BerandaTafsir TematikBolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan...

Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis dalam Al-Quran dijelaskan dalam QS. An-Naml [27]: 23-44. Dalam Al-Quran, Ratu Balqis menjadi simbol adanya seorang perempuan yang mampu menjadi pemimpin di sebuah kerajaan dengan sangat piawai dan sangat gemilang. Adanya kisah Ratu Balqis dalam Al-Quran ini menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan diperbolehkan untuk menjadi seorang pemimpin di sebuah negara (publik).

Kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin publik masih menjadi perdebatan karena adanya sebuah hadis Nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa “tidak beruntung suatu kaum jika dipimpin oleh perempuan.”  Hadis inilah yang kemudian digunakan untuk klaim kebenaran atas larangan seorang perempuan menjadi pemimpin publik.

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis ini sebenarnya menceritakan dua pemimpin yang berbeda jenis kelamin, keduanya memimpin sebuah kerajaan besar dan keduanya mampu memimpin kerajaannya dengan sangat piawai. Tidak hanya seorang laki-laki, sebenarnya perempuan juga mampu menjadi seorang pemimpin di ranah publik.

Dalam qiraah maqashidiyah yang pertama harus dilakukan yaitu analisis bahasa. Untuk menganilisa kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, penulis membagi ke dalam 4 bagian. Pertama, sosok Ratu Balqis. Kisah Ratu Balqis dalam QS. An-Naml[27]: 23-44 diawali dengan kata Imraah yang berasal dari kata mara’a yang artinya baik dan bermanfaat. Kata imraah dalam Al-Quran seluruhnya digunakan untuk menjelaskan tentang istri Nabi terkecuali dalam QS. An-Naml yang menunjuk pada seorang perempuan yang belum menikah.

Baca juga: Kisah Al-Quran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Kata al-Mar’ah juga menunjukkan arti kedewasaan atau kematangan. Kata al-mar’ah manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur dewasa, telah berumah tangga dan mempunyai peran tertentu dalam masyarakat. Kisah Ratu Balqis ini menunjukkan adanya seorang perempuan dewasa secara emosional maupun intelektual yang berhasil dalam memimpin kerajaannya.

Kedua, keimanan Ratu Balqis. Kisah Ratu Balqis ini seringkali ditolak untuk dijadikan sebagai landasan kebolehan perempuan menjadi pemimpin karena agama Ratu Balqis yaitu menyembah matahari. Jika keimanan dalam konteks ini yang dimaksudkan adalah agama bukan religiusitas maka tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menolak pemimpin perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya karena Ratu Balqis masih mengikuti budaya yang ada di sekitarnya dan belum bertemu dengan Nabi Sulaiman yang mengajaknya menuju jalan kebenaran.

Ketiga, Ratu Balqis dan para tentaranya. Setelah mendapatkan surat dari Nabi Sulaiman, Ratu Balqis kemudian mengundang menteri-menteri kerajaan, pembesar-pembesar kerajaan dan ahli-ahli kerajaan untuk bermusyawarah. Hal ini memperlihatkan bahwa Ratu Balqis merupakan sosok pemimpin yang diplomatik, tidak otoriter dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Keempat, bertemunya Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman. Pertemuan keduanya diawali dari pemindahan singgasana Ratu Balqis ke kerajaan Nabi Sulaiman. Setelah sampainya Ratu Balqis di kerajaan Nabi Sulaiman, Ratu Balqis terheran karena melihat kemiripan antara singgasana Nabi Sulaiman dengan singgasananya. Nabi Sulaiman bertanya  kepada Ratu Balqis “Serupa inikah istanamu?” dengan agak ragu dan bingung, dia menjawab “Seakan-akan inilah singgasanaku.”  

Baca juga: Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al-Quran

Dengan jawaban tersebut dapat terlihat adanya ketelitian dari sosok Ratu Balqis dengan apa yang dimilikinya. Dari bagian-bagian inilah kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin publik jika mempunyai kemampuan baik secara capable maupun acceptable. Yang dimaksud capable adalah kemampuan diri seseorang dan acceptable adalah dukungan dari luar berupa dukungan politik, keluarga dan masyarakat.

Hal ini senada dengan hadis yang mengatakan bahwa “tidak beruntung suatu kaum jika dipimpin oleh perempuan.” Hadis ini disabdakan oleh Nabi Muhammad saw karena melihat kerajaan Kisra yang dipimpin oleh perempuan yang tidak memiliki kapabilitas untuk memimpin. Namun berbeda jika pemimpin perempuan ketika itu mempunyai kemampuan untuk memimpin maka dipastikan Nabi Muhammad saw tidak akan bersabda seperti hadis di atas. Hadis ini dapat menjadi landasan yang relevan jika terdapat seorang perempuan yang tidak memiliki kemampuan untuk memimpin namun dijadikan pemimpin dalam suatu kelompok.

Maka dari itu dapat dipastikan bahwa sebenarnya seorang perempuan dapat menjadi pemimpin publik jika mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Tidak hanya perempuan begitupun laki-laki, jika ingin menjadi seorang pemimpin atau memilih pemimpin maka pilihlah pemimpin yang mempunyai kemampuan dan kepiawaian dalam memimpin. Wallahu A’lam.

Siti Robikah
Siti Robikah
Pegiat Gender, Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Maarif Institute 3
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU