BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranBukti Perkembangan Al-Qur'an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan

Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan

Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Nyatanya, hakikat dan sejarah penulisan Al-Qur’an sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.

Pernyataan ‘menohok’ di atas dilontarkan oleh Luthfi Assyaukanie dalam salah satu tulisannya tentang sejarah perkembangan Al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri memang bagaimana ayat-ayat al-Qur’an pada masa Nabi masih ditulis secara terpisah dan dengan variasi “tujuh huruf”. Adapun sekarang, ia telah dihimpun dalam satu mushaf yang seragam yang kita sebut dengan mushaf usmani. Bahkan Al-Qur’an kini telah tersedia dalam bentuk digital. Ini juga menunjukkan bahwa wujud Al-Qur’an berkembang secara fleksibel mengikuti dan berdialektika dengan perkembangan zaman. Untuk itu, tulisan ini akan mengurainya lebih lanjut.

Suhuf Abu Bakr

Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 hijriah cukup menyisakan tragedi. Pasalnya 70 sahabat yang berstatus hamil al-qur’an (penghafal Al-Qur’an) turut menjadi syuhada’ kala itu. Peristiwa memilukan ini sontak menggerakkan sanubari ‘Umar putra Al-Khattab. Al-Qur’an harus dikodifikasikan!

Setelah melalui dialog dan perdebatan yang alot, Allah pun membukakan hati Abu Bakr untuk berkenan menerima usulan ‘Umar. Anugerah yang sama yang Allah berikan tatkala membukakan hati Zaid bin Tsabit, sahabat yang ditunjuk Abu Bakr untuk mengemban tugas suci ini.

Begitu menyetujuinya, Zaid segera bergerak memeriksa setiap naskah tulisan Al-Qur’an yang ada. Tak ketinggalan, ia ‘meminta’ hafalan yang melekat di hati para sahabat. Hingga sebuah perjalanan yang ia lakukan untuk potongan akhir QS. At-Taubah. Hasilnya, ia kumpulkan dalam sebuah mushaf yang disebut Suhuf. Sebuah ijtihad besar yang menandai bidah pertama dalam perkembangan Al-Qur’an.

Baca juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit

Mushaf ‘Utsmani

Dalam sebuah rombongan tentara yang dikirim menuju Armenia dan Azerbaijan, Hudzaifah bin al-Yaman dikejutkan dengan perselisihan bacaan Al-Qur’an kaum Muslimin. Luasnya wilayah ekspansi Islam saat itu nampaknya berimbas pada perbedaan cara pelafalan Al-Qur’an yang memberi dampak buruk terhadap persatuan dan kesatuan Islam. Segera ia menemui ‘Utsman, sang khalifah. Mushaf Al-Qur’an harus disatukan!

Zaid bin Tsabit kembali dilibatkan. Kali ini ia tidak sendiri. Khalifah secara resmi membentuk sebuah tim beranggotakan empat sahabat. Tiga sahabat selain Zaid menjadi perwakilan suku Quraisy sebagai pemilik asli lughat Al-Qur’an. Usaha mereka membuahkan hasil. Empat mushaf baru yang ditulis segera didistribusikan ke seluruh penjuru wilayah Islam. Sebuah ijtihad besar yang menandai bidah kedua dalam perkembangan Al-Qur’an.

Perkembangan dan Motif Bidah

Dua peristiwa di atas adalah sedikit dari peristiwa besar yang berkaitan dengan bidah Al-Qur’an. Bidah di sini tentunya memiliki konotasi positif mengingat pertimbangan manfaat dan tujuan lain yang sangat dominan. Yakni bidah dalam artian literalnya, sesuatu yang baru (awwal) yang belum dilakukan sebelumnya (la nadzir lah). Bukan dalam artian syariat. Sebagaimana dijelaskan oleh Gus Baha’, ma ishthadamah al-syar‘ (sesuatu yang bertabrakan dengan syariat).

