BerandaKhazanah Al-QuranEtika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)

Etika Membaca Alquran Menurut Abdullah Al-Haddad (Bagian I)

Imam Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad merupakan seorang wali Allah dan ulama’ dalam bidang fikih dan akidah berkebangsaan Yaman.  Beliau lahir di Tarim, pada tanggal 5 Safar 1044 H.

Tingkat kewalian Al-Imam Al-Haddad telah mencapai tingkatan Quthbul Ghauts (tingkat wali tertinggi), yang beliau pikul selama ± 60 tahun. Derajat ini beliau dapatkan karena kegigihan, keistikamahan, dan kebersihan hatinya. Karangan-karangan beliau juga cukup banyak dan bertebaran di pelosok nusantara, salah satunya yang sering dijadikan wiridan dan amalan sehari-hari yakni “Ratibul Haddad”.

Selain itu, beliau juga banyak menuangkan petuah-petuahnya dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat ke dalam bentuk kitab, salah satunya yakni An-Nasha`ih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah beberapa nasihat agama dan wasiat iman”.

Dalam kitab ini terdapat penjelasan tentang perkara-perkara yang wajib diketahui, semisal tentang akidah, hukum, hingga akhlak seorang Muslim. Untuk pembagian yang terakhir, beliau membahas etika yang seharusnya dipakai ketika mengerjakan sebuah pekerjaan. Salah satu yang ditekankan oleh beliau adalah etika membaca Alquran.

Baca Juga: Belajar Membaca Alquran; Dulu dan Sekarang

  • Anjuran Pentingnya Membaca Alquran

Sebelum masuk ke pembahasan terkait etika terhadap Alquran, Abdullah Al-Haddad merangsang umat Islam agar bisa mengerti terkait pentingnya membaca Alquran. Beliau menegaskan bahwa  membaca Alquran merupakan ibadah yang paling utama, bentuk pendekatan diri pada Tuhan yang paling agung, serta sebuah ketaatan yang tidak terhingga.

Untuk menguatkan argumennya, beliau mengutip banyak dalil, mulai dari ayat Alquran seperti surah Fathir [35] ayat 29 dan beberapa hadis seperti berikut.

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

 “Ibadah yang paling utama dilakukan oleh umatku adalah membaca Alquran” (H.R. al-Baihaqi)


عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (H.R. At-Tirmidzi).

Baca Juga: Tradisi Membaca Ayat Alquran secara Berulang-ulang

  • Dua Hal Yang Harus Di Perhatikan Ketika Membaca Alquran

Imam al-Haddad melanjutkan karangannya dengan menjelaskan tentang etika-etika dan adab yang perlu diperhatikan seorang Muslim tatkala membaca Alquran. Hal ini beliau bagi menjadi dua bagian. Dua bagian inilah yang akan diulas secara komprehensif.

Pertama, Meluruskan Niat.

Etika membaca Alquran yang pertama yaitu meluruskan niat. Menurut ulama asal Tarim ini, meluruskan niat adalah yang paling harus diperhatikan sejak awal. Niat yang dianjurkan tiada lain yaitu mengharap keridaan dan rahmat Tuhan, mendekatkan diri pada-Nya, atau mendapatkan keagungan pahala membaca Alquran.

Dengan kata lain, seseorang harus ikhlas ketika membaca  Alquran, tanpa ada embel-embel semisal mengharap mendapat pujian manusia, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya yang malah menghilangkan kesakralan dari membaca Alquran.

Jiwa orang yang sedang membaca Alquran juga harus menyatu dengan kalam-Nya saat membaca Alquran sehingga disebut sebagai orang yang khusyuk. Caranya, yakni dengan menetralkan hati serta pikiran dari urusan-urusan duniawi dan fokus pada ayat Alquran yang sedang dibaca. Saking pentingnya khusyuk, sampai-sampai seseorang diperintahkan pada tingkatan seolah-olah ia sedang duduk di hadapan Tuhannya. Dan menurut Abdullah Al-Haddad, hal tersebut tidaklah sulit untuk diwujudkan, memandang manusia memiliki akal yang dapat digunakan untuk bernalar, sebagaimana sindiran dalam ayat Al-Hasyr [59] ayat 21,

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِۗ وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ ۝

“Seandainya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir (hal. 79), Imam Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “seandainya Allah menurunkan Alquran pada sebuah gunung lalu gunung tersebut memikulnya, maka niscaya akan retak dan hancur karena berat dan takutnya kepada Allah. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia ketika Alquran diturunkan padanya, untuk khusyuk ketika membaca atau mengamalkan dengan menggunakan nalar, rasa, dan nuraninya dalam memahami Alquran.”

Artinya, gunung saja yang tercipta dari benda-benda kasar dan padat akan tunduk dan khusuk ketika dibacakan Alquran padanya, apalagi manusia yang hanya tercipta dari air dan lumpur tidak bisa sungguh-sungguh menjiwai dalam membaca Alquran?

Baca Juga: Perintah dan Keutamaan Membaca dalam Alquran

Selain itu, dalam kitab Nasihat Agama dan Wasiat Iman ini juga dijelaskan bahwa Allah memberikan karakteristik bagi mereka yang syahdu, khusyuk, serta merendahkan hati dengan petunjuk yang terdapat dalam surah Az-Zumar ayat 23:

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْۚ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهْدِيْ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ هَادٍ ۝

Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik, (yaitu) Kitab (Alquran) yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Oleh karena itu, kulit orang yang takut kepada Tuhannya gemetar. Kemudian, kulit dan hati mereka menjadi lunak ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah tidak ada yang dapat memberi petunjuk.

Penting untuk diketahui bahwa khusyuk merupakan perbuatan hati yang sulit untuk dapat diketahui secara kasat mata. Sehingga ayat di atas secara eksplisit ingin merepresentasikan ciri-ciri jiwa orang yang khusyuk, yakni mereka yang kulit dan hatinya gemetar sehingga menjadi lunak ketika mengingat Allah. Hal ini dapat terjadi kepada orang-orang yang membaca Alquran denngan niat yang ikhla dan lurus hanya untuk rida Allah.

Meskipun demikian, ternyata etika membaca Alquran yang pertama ini benar-benar harus diusahakan, tidak bisa datang begitu saja, karena Abdullah Al-Haddad dalam karyanya ini menganjurkan siapa pun untuk memohon kepada Allah agar dianugerahi sebagai orang yang khusyuk dalam melakukan semua ritual ibadah (termasuk membaca Alquran), karena Allah memberikan sifat khusyuk hanya pada mereka yang menjadi pilihan-Nya. Bersambung ke bagian II. Wallahu a’lam

Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah
Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Kisah Tubba’ dan Kaumnya (Bagian 1)

0
Salah satu kisah kaum terdahulu yang disebutkan dalam Alquran adalah kisah kaum Tubba’, sebagaimana dalam surah Addukhan ayat 37 dan surah Qaf ayat 14....