BerandaKhazanah Al-QuranBukan Hanya Pintu Bledeg Ki Ageng Selo, Mushaf Kuno di Museum Masjid...

Bukan Hanya Pintu Bledeg Ki Ageng Selo, Mushaf Kuno di Museum Masjid Agung Demak Ini Juga Menawan

Mushaf kuno di museum masjid agung Demak dan benda peninggalan Ki Ageng Selo yang sangat terkenal, yaitu pintu bledeg, merupakan benda pusaka yang menarik. Selain sama-sama terdapat di museum masjid Agung Demak, juga mempunyai keunikan masing-masing. Pintu bledeg disebut juga prasasti Condro Sengkolo yang berbunyi Naga Mulat Salira Wani, yang mana menjadi tanda tahun pembuatan Masjid Agung Demak. Makna dari Condro Sengkolo tersebut adalah tahun 1388 saka atau 1466 Masehi.

Pintu bledeg ini dulunya merupakan pintu masjid Agung Demak. Sehingga saat ini tersimpan rapi di Museum Masjid Agung Demak, dan replikanya dibuatkan untuk tetap dipasang di masjid. Selain pintu bledeg, terdapat juga beberapa benda bersejarah seperti sokoguru peninggalan para wali yang dulu menjadi tiang utama penyangga masjid. Sokoguru itu ada empat, yang terdiri dari sokoguru Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel.

Namun, dari sekian banyaknya peninggalan benda pusaka, terdapat juga peninggalan yang penting namun sering luput dari pengawasan muslim Jawa. Peninggalan ini berupa Mushaf Al Qur’an kuno. Al Qur’an yang terdapat di Museum Masjid Agung Demak ini berjumlah 14 buah, 11 berupa manuskrip dan 3 sisanya mushaf cetakan India.


Baca juga: Tafsir Kalimat Sawa’: Hidup Damai di Tengah Perbedaan, Kenapa Tidak


Ali Akbar, peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an pernah mencatat spesifikasi mushaf-mushaf yang ada di museum tersebut (Mushaf Kuno Nusantara Jawa, 2019). Ia menyebut bahwa mushaf-mushaf ini merupakan wakaf dari masyarakat. Sementara dilihat dari fisiknya, mushaf-mushaf yang berbentuk manuskrip itu ternyata memiliki iluminasi yang menawan. Berikut beberapa contoh wujudnya.

Mushaf Museum Masjid Agung Demak 1

Mushaf Kuno di Museum masjid Agung Demak
Mushaf Kuno di Museum

Mushaf yang menawan pertama ini berukuran 32 x 19,5 cm, menggunakan kertas Eropa dengan countermark WW&H Pannekoek. Adapun tinta yang digunakan yaitu warna hitam dan merah. Tinta hitam digunakan untuk menulis ayat-ayatnya, sementara tinta merah untuk kepala surah, permulaan juz, tanda tajwid, catatan pias, dan lingkaran akhir ayat.

Bagian awal mushaf ini telah hilang, sehingga iluminasi dapat dilihat di bagian tengah (Surat Al Kahfi) dan di akhir mushaf. Motif yang digunakan berbentuk floral (tumbuh-tumbuhan) yang didominasi warna kecokelatan. Dengan frame persegi dan segitiga, mushaf ini terlihat lebih rapi.

Ada kolofon menarik di akhir mushaf yang berbunyi, “Ingkang gadhah Qur’an … Wijaya ingkang ngabdi Kanjeng Pengiran”. Kolofon ini berarti (Yang memiliki Al-Qur’an … Wijaya yang mengabdi kepada Kanjeng Pengiran).

Mushaf Museum Masjid Agung Demak 2

Mushaf Kuno yang kedua ini lebih meriah dari sebelumnya. Ukuran yang dimilikinya 32 x 20 cm, dengan kertas Eropa sebagai mediumnya. Mushaf kedua ini memiliki watermark ProPatria dengan huruf JH di bagian bawah, dan countermark WW&H Pannekoek. Adapun tinta yang digunakan, sama persis dengan mushaf yang pertama tadi.


Baca juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?


Menurut Ali Akbar, corak struktur iluminasi di awal, tengah, dan akhir mushaf ini berbeda-beda. Di bagian tengah mushaf, iluminasinya penuh bahkan di bagian tepi halaman dihiasi dengan garis dan ornamen di setiap sudutnya.

 Mushaf Museum Masjid Agung Demak 3

Mushaf kuno yang ketiga ini memiliki ukuran 32 x 20 cm dan berbahan kertas Eropa. Tinta yang digunakan mushaf ini terdiri dari warna hitam dan merah. Seperti mushaf sebelumnya, tinta hitam digunakan pada penulisan ayat, sedangkan merah untuk untuk kepala surah, permulaan juz, tanda tajwid, catatan pias, dan lingkaran akhir ayat.

Iluminasi yang digunakan mushaf ini, lebih padat dari mushaf yang pertama namun, tetap memiliki frame persegi. Warna dalam iluminasi yang digunakan adalah merah, cokelat, biru, hijau, dan kuning, dengan motif kawung, srimpedan (geometris), dan sulur.

Sayangnya mushaf ini sudah tidak lengkap, bagian akhir mushaf telah hilang dan hanya sampai surah al-Gāsyiyah. Menariknya, setiap awal surat menyertaka jumlah ayat, kalimat, huruf dan waktu turunnya yang diletakkan di baris kedua setelah kepala surah.


Baca juga: Keunikan Mushaf Pangeran Diponegoro; Iluminasi yang Mewah hingga Tanda Tajwid yang Lengkap 


Mushaf Museum Masjid Agung Demak 4

Mushaf koleksi Museum Masjid Agung Demak yang keempat ini berukuran 33 x 21 cm. Masih sama dengan penjelasan sebelumnya, terkait kertas menggunakan produk Eropa. Tinta yang digunakan pun demikian, terdiri dari warna hitam dan merah. Mushaf ini disebut oleh Ali Akbar sudah tidak lengkap, namun memiliki catatan yang berbunyi sebagai berikut.

“Punika Qur’an kagunganipun Raden Ayu …dirja tahun Welandi 1783. Kaparingake Rahaden Bagus Prawata. Nalika dipunparingake tahun Welandi [?].” Catatan ini kemungkinan bermakna (Qur’an ini milik Raden Ayu … dirja tahun Belanda [Masehi] 1783. Diberikan oleh Rahaden Bagus Prawata. Ketika diberikan dalam tahun Belanda [Masehi]).

Namun karena belum terdapat penelitian lebih lanjut, maka belum dipastikan apakah catatan itu benar-benar berkiatan dengan mushaf atau mushaf lainnya. Terlebih catatan itu sebelumnya terlepas.

Tentu uraian ini hanyalah gambaran yang sangat ringkas tentang mushaf koleksi Museum Masjid Agung Demak. Apalagi Museum ini memiliki 14 koleksi mushaf, dan ini hanya 4 saja yang tertulis. Sehingga poin yang lebih penting adalah mengkaji mushaf-mushaf tersebut. Karena sampai saat ini, penilitian tentang benda peninggalan Museum Masjid Agung Demak masih didominasi pintu bledeg buatan Ki Ageng Selo.

Semoga Bermanfaat

Wallahu A’lam [].

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU