Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat memudahkan orang-orang dalam berkomunikasi. Asal terhubung dengan jaringan internet, akses komunikasi lewat platform media sosial pun bisa dinikmati seakan tanpa batas.
Tentu selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yang ikut mengiringi fenomena ini, seperti maraknya hoax atau berita bohong. Hoax bisa timbul karena berbagai macam faktor, seperti kebencian, kurangnya informasi mengenai fakta yang sesungguhnya, atau bahkan sebagai alat adu domba demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Sering pula lewat platform grup media sosial seperti Whatsapp, Telegram, Instagram, dan lainnya kita disuguhkan informasi yang sepotong-sepotong. Ditambah lagi misalnya, minimnya keterangan hingga memancing kecurigaan sampai saling tuduh, dan puncaknya adalah konflik sosial. Padahal bisa jadi informasi yang tersebar tidak benar dan itu mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Lantas bagaimana cara menangkal berita bohong atau hoax?
Mencari sumber informasi dan meminta klarifikasi
Al-Quran memberikan arahan kepada umat Islam agar tidak termakan kabar bohong, karena sebenarnya kabar bohong merupakan salah satu akar masalah dari timbulnya permusuhan. Kiat menghindari berita hoax sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 6;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Artinya: wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Baca juga: Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz (hal. 517) menjelaskan bahwa apabila orang beriman mendapati suatu berita penting dari orang-orang fasik maka jangan langsung diterima, namun hendaknya mencari informasi yang sebenarnya terjadi sebelum berita itu dapat mempengaruhi pikiran. Karena dikhawatirkan orang-orang yang beriman ikut terkena imbas buruk dari kabar bohong yang tersebar.
Ayat di atas turun berkaitan dengan Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith yang diutus Rasulullah saw kepada Bani Musthaliq sebagai orang kepercayaan beliau mengambil zakat hewan ternak. Saat mengetahui hal itu, mereka (orang-orang Bani Musthaliq) mendekati Uqbah, lalu dia merasa takut dengan mereka dan kembali. Uqbah lalu berkata: “Sesungguhnya kaum itu ingin membunuhku dan mencegah sedekah mereka.”
Mendengar hal itu, Rasulallah saw ingin menyerang mereka. Sebelum hal itu terjadi, datanglah utusan dari kaum itu dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah mendengar utusanmu. Kami hendak mendekatinya untuk memuliakannya dan mau melaksanakan apa yang dia (Uqbah) sampaikan, yaitu menunaikan sedekah (zakat).”
Dari penjelasan sebab turun ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa klarifikasi atas informasi yang simpang siur kejelasannya sangat dibutuhkan sebelum bertindak, bahkan Rasulullah saw ketika itu pun hampir saja mengambil keputusan yang salah akibat dari informasi yang keliru.
Dalam ayat yang lain (surah Al-Hajj ayat 30), Allah Swt menjelaskan larangan berkata dusta yang disandingkan dengan larangan menjauhi berhala-berhala;
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ ۗ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ ٱلْأَنْعَٰمُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَٰنِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ
Artinya: Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan apa saja yang terhormat di sisi Allah, maka hal itu adalah baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, kecuali yang telah (jelas) diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.
Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita
Menghindari menyebarkan berita yang belum jelas
Berita hoax merupakan ancaman serius bagi ketenteraman kehidupan sosial. Tak jarang akibat berita bohong yang beredar, timbulah konflik, pertikaian, dan permusuhan. Oleh karena itu, cara selanjutnya agar terhindar, bahkan memutus berita bohong adalah dengan tidak ikut menyebarkan berita yang belum jelas keasliannya.
Dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 15 Allah Swt berfirman:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Artinya: Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun. Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
Ayat di atas merupakan salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan menyebarkan berita bohong. Sebab turunnya ayat di atas juga tidak terlepas dari tuduhan yang keliru terhadap sayyidah Aisyah ra, hingga Allah Swt menurunkan surah An-Nur ayat 11-18 sebagai klarifikasi atas tuduhan tersebut.
Menurut Hamka, ayat ini mengandung informasi yang amat kaya untuk mengetahui apa yang dinamai “llmu Jiwa Masyarakat” atau “Mass Psychology“. Tukang provokasi yang menyebarkan kabar-kabar bohong di zaman perang dahulu dinamai “Radio Dengkul”. Tidak tentu dari mana pangkalnya dan apa ujungnya, kabar-kabar bohong itu disebarkan melalui lisan saja, sambut-menyambut dari lisan ke lisan. Kadang-kadang timbullah kebingungan dan kepanikan dari penyebaran tersebut.
Orang-orang yang hendak dirugikan dengan menyebarkan berita itu kadang-kadang tidak diberi kesempatan berpikir, sehingga dia sendiri pun kadang-kadang jadi ragu akan kebenaran pendiriannya. Orang-orang yang lemah jiwa, yang hidupnya tidak mempunyai pegangan mudah terjebak kepada provokasi yang demikian. Tetapi orang-orang yang masih sadar, karena teguh persandaraannya kepada Tuhan, hanya sebentar dapat dibingungkan oleh berita itu.
Di sini nampaklah kebesaran pribadi Aisyah. Dia yakin bahwa dia tidak salah, hingga akhirnya kemudian ayat tersebut turun membersihkan namanya dari tuduhan yang nista itu (Tafsir Al-Azhar, juz 18, hal. 906). Wallahu A’lam.
Baca juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits