Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Tabi’in (2)

kajian tafsir di kawasan Yaman
kajian tafsir di kawasan Yaman

Secara umum, Mahmud al-Nuqrasyi dalam karyanya Manahij al-Mufassirin min al-’Ashr al-Awwal ila al-’Ashr al-Hadits menjelaskan bahwa kajian tafsir pada masa tabi’in ini masih berpegang erat pada riwayat-riwayat hadis Nabi dan atsar para sahabat. Para tabi’in umumnya hanya menjelaskan dan menafsirkan apa-apa yang belum ditafsirkan oleh para sahabat, ataupun hal-hal yang perlu ada penjelasan lebih dalam dari hasil kajian para sahabat Nabi sebelumnya.

Dari segi kawasan, kajian tafsir masa tabi’in berkembang dan berpusat di tiga kawasan, yaitu madrasah Makkah pimpinan Abdullah ibn Abbas, madrasah Madinah dipimpin oleh Ubay ibn Ka’ab, dan madrasah Kufah yang dikembangkan oleh Abdullah ibn Mas’ud. Banyak para tabi’in dari berbagai kawasan jazirah Arab, khususnya dari Yaman, yang belajar di tiga madrasah tersebut. Sekembalinya ke Yaman, para tabi’in tersebut kemudian mengembangkan kajian tafsir di kawasan Yaman dengan mengajarkanya kepada murid-muridnya.

Baca Juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Dalam kitab al-Tafsir fi al-Yaman: ‘Ardlun wa Dirasah karya Ali ibn Hassan, dijelaskan bahwa terdapat beberapa nama tabi’in yang menjadi pionir dalam perkembagan kajian tafsir di kawasan Yaman. Nama-nama tersebut antara lain adalah:

Thawus ibn Kaisan al-Hamdani

Nama asli dari Thawus adalah Dzakwan ibn Kaisan al-Hamdani. Sedangkan nama Thawus merupakan nama laqab-nya, dan ia lebih dikenal dengan laqab tersebut. Tidak diketahui secara pasti mengenai tanggal kelahiran Thawus. Namun, menurut Ibrahim Thaha dalam tesisnya yang berjudul Fiqh Thawus ibn Kaisan Dirasah wa Ta’shil, dijelaskan bahwa ia diperkirakan lahir pada tahun 26 H atau setelahnya. Dalam pendapat lain, al-Dzahabi menyampaikan bahwa ia dilahirkan pada masa kekhilafahan Utsman ibn Affan. Selain itu, ada juga qaul yang mengatakan jika ia dilahirkan pada tahun 33 H.

Thawus telah melakukan talaqqi kepada banyak sahabat Nabi, terutama para sahabat yang dikenal sebagai mu’allim al-qur’an. Kurang lebih terdapat 50 nama sahabat yang telah ia dengar ilmu-ilmu dan kalam-kalamnya. Bahkan, dalam pendapat lain disebutkan bahwa ia berguru kepada 70 sahabat Nabi, diantaranya adalah Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Aisyah, Jabir ibn Abdillah, Zaid ibn Arqam, dan masih banyak lainya.

Dari banyaknya guru tersebut, salah satu guru yang paling mempengaruhi perjalanan intelektualitas Thawus adalah seorang pakar Al-Qur’an pada masa awal Islam yaitu Abdullah ibn Abbas atau yang lebih sering dikenal sebagai turjuman al-qur’an. Selain sibuk menimbah ilmu, ketika mencapai kematangan intelektual, Thawus juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang ia peroleh dari para gurunya.

Beberapa nama dari murid-murid Thawus yaitu Abdullah ibn Thawus, Umar ibn Dinar al-Shan’ani, Umar ibn Muslim al-Janadi, Nu’man ibn Abi Syaibah Abid al-Shan’ani, Ibrahim ibn Abi Bakr al-Akhnas, dan Usamah ibn Zaid al-Laitsi. Thawus wafat pada tahun 106 H sebelum hari tarwiyah di Makkah, pada saat itu usianya telah mencapai 90 tahun.

Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

Wahab ibn Munabbih al-Yamani

Tabi’in yang memiliki kunyah (nama panggilan) Abu Abdillah ini dilahirkan pada masa kekhilafahan Utsman ibn Affan, tepatnya pada tahun 34 H. Wahab ibn Munabbih masih sempat bertemu dan belajar kepada para pembesar sahabat Nabi, semisal Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Anas ibn Malik, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Nu’man ibn Basyir.

