Para ulama menyatakan bahwa hukum orang yang mengalami nifas sama dengan orang yang mengalami haid dalam hal keharaman untuk melaksanakan ibadah tertentu seperti salat dan puasa. Dasar keharaman salat dan puasa bagi orang yang haid adalah keterangan Alquran dan hadis yang cukup banyak ditemui. Lalu bagaimana bagi orang nifas? Apa dasar para ulama menyatakan salat dan puasa diharamkan bagi orang yang nifas seperti halnya haid? Apa alasan ulama menyamakan hukum nifas dengan haid?
Baca juga: Tafsir Ahkam: Ketahuilah, Apa Makna Junub Di dalam Al-Qur’an
Darah nifas sama dengan darah haid
Apabila dilacak dasar hukum kewajiban mandi ketentuan lain bagi orang nifas dalam literatur para ulama, maka akan didapati bahwa dasar hukumnya sama dengan dasar hukum kewajiban mandi bagi orang yang haid. Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir misalnya, menjelaskan bahwa dasar hukum kewajiban mandi bagi orang nifas adalah firman Allah (Tafsir Munir/6/108):
وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ
“Dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222)
Selain bertendensi pada ayat di atas, ulama juga telah sepakat bahwa nifas sama dengan haid. Kewajiban serta larangan yang berlaku bagi orang yang haid, juga berlaku bagi orang yang nifas. Lalu sebenarnya apa yang menyebabkan ulama menyamakan hukum tersebut?
Berdasar keterangan beberapa ulama, alasan penyamaan hukum nifas dan haid meski keduanya memiliki karakter yang berbeda, adalah karena sebenarnya darah nifas adalah darah haid, sehingga keduanya adalah jenis darah yang sama.
Baca juga: Perempuan Menstruasi Wajib Qada Puasa, Bukan Salat
Imam al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab menyatakan bahwa kewajiban dan larangan yang dikenakan pada orang yang haid juga dikenakan pada orang yang nifas. Hal ini disebabkan oleh kesamaan dua darah tersebut. Darah nifas adalah darah haid yang tertimbun dan tertahan untuk keluar sebab terjadi kehamilan. (al-Muhadzdzab/1/83)
Imam Ibn Hazm dari kalangan Mazhab Dzahiri menyatakan, nifas sejatinya adalah benar-benar darah haid. Sebab itu, hukum yang dikenakan pada orang yang haid juga dikenakan pada orang yang nifas. (al-Muhalla/1/776)
Beberapa ulama menyatakan, di masa-masa awal Islam, kadang kata haid juga diperuntukan bagi orang yang nifas atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua darah tersebut sejatinya adalah jenis darah yang sama. Imam al-Bukhari misalnya, menuliskan satu bab khusus dalam Sahih Bukhari dengan judul “orang yang menyebut nifas sebagai haid”. Dalam bab itu, beliau meriwayatkan hadis dari Ummi Salamah:
قَالَتْ بَيْنَا أَنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – مُضْطَجِعَةً فِى خَمِيصَةٍ إِذْ حِضْتُ ، فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حِيضَتِى قَالَ « أَنُفِسْتِ » . قُلْتُ نَعَمْ . فَدَعَانِى فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِى الْخَمِيلَةِ
“Ummi Salamah berkata: “Saat aku berbaring bersama Nabi dengan memakai Khamishah (sejenis pakaian), tiba-tiba aku mengalami haid. Lalu aku pergi ke tempat yang agak tertutup dan mengambil baju haidku. Nabi berkata: ‘Apa engkau mengalami nifas?’ aku menjawab: ‘Ya’” (HR. Bukhari)
Ibn Hajar menyatakan, lewat hadis ini kemudian beberapa ulama menyatakan bahwa hukum haid dan nifas adalah sama. (Fath al-Bari/1/469)
Kesimpulan
Dari berbagai keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan, alasan ulama menyamakan hukum nifas dan haid adalah karena sejatinya keduanya adalah darah yang sama. Kalau keduanya sama, mengapa secara bahasa dibedakan? Hal ini mungkin karena dua darah tersebut keluar pada waktu yang berbeda. Gramatikal arab kemudian memunculkan dua kosa kata yang berbeda untuk mengakomodir perbedaan tersebut, lalu muncul anggapan bahwa darah nifas dan haid adalah dua jenis darah yang berbeda.
Meski begitu, penyamaan hukum dua darah tersebut janganlah dianggap secara mutlak. Sebab dalam beberapa kasus, darah nifas memiliki dampak hukum yang tidak sama dengan darah haid, seperti dalam permasalahan tanda-tanda baligh. Wallahu a’lam.