BerandaTafsir TematikChildfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

Tema childfree belum lama ini cukup menyita perhatian banyak orang. Melansir Narasi Newsroom, ‘Kenapa Sih Ada yang Mau Childfree?’ topik ini mulai ramai jadi obrolan di media sosial karena ada dua publik figur yang menyatakan ketidakinginannya untuk memiliki anak. Bagi yang belum tahu childfree, di sini disampaikan bahwa childfree itu adalah istilah bagi seseorang yang memilih dan memutuskan untuk tidak menjadi seorang ibu.

Melihat pengertian di atas, keengganan untuk tidak melahirkan anak ini dapat dipahami sebagai sebuah pilihan dan keputusan yang bersifat selamanya, bukan sekadar menunda, karena jika hanya menunda maka akan sama halnya dengan praktik KB yang selama ini sudah berlangsung. Kita harus bisa membedakannya. Childfree juga tidak sama dengan childless. Childfree itu memilih untuk tidak memiliki anak, sementara childless adalah tidak bisa mempunyai anak. Dan mestinya childfree tidak hanya terfokus pada sang istri atau pihak perempuan, karena keputusan untuk tidak memiliki anak dalam hubungan pernikahan harusnya adalah keputusan bersama, laki-laki dan perempuan, suami dan istri.

Anak itu sendiri merupakan konsekuensi bawaan dari hubungan pernikahan pasangan suami istri. Oleh sebab itu, kesan menentang fitrah -bawaan alami- pernikahan ini yang menjadikan childfree kontroversi. Dan karena memiliki anak atau melestarikan keturunan erat kaitannya dengan pernikahan, bahkan ada ulama, sebut saja Jamaluddin Atiyyah dalam Nahw Taf’il Maqashid Asy-Syariah yang menjadikannya sebagai salah satu tujuan pernikahan atau berkeluarga (maqasid al-usrah), maka perspektif yang akan kami sampaikan dalam melihat fenomena childfree kali ini yaitu dari sudut tujuan pernikahan, lebih tepatnya tujuan pernikahan dalam pandangan tafsir Al-Quran.

Baca Juga: Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran

Anak menjadi faktor terwujudnya sakinah dan rahmah dalam pernikahan

Tujuan pernikahan dalam Al-Quran disinggung dalam surah Ar-Rum ayat 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (terjemah kemenag 2019)

Berdasar pada ayat ini, tujuan pernikahan itu ada tiga, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Mufasir berbeda-beda dalam memposisikan anak dalam tiga tujuan tersebut. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir memang tidak menyebutkan anak secara langsung, namun melihat penjelasannya tentang makna litaskunu ilaiha yang dimaknainya dengan litamilu ilaiha (saling terikat), maka adanya anak sangat memungkinkan masuk dalam pengikat antara suami dan istri tersebut. Suami istri pun kemudian beralih status menjadi orang tua yang selamanya, keduanya akan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup sang anak.

Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir juga sama dengan mufasir asal Damaskus di atas. Selain itu, mufasir yang dikenal dengan teori maqashid dalam penafsirannya ini menyatakan bahwa surah Ar-Rum ayat 21 merupakan asas at-tanasul (dasar dari proses reproduksi) manusia, yaitu pernikahan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa salah satu konsekuensi dari adanya pernikahan ini adalah reproduksi atau melestarikan keturunan.

Sementara itu, Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib mengatakan bahwa hadirnya rahmah itu bersamaan dengan lahirnya anak, merujuk pada ayat Al-Quran lain yang berkisah tentang dikabulkannya doa Nabi Zakariya yang memohon untuk diberikan seorang anak sebagai bentuk kasih sayang (rahmah) Allah kepadanya.

Lebih lanjut, Ar-Razi menyampaikan posisi anak ada dalam tujuan pernikahan yang keitga, yaitu rahmah. Menurutnya, rahmah hadir seiring dengan lahirnya anak itu karena sang anak membutuhkan kasih sayang orang tua, dan secara alami pasangan suami istri tersebut menjelma menjadi orang tua yang kehadiran mereka dibutuhkan oleh sang anak. Sama hal nya dengan Al-Qurtubi, ia menafsirkan rahmah di sini juga dengan kondisi ketika lahirnya seorang anak.

Mirip dengan Ar-Razi dan Al-Qurthubi, M. Quraish Shihab juga menyatakan bahwa tahap rahmah pada suami istri itu bersamaan dengan lahirnya anak. Namun sedikit berbeda, karena mufasir Indonesia ini mengajukan kondisi lain, yaitu ketika suami istri itu telah mencapai usia lanjut, masa keduanya sudah sama-sama lemah, tiada lain yang dibutuhkan adalah kasih sayang dari keduanya. Untuk penafsiran yang terakhir ini, kurang lebih sama dengan yang disampaikan oleh mufasir asal Mesir, Mutawalli Asy-Sya’rawi.

Baca Juga: Pilihan Tidak Memiliki Anak Meningkat, Namun Begini Pentingnya Anak dalam Al-Quran

Tugas berat dan kebahagiaan besar menjadi orang tua

Penafsiran di atas, terlihat sangat cenderung mengatakan bahwa anak lah perantara harmonis dan bahagianya pasangan suami istri, lantas bagaimana dengan keterangan yang sangat kontras dalam Al-Quran  yang menyatakan bahwa anak itu ujian dan musibah bagi kedua orang tuanya, bukankah berarti anak juga berpotensi mendatangkan kegaduhan pada kedua orang tuanya, bahkan pada lingkungannya yang lebih luas?

Sebagai orang tua, orang yang lebih dulu hidup menghirup udara dunia mestinya bisa waspada dan melakukan tindakan preventif sejak dini atas potensi anak yang tidak baik ini. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam hadis Nabi dalam Shahih Al-Bukhari

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna, apakah kamu melihat ada cacatnya?”

Pesan Rasulullah saw. ini memberi isyarat bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah, tanggung jawabnya sangat berat, namun jika tugas ini dijalani bersama-sama oleh ayah dan ibu, maka secara alami akan membuat keduanya semakin erat hubungannya, semakin saling terikat dan semakin saling membutuhkan. Apapun hasilnya, berhasil atau tidak keduanya siap menanggung bersama.

Jika hadis di atas berbicara tentang tugas berat orang tua menjaga anak, maka hadis berikut berbicara tentang nikmat besar orang tua karena sudah menjaga anak,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah; ilmu yang bermanfaat baginya dan anak salih yang selalu mendoakannya”

Pada hadis ini, sudah jelas bahwa hubungan anak dengan orang tua begitu erat, tidak terpisahkan, doa seorang anak menjadi salah satu perantara kebahagiaan bagi orang tuanya, bahkan hingga kedua orang tua itu sudah meninggal.

Baca Juga: Mengenal Empat Tipologi Anak dalam Al-Quran

Berdasar pada penjelasan di atas, para mufasir menyatakan bahwa anak -dengan segala permasalahnnya- adalah salah satu faktor yang mengantarkan pada tercapainya tujuan pernikahan, khususnya sakinah dan rahmah, dan memang bukan satu-satunya faktor. Meskipun demikian, ibarat sedang bepergian ke suatu tempat, bukankah lebih banyak mempunyai jalan alternatif itu akan menjadi lebih ringan dan lebih cepat sampai pada tujuan daripada hanya punya satu jalan? Wallahu a’lam

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...