BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanFakta Keberagaman Sosial dalam Surah An-Nahl Ayat 93

Fakta Keberagaman Sosial dalam Surah An-Nahl Ayat 93

Berbicara tentang Indonesia-apalagi soal seluruh dunia-sudah pasti tidak lepas dari segala keberagaman sosial di dalamnya. Keberagaman sosial sendiri dapat dipahami sebagai heterogenitas dalam suatu masyarakat yang meliputi setiap perbedaan di dalamnya seperti suku, ras, agama, dan sebagainya. Hanya saja, kerap kali keberagaman dalam hal ini justru sering kali menimbulkan beberapa pendapat yang bersifat pro-kontra di antara manusia.

Persoalan di atas kemudian berimplikasi pada sebuah pertanyaan yang tak jarang dipikirkan oleh sebagian orang; kenapa Tuhan tidak menciptakan manusia menjadi satu umat saja? Guna menjawab pertanyaan tersebut kiranya dapat ditadaburi bersama melalui salah satu firman Allah Swt. dalam surah An-Nahl ayat 93.

وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ يُّضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَلَتُسْـَٔلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Seandainya Allah berkehendak, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kamu pasti akan ditanya tentang apa yang kamu kerjakan.”

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 93

Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya memberikan penjelasan ringkas berkaitan dengan ayat di atas bahwa sebenarnya Allah Swt. mampu untuk menjadikan manusia seragam layaknya satu umat, satu keyakinan, bahkan tidak ada perpecahan dan perdebatan sama sekali di dalamnya. Namun, nyatanya Allah sendiri yang memang menciptakan manusia menjadi beranekaragam dalam hal agama, sehingga di hari kiamat kelak Allah dapat memberikan balasan sesuai dengan kadar ketaatan dan kedurhakaan manusia selama hidupnya (Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 14, hal. 347-348).

Ibn Kathir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Jilid 4, hal. 600) juga menjelaskan jika Allah memang memiliki kuasa untuk menjadikan manusia umat (bangsa) yang satu; tidak ada perbedaan, kebencian, dan permusuhan. Selain itu, menurut Ibn Kathir ayat ini memiliki substansi yang sama dengan surah Yunus [10]: 99 dan surah Hud [11]: 118-119.

Baca juga: Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Penjelasan di atas tampak seiras sebagaimana dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Jubair melalui jalur Abi Hatim yang dikutip oleh al-Suyuti dalam tafsirnya. Riwayat tersebut berisi penafsiran ayat 92-96 yang secara garis besar mengandung perintah agar umat Islam tidak menjadikan janji dan sumpah sebagai alat untuk memecah belah umat (al-Dur al-Manthur fi Tafsir bi al-Ma’thur, Jilid 5, hal. 123-124).

Dengan kata lain, ayat 93 dalam surah An-Nahl juga masih berkaitan dengan perintah bagi umat Islam untuk senantiasa menghargai suatu perjanjian yang telah disepakati meskipun dengan pihak yang berlainan akidah dan keyakinan. Dalam konteks keberagaman sosial tentunya hal ini perlu diterapkan secara bijak agar kebaikan dapat diraih dan keburukan pun dapat dihindari.

Fakta Keberagaman Sosial sebagai Kehendak Allah

Ayat di atas rasanya memiliki keterkaitan dengan perkara fakta keberagaman sosial sebagai sesuatu yang memang dikehendaki oleh Allah Swt. sebagaimana pendapat dari Muhammad Asad (The Message of The Quran, hal. 563-564). Menurut Asad, makna “ummatan wahidatan” atau “umat yang satu” diartikan sebagai suatu hubungan terikat antara seluruh manusia berdasarkan nilai-nilai moral yang disepakati bersama.

Asad juga mengaitkan surah An-Nahl ayat 93 dengan surah Yunus [10]: 16 dan surah Al-Baqarah [2]: 213. Dalam kaitan tersebut, pada awalnya umat manusia masih menjadi satu umat yang sama, tetapi seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan membuat umat yang tadinya satu menjadi kian beranekaragam. Namun, hal ini sejatinya memanglah kehendak dari Allah sendiri agar manusia dapat terus mengembangkan intelektual, moral, dan sosial seiring dengan berjalannya zaman.

Baca juga: Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

Quraish Shihab pun juga memberikan pendapatnya tentang hal ini. Menurutnya, apabila manusia diciptakan oleh Allah tanpa ada perbedaan sedikit pun, menyebabkan mereka hanya akan seperti binatang yang tidak mampu berkreasi baik untuk dirinya maupun lingkungannya. Oleh sebab itu, Allah sengaja ciptakan perbedaan dalam  kehidupan manusia agar mereka dapat saling berlomba-lomba dalam kebaikan menggunakan kreatifitas dan potensinya demi menjalankan tugasnya sebagai seorang khalifah (Tafsir Al-Mishbah, Jilid 7, hal. 335-336).

Kendati manusia diberi keistimewan berupa akal untuk dapat memilih dan memilah setiap perbuatan yang akan dilakukan oleh mereka tentu ada konsekuensi di dalamnya. Keberagaman sosial yang disebabkan oleh beranekaragamnya manusia membuat mereka juga memiliki tanggung jawab atas segala perbuatannya sendiri. Maka, akhir ayat di atas dapat memberikan gambaran tentang segala pilihan manusia yang nantinya akan mendapat balasan dari Allah Swt. sesuai dengan kadarnya; mendapat kebahagiaan abadi atau azab yang pedih.

Baca juga: Makna Keberagaman dalam Sudut Pandang Mufasir Nusantara

Dengan demikian, keberagaman sosial hendaknya tidak dipahami sebagai alasan untuk menciptakan permusuhan, melainkan diyakini sebagai suatu keniscayaan dari kehendak Tuhan. Pemahaman seperti ini dirasa akan relevan bagi umat Islam di Indonesia yang sudah jelas keberagamannya. Adanya Pancasila dan semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika” diharapkan dapat dipegang bersama sebagai sebuah janji/kesepakatan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan di antara sesama.

Adi Swandana E. P.
Adi Swandana E. P.
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...