Syekh Mahmud Syaltut adalah seorang cendekiawan terkemuka asal Mesir dan teolog Islam Sunni yang terkenal karena karyanya dalam reformasi Islam. Beliau merupakan tokoh perintis penerapan tafsir tematis dan peingkut aliran pemikiran Mohammad Abduh yang terkenal dengan gagasan pembaruannya. Selain itu, Mahmud Syaltut juga dikenal sebagai Imam Besar Al-Azhar selama bertahun-tahun, tepatnya sejak tahun 1958 hingga tahun 1963, tahun di mana ia wafat.
Mahmud Syaltut dilahirkan di desa Maniah Bani Mansur, distrik Itai a-Bairud, dalam kawasan Buhairah, Mesir, pada tahun 1893 (1311 H) dan wafat di Kairo pada tahun 1963 (1384 H). Selama kehidupannya, beliau menorehkan banyak karya, di antaranya: al-Islam Aqidah wa Syari’ah (1966); al-Fatawa (1966); Tafsir al-Qur’an al-Karim: al-Ajza al-Asyrah al-Ula (1966); Min Huda al-Qur’an; al-Qur’an wa al-Qital dan al-Qur’an wa al-Mar’ah.
Sebagaimana anak-anak Mesir pada umumnya, Mahmud Syaltut sudah memulai pendidikannya sejak di kampung halaman dengan mempelajari dan menghafal Al-Qur’an. Pada tahun 1906, tepatnya ketika menginjak usia 13 tahun, Syaltut menempuh pendidikan formalnya dengan memasuki al-Ma’had al-Dini al-Iskandariah. Ia lalu melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar dan lulus pada tahun 1918 M dengan predikat syahadah ‘alamiyah an-nizamiyyah.
Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar, Mahmud Syaltut kemudian meniti karier sebagai pengajar di almamaternya, al-Ma’had al-Dini al-Iskandariah, dan juga Al-Azhar. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Menurut beberapa catatan, saat itu Syaltut ikut terlibat dalam revolusi Mesir 1919 yang dipimpin oleh Sa’ad Zaghlul Pasha.
Selain sebagai seorang da’i, aktivis, dan dosen Al-Azhar, Syaltut juga merupakan sebagai penulis yang handal. Tercatat bahwa Syaltut aktif dalam pertemuan ilmiah di luar kampus dan menulis di sejumlah media massa serta Jurnal. Ketika ia aktif mengajar di al-Ma ‘had al-Dini, artikel-artikelnya kerap kali dimuat pada penerbitan al-Iskandariyah, suatu penerbitan yang dikelola oleh perguruan al-Ma’had al-Dini.
Selama mengajar di Al-Azhar, Mahmud Syaltut sering mengupayakan pembaraan pemikiran. Ia bersama dengan Mustafa al-Maraghi yang memiliki wawasan luas dan progresif dengan giat melakukan gerakan pembaharuan. Menurut Syaltut, sudah saatnya Al-Azhar membuka diri terhadap perkembangan zaman dan mereformasi diri guna menyambut kemajuan ilmu pengetahuan yang selama ini dikuasai barat.
Namun upaya Mahmud Syaltut dan Mustafa al-Maraghi rupanya ditentang oleh kalangan tradisonalis. Akibatnya – karena tingginya intensitas tekanan – al-Maragi dicopot dari jabatannya sebagainya Grand Syekh Al-Azhar dan digantikan oleh Muhammad al-Ahmad al-Zawahiri. Kendati demikian, laju arus pembaharuan keduanya telah – sedikit atau banyak – berkembang dan mewarnai diskursus di Universitas Al-Azhar.
Syekh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional, dan pemikiran yang bijak.
Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang al-qanun al-dauli al-Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Den Haag, Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan makalahnya, “al-Masuliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah,” berisi tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman.
Karier Mahmud Syaltut di Universitas Al-Azhar cukup mentereng. Tercatat selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pengawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syekh Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syekh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar).
Mahmud Syaltut juga dikenal sebagai ulama yang mencoba menghilangkan fanatisme mazhab. Tercatat Selama 25 tahun terakhir dalam kehidupannya, ia bergelut dan terlibat sebagai pelopor dalam Jama’ah al-Taqrib baina al-Mazahib, suatu organisasi untuk mendekatkan mazhab-mazhab. Anggota organisasi ini terdiri dari kalangan ulama Sunni dan Syi’ah yang sama-sama bertujuan untuk menghilangkan fanatisme mazhab dalam bidang hukum Islam.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Mahmud Syaltut telah menorehkan banyak karya monumental, baik dalam bidang fikih maupun tafsir. Setidaknya ada 17 karya beliau yang tercatat oleh para sejarawan. Dalam Hayat al-Imam al-Sayyid al-Ustaz al-Akbar al-Syaikh Mahmud Syaltut disebutkan ada 13 karya beliau, sedangkan dalam Tarikh al-Azhar fi Alfi ‘Am disebutkan ada 15 karya hasil guratan tinta emas beliau.
Kemudian, ada dua karya yang tidak disebutkan dalam Hayat al-Imam al-Sayyid al-Ustaz al-Akbar al-Syaikh Mahmud Syaltut dan Tarikh al-Azhar fi Alfi ‘Am, yakni kitab Tafsir al-Qur’an al-karim al-Ajza’ al-Asra al-Ula dan al-Fatwa. Yang pertama merupakan kitab pembuktian yang menunjukkan Mahmud Syaltut sebagai perintis penerapan tafsir tematis, sedangkan yang kedua adalah kumpulan fatwa beliau.
Muhammad al-Bahi selaku Direktur Lembaga al-Saqafah al-Islamiyyah al-Azhar dalam pengantarnya menyatakan bahwa, Mahmud Syaltut dalam menafsirkan Al-Qur’an ini sangat istimewa. Dalam karyanya tersebut terlihat jelas dua visi pemikiran tafsirnya yaitu; menyaring pendapat-pendapat mufasir lama dan menghindari penafsiran-penafsiran yang kandungannya sarat dengan fanatisme mazhab.
Dalam mukadimahnya, Mahmud Syaltut mengkritik secara tajam terhadap penafsiran sektarian yang mengklaim bahwa penafsirannyalah satu-satunya yang benar. Di sisi lain, ia juga mengkritik penafsiran-penafsiran yang dipenuhi dengan riwayat israiliyyat. Menurutnya, riwayat-riwayat semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya secara ilmiah.
Hal menarik yang dapat ditemukan dalam tafsir Mahmud Syaltut adalah metode penafsirannya yang unik. Dalam karyanya ini, Syaltut menggunakan metode penafsiran maudu’i, tepatnya tematik surah. Hal ini tidak seperti tafsir pada umumnya yang mengulas penafsiran ayat demi ayat atau surat demi surat, dan mengurutkan kata demi kata yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena alasan inilah, ia dianggap sebagai perintis penerapan tafsir tematis.
Hal serupa disampaikan oleh Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an. Menurutnya, Mahmud Syaltut adalah perintis penerapan tafsir tematis, tepatnya maudhu’i berdasarkan surah. Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek atau term digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut pada tahun 1960.
Pada tanggal 25 November 1963 Mahmud Syaltut mengalami sakit parah. Beliau kemudian dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit al-Agouza Cairo. Setelah dioperasi selama tiga jam, kesadarannya pulih kembali, namun rupanya itu tidak mampu menyembuhkan penyakit beliau. Tokoh karismatik ini meninggal dunia pada tanggal 13 Desember 1963 setelah sempat dirawat selama dua minggu di Rumah Sakit. Wallahu a’lam.