Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan dua cara memahami Alquran melalui redaksinya, yaitu dengan menggunakan Ibarah an-Nash (redaksi/ungkapan nas) dan Isyarah an-Nash (isyarat redaksi). Adapun di artikel ini akan diterangkan dua cara lainnya, yaitu Dalalah an-Nash (petunjuk redaksi) dan Iqtidla’ an-Nash (tuntutan redaksi). Berikut pembahasan lanjutan yang dikutip dari kitab Ushul al-Fiqh karya Syaikh Abdul Wahhab Khallaf.
Dalalah an-Nash (petunjuk redaksi)
Dalalah an-Nash disebut juga dengan istilah Mafhum Muawafaqah (makna tersirat dari sebuah teks yang hukumnya sama seperti yang dikehendaki teks tersebut).
Definisi Dalalah an-Nash adalah pemahaman terhadap spirit dan rasionalitas redaksi atau teks yang dipakai oleh Alquran dalam menetapkan sebuah hukum. Tidak sedikit redaksi atau teks Alquran yang menetapkan sebuah hukum pada suatu peristiwa dengan suatu alasan tertentu.
Alasan yang digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa tersebut membuka peluang untuk menentukan hukum yang sama pada peristiwa lain yang tidak disebutkan pada redaksi atau teks Alquran itu. Akan tetapi, ia memiliki ‘illat (alasan) yang sama dengan peristiwa yang disebutkan dan dijelaskan oleh redaksi Alquran pada ayat tersebut.
Contoh, pemahaman pada ayat 23 surah Al-Isra’ mengenai kewajiban berbakti kepada kedua orang tua.
{وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا} [الإسراء: 23]
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik“ (Q.S. Al-Isra’ [17]: 23).
Melalui metode ‘Ibarah an-Nash, ayat di atas memberikan pemahaman perihal kewajiban berbakti kepada kedua orang tua serta larangan mengatakan “ah” dan membentak mereka, karena dua hal tersebut akan menyakiti perasaan mereka berdua. Sementara itu ditemukan pula suatu perbuatan yang juga bisa menyakiti perasaan serta fisik keduanya seperti memukul, mencaci-maki dll.
Alasan-karena menyakiti-yang ditetapkan oleh redaksi Alquran dalam menetapkan hukum keharaman mengatakan “ah” dan membentak kedua orang tua juga terdapat pada kasus pemukulan dan lain sebagainya. Ini menyebabkan hukum keduanya disamakan melalui metode Dalalah an-Nash (petunjuk teks Alquran), yaitu berupa keharaman.
Hal tersebut disebabkan karena memandang spirit dan rasionalitas dari teks atau redaksi Alquran yang menetapkan keharaman pada kasus di atas dikarenakan terdapat suatu perbuatan yang bisa menyakiti mereka berdua.
Baca juga: Cara-Cara Memahami Alquran Melalui Redaksinya (Bag. I)
Contoh lainnya adalah ayat tentang keharaman memakan harta anak yatim yang dinyatakan dalam ayat berikut:
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا} [النساء: 10]
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 10).
Ayat di atas memberikan pemahaman mengenai keharaman memakan harta anak yatim secara zalim melalui metode ‘Ibarah an-Nash. Keharaman tersebut disebabkan karena dengan memakannya bisa merusak/menghilangkan (iltaf) harta tersebut yang menyebabkan anak yatim itu tidak dapat memanfaatkan hartanya.
Dengan alasan tersebut, ayat di atas juga bisa dipahami melalui metode Dalalah an-Nash bahwa hukum membakar dan membagi-bagikan harta anak yatim dengan zalim juga sama dengan memakan harta tersebut. Sebab, keduanya memiliki ‘illat (alasan) yang sama, yaitu berupa merusak/menghilangkan (iltaf) harta tersebut yang menyebabkan anak yatim itu tidak dapat memanfaatkan harta miliknya.
Baca Juga: Jenis-Jenis Teks Alquran yang Belum Banyak Diketahui
Iqtidla’ an-Nash (tuntutan redaksi)
Cara terakhir untuk memahami Alquran melalui redaksinya adalah dengan menggunakan Iqtidla’ an-Nash (tuntutan redaksi). Iqtidla’ an-Nash adalah sebuah makna logika yang dikira-kirakan pada redaksi atau teks Alquran yang hanya bisa dipahami dengan memperkirakan adanya makna tersebut. Makna yang dikira-kirakan pada redaksi tersebut merupakan makna yang menjadi penyempurna dan meluruskan maksud dari redaksi atau teks Alquran.
Contoh, pemahaman mengenai ketidakbolehan menikahi mahram yang terdapat pada surah An-Nisa’ ayat 23 berikut:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا} [النساء: 23]
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 23).
Keharaman menikahi mahram seperti ibu, anak, dan lainnya pada ayat di atas diambil melalui metode Iqtidla’ an-Nash, yaitu dengan memperkirakan adanya makna “menikahi” pada redaksi atau teks ayat tersebut. Sebab, jika tidak demikian, maksud dari ayat itu tidak bisa dipahami. Hal tersebut disebabkan makna yang diambil dari ayat di atas berupa pemahaman keharaman sosok seorang ibu, anak, dan seterusnya. Sedangkan sebuah hukum tidak pernah melekat pada sosok apapun dan siapapun, dengan kata lain, sebuah hukum hanya berhubungan dan melekat pada sebuah perbuatan.
Oleh karenanya, ayat di atas perlu akan adanya makna yang meluruskan maksud dari redaksi atau teksnya, dan makna yang cocok untuk diperkirakan pada ayat tersebut adalah “menikahi”.
Baca Juga: Mengenal ‘Ideal Text’ dalam Teks Alquran
Contoh lainnya adalah ayat 3 pada surah Al-Maidah yang menjelaskan keharaman memakan bangkai:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ} [المائدة: 3]
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3).
Jika dilihat dari bunyi teksnya, ayat di atas memberikan pemahaman perihal keharaman sesuatu berupa bangkai. Sementara sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa sebuah hukum tidak bisa melekat pada suatu benda, maka disebabkan hal itu, ayat di atas perlu akan adanya makna yang diperkirakan melalui metode Iqtidla’ an-Nash, yaitu berupa “memakan” ataupun “memanfaatkan”.
Demikianlah penjelesan mengenai empat cara memahami Alquran melalui redaksinya. Wallahu a’lam.
Baca juga: ‘Ulum Al-Quran, Usul At-Tafsir dan Qawa’id At-Tafsir