Wahab ibn Munabbih ini termasuk tabi’in yang banyak meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat yang juga menjadi rujukan para mufasir dalam menjelaskan kisah isra’iliyat dalam karya-karya tafsir mereka. Hal ini dikarenakan intensitas literasinya terhadap kitab-kitab samawi terdahulu yang sangat banyak, sebagaimana ucapanya sendiri dalam kutipan berikut:

لَقَدْ قَرَأْتُ اِثْنَيْنِ وَتِسْعِيْنَ كِتَابًا كُلُّهَا نَزَلَتْ فِيْ السَّمَاءِ، اِثْنَانِ وَسَبْعُوْنَ مِنْهَا فِيْ الْكَنَائِسِ، وَعِشْرُوْنَ فِيْ أَيْدِ النَّاسِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا الْقَلِيْلُ

“Sungguh aku telah membaca sebanyak 92 kitab yang setiap kitab tersebut turun dari langit (kutub samawiyah). Sebanyak 72 kitab berasal dari gereja, dan 20 kitab sisanya berada di tangan beberapa orang yang tidak ada yang tahu akan keberadaan kitab tersebut kecuali segelintir orang saja”

Selama hidupnya, Wahab ibn Munabbih menulis beberapa karangan kitab, seperti al-Tijan fi Muluk Himyar, al-Isra’iliyat, dan kitab Qashash al-Anbiya’ yang masih dalam bentuk manuskrip dengan kode no. 1249 B yang mana tersimpan di Perpustakaan Iskandariyah. Dalam segi kajian tafsir, Wahab ibn Munabbih berkontribusi dalam memberikan riwayat-riwayat tentang isra’iliyat. Wahab ibn Munabbih wafat pada tahun 110 H. Jasadnya dikebumikan di pemakaman bagian selatan dari kota San’a.

Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

Ka’ab al-Ahbar al-Himyari

Tabi’in yang memiliki nama lengkap Ka’ab ibn Mati’ ibn Dzi Hajn al-Himyari ini merupakan seorang yang dahulunya menjadi pembesar ulama Yahudi di Yaman. Hingga akhirnya kemudian masuk Islam pada masa kekhilafahan Abu Bakar al-Shiddiq. Kemudian, pada masa kekhilafahan Umar ibn al-Khattab, ia menetap di Madinah dan menimbah ilmu kepada para sahabat Nabi seperti Umar ibn al-Khattab, Aisyah, Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Abbas.

Keseriusanya dalam mencari ilmu kepada para sahabat Nabi tersebut menyebabkan ia dijuluki sebagai Ka’ab al-Ahbar. Tidak diketahui secara pasti apakah selama hidupnya Ka’ab al-Ahbar juga memiliki karangan kitab sebagaimana Wahab ibn Munabbih. Namun, yang pasti Ka’ab al-Ahbar ini juga ikut berkontribusi terhadap kajian isra’iliyat dalam penafsiran Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ia memiliki beberapa pengetahuan tentang kitab-kitab samawi sebelumnya, ketika masih beragama Yahudi.

Selain tiga nama tabi’in yang telah disebutkan tersebut, masih banyak tabi’in lain yang juga berkontribusi dalam perkembangan kajian tafsir di kawasan Yaman. Misalnya, ada Hujr ibn Qais al-Hamdani, Abu Khalifah al-Qari’, Umar ibn Maimun al-Audi, Abu Muslim al-Khaulani, Abu al-Asy’ats al-Shan’ani, Hansy ibn Abdillah, dan al-Mughirah ibn Hakim al-Shan’ani.

Pada periode kedua ini, Ali ibn Hassan menilai bahwa kajian tafsir di kawasan Yaman tidak semeriah kajian tafsir di kawasan Islam lainya, semisal kawasan Hijaz, Syam, dan Irak. Hal ini terjadi akibat dari beberapa sebab, yaitu: pertama, banyak dari para tabi’in asal Yaman yang keluar ke kawasan-kawasan Islam lainya guna belajar dan kemudian menetap disana untuk mengembangkan keilmuanya di tempat tersebut.

Kedua, karena para tabi’in Yaman banyak disibukkan dengan perang, jihad, dan futuhat di beberapa kawasan jazirah Arab. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat perintah yang ditulis oleh Abu Bakar al-Shiddiq kepada masyarakat Yaman agar ikut berperang melawan pasukan Romawi di Syam.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada masa periode kedua ini, kajian tafsir di kawasan Yaman sudah mulai berkembang, namun tidak sepesat perkembangan di tiga kawasan madrasah tafsir yang masyhur tersebut. Walaupun demikian, kawasan Yaman turut serta dalam mengembangkan kajian tafsir masa tabi’in dengan munculnya riwayat-riwayat isra’iliyat dari para tabi’in Yaman yang digunakan sebagai salah satu sumber penafsiran Al-Qur’an masa tabi’in, bahkan hingga saat ini. Wallahu A’lam