BerandaTafsir TematikBerbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Al-Quran sebagaimana kita ketahui telah dijamin penjagaannya oleh Allah. Berbagai cara Allah menjaga Al-Quran, sebagaimana ditegaskan dalam tafsir surah Al-Hijr ayat 9.

Berikut bunyi QS. Al-Hijr [15]: 9,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hirj [15]:9)

Menurut As-Sa’di dalam Taisīr al-Karīm al-Raḥmān (halaman 429), Allah menjaga Al-Quran pada masa penurunannya dan setelah masa penurunannya. Pada masa penurunannya Allah menjaga Al-Quran dari pencurian setan sedangkan pada masa sesudah penurunannya, Allah menjaga Al-Quran dari perubahan, penambahan, maupun pengurangan lafad dan penggantian maknanya. Cara Allah menjaga Al-Quran salah satunya dengan menyimpannya di dalam dada utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad, dan kemudian di dalam dada umat Nabi Muhammad.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Untuk Menjaga Hafalan Al-Quran dan Semua Ilmu Pengetahuan

Makna ‘menjaga Al-Quran’

Penjagaan Al-Quran ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah dan anugerah dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dititipi Al-Quran. Sementara menurut al-Māwardī dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn (juz 3, halaman 149), ada tiga makna terkait makna kata “menjaga”: 1) Allah menjaga Al-Quran hingga hari kiamat, 2) Allah menjaga Al-Quran dari setan yang ingin membuat kebatilan di dalamnya atau menghilangkan kebenaran Al-Quran, dan 3) Allah menjaga Al-Quran di dalam orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang baik dan menghilangkan Al-Quran dari hati orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang yang buruk.

Ibn al-Jauzī dalam Zād al-Masīr (juz 2, halaman 525), sebelum masuk pada penafsiran tentang makna ‘menjaga’, terlebih dahulu ia menyinggung tentang penggunaan kata ‘nahnu’. Dikaitkan dengan konteks penjagaan Al-Quran, kata naḥnu yang bermakna “Kami” pada ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Allah melibatkan makhluk-Nya dalam misi penjagaan Al-Quran ini.

Ibn al-Jauzī melanjutkan bahwa mayoritas mufasir merujukkan kata al-żikr kepada Al-Quran. Sedangkan kata ganti hu ada dua pendapat. Pendapat pertama merujuk kepada al-żikr (Al-Quran) dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Pendapat kedua merujuk kepada Nabi Muhammad sehingga maknanya menjadi “dan Kami (pula) yang menjaga Nabi Muhammad dari para setan dan musuh-musuhnya”. Maksudnya adalah orang-orang yang menuduh gila pada Nabi Muhammad

Ibn ‘Asyūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (juz 14, halaman 21) mengutip ‘Iyādh menceritakan bahwa Ismā’īl ibn Ishāq ditanya mengenai rahasia alasan kitab-kitab terdahulu yang mengalami banyak perubahan, sedangkan Al-Quran tidak.

Beliau menjawab “sesungguhnya Allah memasrahkan kepada ulama-ulama mereka untuk menjaga kitab-kitab mereka sendiri. Allah berfirman ‘sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah’ (QS. Al-Mā`idah[5]:44) sedangkan Allah menjaga Al-Quran dengan dzat-Nya sendiri.

Hal ini berarti ketika Allah menurunkan kitab-kitab sebelum Al-Quran, Allah memasrahkan penjagaannya kepada para ulama mereka sedangkan terhadap Al-Quran, Allah sendiri yang benar-benar menjaganya.

Baca Juga: Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad Saw

Berbagai cara Allah menjaga Al-Quran

Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Mafātiḥ al-Ghaib (juz 19, halaman 123) merinci cara Allah menjaga Al-Quran. Pertama, Allah menjadikan Al-Quran sebagai mukjizat sehingga tidak ada satu makhluk pun yang mampu menambah dan mengurangi Al-Quran. Hal ini karena ketika ada makhluk yang mengurangi Al-Quran, maka akan mengubah susunan Al-Quran itu dan orang-orang yang berakal akan segera menyadari bahwa perubahan itu bukan bagian dari Al-Quran.

Kedua, Allah menjaga Al-Quran dari siapapun yang ingin  memalingkan makna Al-Quran. Ketiga, Allah melemahkan semua makhluk untuk merusak Al-Quran dengan melestarikan orang-orang yang terus menghafal, mengkaji, dan mempopulerkan Al-Quran. Keempat, ketika ada yang mengubah satu huruf atau satu titik dari Al-Quran, maka orang-orang akan berkata kepadanya “ini adalah kebohongan bagi kalam Allah”. Bahkan orang tua yang disegani sekalipun ketika melakukan laḥn (kesalahan) pada sebuah huruf maka anak anak akan berkata padanya “Anda salah wahai orang tua, yang benar adalah demikian dan demikian”.

Al-Qurṭubī dalam al-Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur’ān (juz 5, halaman 10) menceritakan kisah dari Yaḥyā ibn Akṡam. Khalifah al-Makmūn mempunyai majlis diskusi. Suatu hari di tengah kerumunan orang, datang seorang laki-laki Yahudi yang bagus pakaiannya, tampan wajahnya. Laki-laki tersebut mampir berbicara dengan bagus dan lugas.

Ketika dia akan pergi, Khalifah al-Makmūn memanggilnya dan berkata “apakah kamu seorang bani Isrāil? ”benar” jawabnya. Lalu Khalifah al-Makmūn berkata “masuklah ke dalam Islam” Dia menjawab “(agama Yahudi) agamaku dan agama nenek moyangku” dan dia pun pergi.

Setahun kemudian, dia datang lagi sebagai seorang muslim dan dia membahas dengan baik ilmu fikih. Setelah majlis selesai, Khalifah al-Makmūn memanggilnya lagi dan berkata “bukankan kamu teman kami kemarin?” dia menjawab “betul”

Khalifah al-Makmūn lanjut bertanya “apa yang membuat kamu masuk Islam?” dia bercerita “aku pergi dari hadapanmu dan tak lama kemudian aku melakukan sebuah . Aku menulis Taurat berjumlah tiga naskah. Di dalamnya ada bagian yang aku tambahi dan aku kurangi. Lalu aku masukkan ke dalam gereja. Maka kitab tersebut laku terjual. Kemudian aku melakukan hal yang sama pada Injil lalu aku jadikan barang dagangan dan laku terjual.

Hal tersebut juga aku lakukan pada Al-Quran. Lalu aku tawarkan pada penjual buku dan dia pun menelaahnya. Ketika dia tahu ada penambahan dan pengurangan pada Al-Quran dia melempar dan tidak mau membelinya. Dari kejadian itu aku tahu bahwa Al-Quran terjaga dan karena itulah aku masuk Islam.

Berdasarkan keterangan yang diberikan para mufasir dapat disimpulkan bahwa Al-Quran itu senantiasa dijaga oleh Allah dan dijamin keotentikannya oleh Allah hingga hari kiamat. Penjagaan itu juga melibatkan pihak lain, yaitu  melalui peran para pembaca, penghafal, pengkaji, dan orang-orang yang selalu melestarikan ajaran-ajaran Al-Quran.

Adib Falahuddin
Adib Falahuddin
Mahasiswa S2 Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...