Bila menilik perjalanannya, Al-Qur’an telah mengalami banyak peristiwa akibat pergumulannnya dengan umat manusia sebagai objek yang ia diturunkan, bahkan hingga kini. Tak jarang, peristiwa itu dianggap tabu dan menuai resistensi yang cukup kuat. Namun karena tuntutan kondisi, hal itu tetap dilakukan. Dengan menanggung dampak negatif sebagai konsekuensinya.

Seperti pembukuan kembali Al-Qur’an di era ‘Utsman yang ‘menyingkirkan’ mushaf tertulis lainnya. Yang menurut tokoh-tokoh saat ini, hal itu sangat disayangkan terjadi. Kendati langkah yang ‘Utsman tempuh sejatinya telah mendapat dukungan penuh para sahabat termasuk Ali, yang sempat berkata, “Aku pun akan melakukan apa yang ‘Utsman lakukan”.

Baca juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Jauh setelah itu, ketika dunia dihebohkan dengan temuan mesin percetakan modern oleh Johannes Gutenberg (1397-1468) pada tahun 1440-an, hampir seratus tahun kemudian Al-Qur’an juga ‘menikmati’ bidah modern ini. Adalah Al-Qur’an cetakan Venice, Italia antara tahun 1537-1538 (salah satu sumber mengatakan antara 1530-1537) yang menuai kritik dan penolakan keras umat muslim. Karena mushaf cetakan the moveable type tersebut ternyata memiliki banyak kesalahan dan tidak layak baca.

Ancaman terhadap eksistensi budaya lisan (oral transmission) dalam persebaran ilmu dan pengetahuan serta degradasi peran seni tulis kaligrafi juga ditengarai menjadi alasan lainnya. Selain juga beredarnya rumor adanya bagian alat percetakan yang terbuat dari kulit anjing serta fatwa bidah dan makruh dalam penggunaannya sebagaimana dijelaskan Hamam Faizin dalam Sejarah Pencetakan Al-Qur’an.

Butuh waktu hingga empat abad menghilangkan stigma negatif dan melakukan pembuktian atas kredibilitas mesin cetak. Namun setelah diterima, ramai-ramai upaya pencetakan modern kepada Al-Qur’an dilakukan. Begitulah.

Fenomena yang sama juga terjadi saat dunia memasuki era digital di abad dua puluh. Bidah komputerisasi juga tak luput menyasar pada Al-Qur’an. terlebih dengan munculnya fasilitas internet yang memungkinkan Al-Qur’an merambah dunia baru yang belum dikenal sebelumnya, sebuah dunia virtual yang tidak benar-benar ada. Bagaimana respon umat Islam?

Skeptisisme masih mendekam di hati umat Islam. Sebagai salah satu wasilah (perantara), teknologi diharapkan tetap berada pada ruangnya dan tidak beralih keluar atau bahkan mereduksi nilai-nilai utama (ghayah) dalam beragama. Perpecahan pun terjadi. Sementara satu pihak keukeuh menolak akomodasi teknologi digital pada Al-Qur’an, yang lain justru menganggap teknologi sebagai bagian dari keniscayaan perkembangan kebudayaan umat manusia, yang karenanya harus diterima melalui proses adopsi dan adaptasi yang sesuai.

Namun nyatanya, disaat pandemi Covid-19 menyebar, imbauan social distancing dan ‘anything’ from home mengharuskan berkurangnya interaksi sosial secara langsung dan teknologi digital menjadi satu-satunya jalan keluar, semua berbondong-bondong menggunakannya. Yang boleh jadi, usai pandemi berakhir culture baru ini tetap dipertahankan karena sudah kadung nyaman.

Bila diamati, pola-pola ‘bidah’ ini pada dasarnya mengambil bentuk yang sama. Selalu ada hubungan antara perkembangan umat manusia dan kebutuhan terhadap budaya baru. Selalu ada pula resistensi di awal kemunculannya, namun juga selalu ada trigger yang menjadi dalil legitimasi eksistensialnya. Benar tidaknya wallahu a‘lam bisshawab.

Baca juga: Bolehkah Menulis Mushaf Al-Quran dengan Selain Rasm Utsmani?

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...