Ketika Alquran mengisahkan tentang Nabi Isa a.s., ada bagian dalam kisah tersebut yang menyebutkan redaksi doa yang diucapkan oleh Nabi Isa a.s. Bagian ini ada dalam rangkaian kisah Nabi Isa di surah Al-Maidah ayat 112 hingga 118. Dalam tujuh ayat itu, spesifik lafad doa Nabi Isa terdapat di ayat ke 114.
Tujuh ayat tersebut mengisahkan tentang perkataan pengikut Nabi Isa yang menanyakan kesediaan Allah untuk menurunkan hidangan dari langit agar mereka bisa menikmatinya dan memantapkan keimanannya. Menanggapi permintaan kaumnya, Nabi Isa menasihati mereka untuk senantiasa bertakwa dan tidak meminta sesuatu yang ‘aneh’.
Ketika itu, Nabi Isa a.s. berdoa,
قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Isa putra Maryam berdoa, “Ya Allah Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu. Berilah kami rezeki. Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 114)
Baca Juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran
Para mufasir memberi penekanan yang berbeda-beda mengenai doa ini. Al-Tabari misalnya, ketika menafsirkan ayat doa Nabi Isa ini, beliau lebih menitikberatkan pada bahasan tentang jenis makanan yang diturunkan dari langit dan sedikit menyinggung tentang ‘id (hari raya) yang disinggung dalam ayat. Banyak riwayat tentang jenis makanan yang dikutip oleh mufasir klasik tersebut. Makanan yang diturunkan itu antara lain berupa daging, roti, buah-buahan dan lainnya.
Hampir sama dengan seniornya, Al-Qurtubi juga juga menyinggung tentang jenis makanan yang dimaksud dalam ayat ketika menafsirkan doa Nabi Isa tersebut, meskipun demikian, bahasan tentang ‘id (hari raya) dalam penafsiran Al-Qurtubi mempunyai porsi yang lebih banyak. Dalam penafsirannya, dijelaskan bahwa ‘id itu menunjukkan waktu makanan tersebut diturunkan, yaitu pada hari ahad pagi dan siang. Selain hari ahad, Al-Qurtubi juga mengutip pendapat yang mengatakan bahwa ‘id yang dimaksud dalam ayat ini adalah idul fitri dan idul adha, karena dua momen ini adalah dua waktu yang biasa dirayakan oleh orang-orang di rumah.
Sementara itu, penekanan penafsiran yang berbeda ditunjukkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid. Mufasir asal Indonesia ini memahami ayat doa Nabi Isa itu setidaknya mengandung tiga informasi. Pertama, gambaran sikap pengikut Nabi Isa yang ‘tidak wajar’ dan ‘lancang’. Kedua, ayat tersebut memuat informasi tentang salah satu mu’jizat Nabi Isa. Ketiga, keadaan Nabi Isa ketika berdoa
Beliau menarasikan bahwa ketika Nabi Isa menganggap bahwa permintaan pengikutnya itu bertujuan baik, yakni agar mereka lebih mantap keimanannya, kemudian Nabi Isa berdiri, bersuci dan alat dua rakaat, setelah itu beliau menundukkan kepala dan pandangannya seraya melafalkan doa tersebut. Tidak lama setelah itu, turunlah berbagai macam makanan kepada beliau yang disaksikan oleh para pengikutnya. Diceritakan bahwa sepanjang makanan dari lagit itu turun, Nabi Isa terus berdoa (dengan doa lain), berwudu, salat dan menangis. Penafsiran lengkapnya bisa langsung dibaca di Tafsir Marah Labid.
Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit
Mufasir lain yang juga memahami keadaan Nabi Isa ketika berdoa adalah M. Quraish Shihab, namun beliau menjadikan redaksi ayat sebagai pertimbangan analisanya. Menurut penulis Tafsir Al-Misbah ini, redaksi ayat doa Nabi Isa menunjukkan empat hal penting.
Pertama, terbaca dari redaksi awal doa, allahumma rabbana (menggabungkan dua bentuk ungkapan permohonan yang tidak pernah terbaca dalam redaksi doa Nabi-Nabi yang lain). Ini menunjukkan betapa Nabi Isa ingin meluruskan redaksi permintaan pengikutnya yang terkesan ‘lancang’. Di saat yang sama, ungkapan awal doa Nabi Isa ini menunjukkan ekspresi pengagungan terhadap Allah, Zat yang diminta serta merendahkan dirinya sebagai peminta.
Kedua, Nabi Isa memulai doanya dengan menyebut tujuan-tujuan keagamaan dan spiritual, baru kemudian menyebut hal-hal yang bersifat materi, yakni makanan dan hal yang lebih umum dan lebih sopan, yakni rezeki. Ketiga, tidak berhenti di penyebutan rezeki, tetapi melanjutkan dengan mengingat dan memuji Allah sebagai pemberi rezeki yang terbaik.
Keempat, dari redaksi ayat doa itu, terbaca bahwa Nabi Isa tidak hanya menyebut pengikutnya, tapi juga menyebut kebaikan bagi umat terdahulu dan umat yang akan datang, agar permohonannya menjadi kebaikan yang terus berkesinambungan, serta kiranya dapat menjadi bukti kebenaran dan kuasaNya.
Baca Juga: Inilah Empat Makna Doa Nabi Ibrahim Kepada Allah SWT
Penekanan penafsiran yang beragam dari beberapa mufasir tersebut bisa dimaklumi, karena mereka memahaminya dari sisi yang berbeda. Al-Tabari dan Al-Qurtubi membaca ayat 114 surah Al-Maidah itu sebagai ayat yang menginformasikan suatu tradisi yang terjadi pada masa Nabi Isa dan kaumnya. Demikian juga dengan penafsiran Al-Bantani, meski di dalam penafsirannya juga didapati penjelasan tentang kondisi dan keadaan Nabi Isa lebih detail.
Sementara itu, M. Quraish Shihab dalam bukunya, Doa dalam Al-Quran dan Sunnah memahami ayat ini lebih cenderung sebagai tuntunan dan adab ketika berdoa sesuai dengan gaya redaksi ayatnya. Namun hal ini belum tentu sama dengan penjelasannya dalam Tafsir Al-Misbah.
Terlepas dari beragam penafsiran, satu hal yang secara tidak langsung disuratkan oleh beberapa mufasir adalah ayat-ayat doa dalam Alquran, terutama ayat-ayat doa para Nabi tidak hanya menginformasikan tentang materi permohonan mereka saja, tetapi lebih luas dan filosofis lagi, yaitu mengandung informasi tentang ajaran para Nabi, interaksi seorang Nabi dengan kaumnya, dan tentu adab dan tuntunan cara berdoa. Wallahu a’lam.