliki perbedaan penggunaan seperti yang dicontohkan oleh al-Ghazali.

“Orang yang mencuri” dapat mencakup siapapun yang melakukan tindak pencurian barang. Budi, seorang anak kecil yang mencuri jajan kesukaannya dari suatu toko dapat disebut sebagai “orang yang mencuri”. Akan tetapi, untuk kemudian menyebut Budi sebagai “pencuri” perlu dilakukan pembuktian lebih lanjut.

Sama halnya ketika kita menyayikan suatu lagu. Kita boleh menyebut diri kita sebagai “orang yang menyanyi” namun tidak boleh ujug-ujug mengklaim diri sebagai “penyanyi”. Kedua frasa memiliki perbedaan aksentuasi.

Baca juga: Ini 2 Cara Ulama Memahami Kata-Kata Ambigu dalam Al-Qur’an

Kesimpulan

Dalam kasus silogisme di awal, kita perlu berhati-hati dalam menerapkan surah al-Maidah ayat 38 dalam menghukumi Fulan yang telah mencuri pada premis minor. Dalam bahasan Usul Fikih, Tahqiq al-Manath (verifikasi kesamaan kasus aktual dengan maksud teks) merupakan langkah penting dalam memahami teks al-Quran maupun hadits. (Lebih lanjut silakan baca buku Syaikh Abdullah bin Bayyah berjudul al-Ijtihad bi Tahqiq al-Manath).

Maka seharusnya, sebelum menyimpulkan Fulan harus menerima potong tangan, kita diharuskan menelisik kebenaran premis-premis yang mendasarinya. Kita tidak boleh terburu-buru mengiyakan premis-premis yang dibuat oleh lawan bicara. Mencari tahu siapa sejatinya al-Sariq dalam premis mayor dalam kitab-kitab tafsir adalah keharusan agar tidak salah dalam kesimpulan.

Bagian keambiguan makna akan dibahas pada artikel selanjutnya.

Catatan:

  • Kesimpulan tulisan ini berkisar pada pertanyaan, benarkah al-Sariq adalah orang yang mencuri atau ia adalah orang yang berprofesi sebagai pencuri?
  • Ulama fikih memberikan banyak kriteria detail mengenai sosok pencuri yang akan mendapat hukuman potong tangan. Seperti mencuri harta di atas kadar satu dinar/sepuluh dirham, mencuri dari tempat penyimpanan harta langsung (rumah, bank, brankas), dll.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Pengampunan Hukuman dalam Islam

Maulana Nur Rohman
Maulana Nur Rohman
Mahasantri Ma'had Aly Marhalah Ula Sukorejo Situbondo, gemar dalam kajian fikih dan usul fikih. Bisa disapa di @maulanarahm03
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hikmah dari Pengusiran Yahudi Bani Nadhir

0
Dalam surah al-Hasyr diterangkan kisah pengusiran Yahudi Bani Nadhir. Mereka dahulunya membuat perjanjian damai dengan Rasulullah. Namun kemudian, mereka berkhianat dan menjalin persekongkolan dengan...