Para ulama’ menetapkan bahwa salah satu hal yang membatalkan wudhu adalah tidur. Oleh karena itu, apabila kita hendak salat atau sedang menunggu jamaah salat, lalu karena tak kuat menahan kantuk akhirnya berbaring dan tidur, maka saat hendak salat harus berwudhu kembali. Namun beberapa ulama’ menjelaskan ada beberapa posisi tidur yang tidak membatalkan wudhu. Lalu seperti apakah tidur yang membatalkan wudhu? Apakah dasar yang digunakan ulama’ menetapkan bahwa tidur membatalkan wudhu? Lebih lengkapnya, simak penjelasan berikut ini:
Tidur Termasuk Membatalkan Wudhu
Imam Al-Khazin dalam Tafsir Lubabut Ta’wil tatkala mengulas hal-hal yang membatalkan wudhu dalam surah An-Nisa’ ayat 43 menyatakan, bahwa di antara yang membatalkan wudhu adalah hilangnya kesadaran sebab tidur. Kesimpulan bahwa tidur dapat membatalkan wudhu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib (Tafsir Lubabut Ta’wil/2/100):
« الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ »
Mata adalah pengikat dubur. Barangsiapa yang tidur, hendaknya ia berwudhu (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadis di atas berbicara tentang perumpamaan mata bagi penyebab hadas berupa buang angin. Bahwa seseorang yang sedang terjaga akan mengerti bila ia buang angin, tapi apabila ia tidur, ia bisa jadi telah buang angin tanpa merasakannya. Maka orang yang tidur diharuskan berwudhu sebab bisa jadi saat tidur ia telah buang angin (‘Aunul Ma’bud/1/231).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, ulama’ telah sepakat bahwa hilangnya kesadaran dapat membatalkan wudhu. Hanya saja, dalam permasalahan tidur, ulama’ berbeda pendapat apakah tidur mengharuskan wudhu sebab tidur adalah penyebab hadas, atau sekadar membuka kemungkinan munculnya hadas dalam keadaan tidak dimengerti? (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/208).
Bila tidur adalah penyebab hadas, maka setiap keadaan yang dikategorikan tidur dapat membatalkan wudhu. Bila tidur hanya sekedar membuka kemungkinan munculnya hadas tanpa dimengerti seperti buang angin, maka apabila kita tidur dengan posisi yang tidak memungkinkan buang angin keluar, atau membuat kita sadar apabila tiba-tiba keluar buang angin, tentunya tidur tersebut tidak membatalkan wudhu. Misalnya tidur dengan posisi duduk tegak sehingga dubur benar-benar tertutup rapat, atau tidur dengan posisi berdiri maupun ruku’ (Ahkamul Qur’an Lil Jashshash/5/292).
Perdebatan posisi tidur dalam hal membatalkan wudhu memunculkan bermacam-macam pendapat tentang seperti apakah posisi tidur yang membatalkan wudhu. Agar nantinya tidak menimbulkan kebingungan bagi pembaca, kami hanya akan menyebutkan kesimpulan pendapat tersebut secara global atau yang dianggap paling unggul oleh ulama’ ahli perbandingan mazhab.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu
Kesimpulan Pendapat Empat Mazhab
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili telah memetakan pendapat mazhab empat mengenai hal ini. Mazhab Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah yang posisi tidurnya tidak menempelkan pantat ke tempat duduk. Sedang Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur berat, yakni tidur yang membuat pelakunya tidak lagi menyadari suara-suara di sekitarnya (Al-Fiqul Al-Islami/1/426).
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa dalam Mazhab Syafi’i sendiri ada lima pendapat. Dan pendapat yang menurutnya paling unggul adalah yang menyatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah yang tidak menetapkan pantatnya ke tempat duduk (Al-Majmu’/2/15).
Kesimpulan dari berbagai penjelasan di atas adalah tidur termasuk membatalkan wudhu. Hanya saja beberapa ulama’ menjelaskan ada posisi tidur yang membatalkan wudhu. Menurut Mazhab Syafi’i sendiri, posisi tidur yang tidak membatalkan wudhu adalah yang menetapkan pantat ke tempat duduk, sehingga menutup kemungkinan terjadinya buang angin ketika tidak sadarkan diri. Untuk perincian pendapat ini serta dasar-dasar yang dipakai akan penulis paparkan di artikel selanjutnya. Wallahu a’lam bish shawab.
Baca juga: Tafsir Surah an-Nisa’ Ayat 43: Menguak Makna Lamastum dalam Ulama Mazhab