BerandaTafsir TematikDalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini kita akan membaca dalil kedua tentang kebolehan merayakan peringatan Maulid Nabi yang diambil dari petunjuk Al-Quran. Dalil maulid Nabi yang kedua ini yaitu Hud [11]: 120.

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

“Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.”

Manthuq Surah Hud [11]: 120

Manthuq adalah bentuk isim maf’ul kata nathaqa-yanthiqu yang berarti pembicaraan. Sedangkan secara istilah, menurut al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, manthuq adalah makna yang dipahami dari petunjuk lafal secara qath’i terhadap pembicaraan. Sementara menurut al-Juwaini dalam al-Burhan adalah pengertian yang diperoleh dari apa yang tersurat.

Jika kita membaca Hud [11]: 120, maka manthuq ayat tersebut adalah hati Rasulullah Saw menjadi teguh dan tenang ketika mendengarkan kisah-kisah rasul terdahulu.

Al-Thabari dalam tafsir ayat “maa nutsabbitu bihi fu`adaka.. kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu,” ini meneruskan, “maka jangan risau dengan pendustaan yang dilakukan oleh kaummu, dan bantahlah apa yang mereka tuduhkan, jangan kausempitkan dadamu,” kemudian diteruskan dengan ayat berikut,

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ اَنْ يَّقُوْلُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ جَاۤءَ مَعَهٗ مَلَكٌ ۗاِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ ۗ

“Boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu menjadi sempit karena (takut) mereka mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang malaikat bersamanya?” (Hud [11]: 12).

Baca Juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Mafhum Muwafaqah Surah Hud [11]: 120

Kita urai definisi mafhum terlebih dahulu. Mafhum adalah makna yang dipahami dari lafal bukan menurut yang dibicarakan, sebagaimana definisi yang diberikan al-Amidi dalam kitab yang sama. Sementara al-Juwaini dalam al-Burhan mendefinisikan mafhum sebagai pengertian yang diperoleh dari arti yang tidak disebutkan secara jelas.

Kemudian mafhum terbagi menjadi dua; muwafaqah (yang sesuai antara yang disebutkan dengan yang tidak disebutkan) dan mukhalafah (yang tidak disebutkan berbeda dengan yang disebutkan).

Lalu kita kembali ke Hud [11]: 120. Dari ayat yang telah disebut di atas, kita menemukan mafhum muwafaqah-nya bahwa jikalau Nabi Muhammad Saw—yang derajatnya sangat luhur—Allah teguhkan dan tenangkan hati beliau Saw dengan kisah-kisah rasul terdahulu, maka kita—umat muslim, tentu lebih butuh kisah-kisah Nabi Muhammad saw supaya hati kita menjadi teguh dan tenang.

Metode ihtijaj (berhujah) dengan cara mafhum awlawi atau qiyas aula di atas adalah termasuk dalil yang kuat, dan meninggalkan cara tersebut sama halnya dengan bertolak belakang dengan manhaj al-Quran dan sunnah. Contoh lain penggunaan qiyas aula adalah dalam al-Isra’ [17]: 23

فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

“…maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Sekadar mengucapkan kata “ah” (atau kata-kata kasar lainnya) kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama, apalagi memperlakukan mereka lebih kasar, dengan memukul, misalnya? Jika ada seseorang yang mengingkari hal tersebut dengan beranggapan hanya “ah” yang dilarang, dan selainnya boleh, maka ia telah melakukan bid’ah senyata-nyatanya, sama seperti kelompok Dhahiriyah yang mengada-ada itu.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ketika Nabi Muhammad Saw tinggal di Madinah, beliau bertemu dengan seorang Yahudi yang sedang berpuasa di hari Asyura. Nabi Muhammad bertanya, “dalam rangka apa kalian berpuasa?” jawabnya kaum Yahudi, “hari ini adalah hari agung. Hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun beserta kaumnya ke dalam laut. Lalu Musa berpuasa di hari itu sebagai wujud syukur, dan kami melakukan hal yang sama.”

Kemudian Nabi Muhammad membalas, “kami lebih berhak meniru Musa daripada kalian.” Lantas Nabi Muhammad berpuasa di hari itu dan memerintahkan para sahabat sekalian untuk turut berpuasa.

Dari riwayat tersebut, Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata, “dari riwayat tersebut, sudah semestinya kita bersyukur kepada Allah Ta’alaa atas anugerah yang Dia berikan di hari-hari tertentu, baik berupa nikmat yang dicurahkan ataupun bahaya yang dihilangkan. Dan hari-hari itu diulang setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan berbagai ibadah seperti salat, puasa, membaca al-Quran, sedekah, dan lain sebagainya. Lalu adakah nikmat yang lebih agung daripada nikmat lahirnya Muhammad, Sang Nabi Pembawa Rahmat, shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 56: Perintah Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Saw

Faidah Kisah-Kisah

Di antara faidah utama kisah-kisah al-Quran, dan kisah-kisah lain pada umumnya adalah manthuq dari Hud [11]: 120 itu sendiri, yaitu meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya atas agama Allah. Selain itu, kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar sehingga pesan-pesan yang terkandung tertancap di dalam jiwa, sebagaimana surah Yusuf [12]: 111,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ

“Sungguh, pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat.”

Senada dengan hal tersebut, Ibn Abd al-Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhluhu mengutip kalam Imam Abu Hanifah tentang kisah para ulama, “kisah-kisah ulama dan kebaikan-kebaikan mereka itu lebih aku sukai daripada fikih, sebab kisah-kisah mereka merupakan adab dan akhlak yang mesti ditiru oleh suatu kaum.”

Jika demikian, tentu kisah hidup Nabi Muhammad Saw. lebih utama untuk kita simak dan pelajari. Inilah yang kami maksud dengan dalil maulid Nabi, karena dalam peringatan maulid Nabi, kita kembali diingatkan dengan kisah Nabi Muhammad saw. Hal itulah yang juga diajarkan Imam Ali Zainal Abidin kepada para ulama dengan berkata, “kami mengajar dan menceritakan ekspedisi-ekspedisi (dan kisah hidup) Rasulullah Saw. seperti halnya kami mengajarkan setiap surah dalam al-Quran.” Bukan hanya sekadar kisah, tetapi kebaikan dunia-akhirat lah yang kita peroleh dari kisah-kisah hidup Nabi Muhammad Saw. Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad.

Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari, Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Minat pada kajian keislaman. Bisa disapa di Twitter (@ath_anwari)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU