BerandaTafsir TematikTafsir AhkamHukum Bank ASI (Air Susu Ibu) dalam Islam

Hukum Bank ASI (Air Susu Ibu) dalam Islam

ASI (Air Susu Ibu) merupakan salah satu hak anak yang harus dipenuhi orangtua dalam Islam. Perintah menyusui bayi hingga mencapai usia 2 tahun kepada sang ibu, berimplikasi pada kewajiban sang ayah memberikan nafkah dengan cara yang baik, makan dan pakaian kepada sang ibu. Kedua orang tua juga dapat menyepakati waktu penyapihan meskipun belum sampai masa 2 tahun. Bahkan Islam memberi peluang bagi keluarga yang memiliki hambatan-hambatan tertentu dalam memberi ASI langsung dari sang ibu kepada bayinya, untuk membayar penyusuan dari perempuan lain. Begitu penting kedudukan ASI dalam Islam sebagaimana firman Allah dalam surah Albaqarah ayat 233

Tidak semua ibu mampu memberikan ASI-nya pada anak mereka. Entah karena kondisi ibu atau karena kondisi anak yang harus dirawat di rumah sakit. Di Indonesia sudah bermunculan LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang mengumpulkan ASI dan menyalurkannya pada bayi-bayi yang membutuhkan, baik karena ibunya meninggal saat melahirkan maupun bayi-bayi yang tidak bisa mendapat ASI dari ibunya karena dalam kondisi sakit, lahir prematur atau mempunyai kelainan bawaan.

Di antara lembaga non-profit yang memberikan pelayanan gratis bagi resipien dan donor ASI adalah www.lactashare.id. Dengan konsep wakaf ASI dari donor, telah banyak anak-anak yang diselamatkan dengan bantuan ASI dari situs ini. Satu orang ibu donor bisa mendonor ASI-nya pada beberapa bayi sekaligus. Syarat yang harus dipenuhi oleh pendonor adalah sesuai dengan syarat yang harus dipenuhi mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Data donor maupun resipien diregistrasi dengan baik agar menjaga hubungan mahram antara ibu susu dan keluarganya dengan bayi yang disusui.

Bank ASI belum diterapkan di Indonesia, tidak seperti di negara-negara Barat. Pengelola situs lactashare.id saat ini mempromosikan dan menggalang dana untuk mewujudkan bank ASI pertama di Indonesia. Lantas, bagaimana hukum Bank ASI menurut Islam? Pertimbangan akan manfaat dan mudarat yang akan ditimbulkan oleh Bank ASI, menjadikan paraulama berbeda pandangan dalam menyikapi kemunculan Bank ASI.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Hukumnya Boleh

Di antara alasan ulama yang membolehkan adalah karena susuan yang menjadikan mahram adalah jika bayi menyusu langsung dari payudara ibu yang mempunyai ASI, layaknya menyusu pada ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, bayi hanya minum ASI yang sudah dikemas di botol sehingga tidak menjadi mahram. Terlebih lagi, ASI yang didapatkan oleh resipien, tidak selalu dari ibu donor yang sama, sehingga tidak mencukupi untuk dianggap sebagai ibu susu.

Hukumnya Haram

Alasan utama Ulama yang mengharamkan pendirian Bank ASI adalah karena akan menyebabkan tercampurnya nasab atau minimal ketidakjelasannya. Sepersusuan akan berdampak pada hubungan mahram, sebagaimana hadis dari ‘Aisyah r.a. Nabi bersabda:

الرَّضَاعَةُ تحرم ما تحرم الْوِلَادَةُ

“Persusuan itu menyebabkan terjadinya hubungan mahram, sama seperti mahram karena nasab.” (H.R. Bukhari, no. 2646, 5099 dan Muslim, no. 1444).

Menurut mayoritas ulama, susuan yang menyebabkan menjadi mahram adalah bila susu sampai ke perut bayi meskipun tanpa menyusui langsung dari sang ibu. Oleh karena itu, hal ini menjadi salah satu alasan Majma’ al Fiqh al Islami OKI (Organisasi Kerjasama Islam) dalam Muktamar yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 1-6 Rabi’u at Tsani 1406 H/ 22-28 Desember 1985 M memutuskan bahwa pendirian Bank ASI di negara-negara Islam tidak diperbolehkan. Bayi muslim tidak boleh mengambil ASI dari bank ASI.

Baca Juga: Relasi Kesalingan dalam Tafsir Ayat Qiwamah

Hukumnya boleh bersyarat

Terdapat paraulama yang membolehkan pendirian Bank ASI jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya:

  • Setiap ASI yang diterima harus diregistrasikan dengan rapi nama pemiliknya. ASI tersebut disimpan di tempat khusus yang terpisah dari ASI lain agar terjaga dari kemungkinan bertukar.
  • Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus diregistrasikan juga dengan baik dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas status mahramnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh paraulama yang melarang bisa dihindari.

Pendapat yang dipilih

Perbedaan pendapat ulama di atas, bermula dari perbedaan pendapat mengenai definisi radha’ itu sendiri. Menurut ulama al-Hanafiyah, ar-Radha’ adalah seorang bayi menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan ulama al-Malikiyah mengatakan bahwa ar-radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. Ulama As-Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Sedangkan ulama Al-Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.

Berarti dari definisi ini, hanya Hanabilah yang berpendapat bahwa penyusuan yang berimplikasi pada hubungan mahram adalah penyusuan langsung kepada sang ibu, sedangkan ulama mazhab lain tidak. Mayoritas ulama lebih fokus kepada masuknya ASI ke perut bayi yang menyebabkan ada hubungan mahram.

Pendapat mayoritas ulama ini didasari dari hadis Rasulullah

لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَ أَتْبَتَ اللَّحْمَ

“Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini terkait dengan kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) r.a. ketika Salim bin Ma’qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah beranjak dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim (karena anak angkat tetap bukan mahram bagi ibu angkatnya), maka Rasulullah saw. menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan bagi Sahlah ketika menyusui Salim yang sudah dewasa, karena batas umurnya adalah 2 tahun). Kemudian beliau bersabda,

أَرْضِعِيْهِ تَحْرِمِي عَلَيْه

“Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)”

Berdasarkan hadis ini jelas bahwa Salim r.a. tidak langsung menyusu dari payudara Sahlah karena saat itu dia bukan mahramnya, dan juga tidak layak karena dia sudah dewasa.

Baca Juga: Al-Quran Memuliakan Ibu, Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Ibu

Pertanyaan-pertanyaan lain

Mengenai sebanyak apa seorang bayi minum ASI dari seorang ibu donor sehingga berimplikasi pada mahram, ulama juga berbeda pendapat dalam menetapkan kadarnya. Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata:

“Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (H.R. Muslim)

Lalu kapan seorang bayi yang menyusu dan dianggap sebagai satu kali susuan? Yaitu jika dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya setelah kenyang menyusu. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi hanya berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja.

Untuk mengambil kesimpulan mengenai pendapat mana yang dipilih dalam hukum Bank ASI ini, tentu perlu dipertimbangan maslahat dan mafsadat dari pendirian Bank ASI di Indonesia. Di antara dampak positif Bank ASI yang ingin dicapai adalah memberikan fasilitas yang lebih luas dan mapan untuk bayi yang membutuhkan. Jika komunitas donor ASI berubah menjadi Bank ASI maka akan lebih banyak bayi yang sakit atau premature dapat dibantu, sehingga mengurangi resiko kematian pada bayi karena kurang asupan gizi. Juga memudahkan para ibu untuk memberikan gizi terbaik di awal usia anak meskipun sang ibu tidak bisa menyusui anaknya secara langsung.

Namun di sisi lain, terdapat beberapa dampak negatif yang tidak kalah banyaknya dengan keberadaan Bank ASI ini, yaitu sebagai berikut:

  1. Peluang tercampurnya nasab tetap ada meskipun donor dan resipien sudah teregestrasi dan tercatat lengkap. Faktor kesalahan manusia atau human error pasti ada, seperti tertukar atau salah catat atau salah kirim pada resipien dan sebagainya. Apalagi jika sesama resipien dari satu ibu donor tidak teliti dalam memantau siapa saja yang sepersusuan dengan bayinya.
  2. Bank ASI telah diujicobakan di masyarakat Barat, namun dengan segala kecanggihan teknologi tetap saja muncul beberapa hal negatif, baik dari sisi teknis maupun ilmiah dalam uji coba. Kuantitas resipien menjadi semakin mengecil dan fasilitas di Bank ASI kurang mendapatkan perhatian dari waktu ke waktu. Di Amerika terdapat 12 Bank ASI nirlaba yang tunduk di bawah aturan Human Milk Banking Association of North America.
  3. Pendirian Bank ASI memerlukan biaya yang sangat besar, terlalu berat ditanggung oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Meskipun ditangani oleh rumah sakit swasta akan tetapi biaya yang mahal tidak cukup untuk mendapatkan hasil demikian.
  4. Interaksi sosial di masyarakat Islam masih memungkinkan untuk mempersusukan anak kepada perempuan lain secara alami dengan benar-benar menjalin sistem kekeluargaan dengan donor ASI. Keadaan ini mengukuhkan tidak perlunya Bank ASI.
  5. ASI yang disimpan dalam Bank, berpotensi untuk terkena virus dan bakteri yang berbahaya, bahkan kualitas ASI bisa menurun drastis, sehingga berbagai keunggulan ASI yang disimpan ini semakin berkurang, jika dibandingkan dengan ASI yang dihisap bayi langsung.
  6. Ibu-ibu yang berada dalam taraf kemiskinan, dikawatirkan akan berlomba-lomba menjual ASI-nya kepada bank dengan harga tinggi. Lantas mereka mengabaikan pemberian ASI kepada anak sendiri. Sedangkan Ibu-ibu yang sibuk beraktivitas dan punya kelebihan harta, semakin malas menyusui langsung anak-anak mereka, karena dengan mudah bisa membelinya dari Bank ASI

Baca Juga: Al-Quran dan Problem Sosial Kemanusiaan Perspektif Cendekiawan Muslim Kontemporer

Berdasarkan dampak negatif yang cukup banyak dan lebih berat dibanding dampak positif yang diharapkan, maka berlakulah kaidah Fiqhiyah berikut,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِح

“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”

Oleh sebab itu, pendirian Bank ASI di Indonesia belum diperlukan bahkan masih dalam kategori dilarang, dengan alasan menolak mafsadah yang akan ditimbulkan oleh Bank ASI harus lebih didahulukan dibanding mengambil manfaat. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI masih bisa mengkonsumsi ASI dengan cara lain yaitu mencarikan ibu susu, baik dicarikan oleh keluarga atau dengan bantuan LSM sebagaimana yang telah berlangsung selama ini, baik bayi tersebut dapat menyusu langsung kepada ibu donornya ataupun hanya menerima kiriman ASI di dalam botol.

Di sisi lain, kebutuhan terhadap donor ASI juga fluktuatif dari waktu-ke waktu. Selama pandemi pihak-pihak LSM juga merasakan tingkat kebutuhan ASI di masyarakat terus naik seiring banyaknya ibu yang meninggal akibat covid. Namun setelah pandemi Covid mereda, permintaan donor ASI menurun cukup signifikan. Oleh karena itu bank ASI benar-benar belum diperlukan di Indonesia untuk saat ini. Wallahu a’lam.

Dwi Sukmanila Sayska
Dwi Sukmanila Sayska
Mahasiswa Doktoral PTIQ-PKUMI
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU