Ibnu Mas’ud (w. 32 H.) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad saw. yang dikenal sebagai ahli Alquran. Dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa Ibnu Mas’ud dipuji oleh Nabi atas kecerdasan dan keahliannya dalam memahami Alquran. Hal ini juga dikarenakan Ibnu Mas’ud sangat dekat dengan Nabi saw., sehingga memungkinkannya untuk melihat dan mendengar bagaimana Nabi dalam memutuskan suatu hukum yang dihadapinya.
Sebab itu, Ibnu Mas’ud dikenal di kalangan sahabat sebagai sosok yang berani berbeda pendapat dengan sahabat lainnya dalam masalah-masalah tertentu, termasuk dalam penafsiran Alquran. Hal ini disebabkan karena dia memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat Alquran (Ibnu al-Qayyim, al-Shawaiq al-Mursalah, jilid 1, 206).
Baca juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34
Ibnu Mas’ud sering kali menggunakan metode penafsiran Alquran yang berbasis pada maqasid syariah. Metode penafsiran Alquran berbasis maqasid syariah ini bertujuan untuk memahami makna-makna dalam Alquran yang berkaitan dengan tujuan-tujuan universal syariat Islam (Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi, 3), seperti menjaga agama (hifzu al-din), jiwa (hifzu al-nafs), akal (hifzu al-‘aql), harta (hifzu al-mal), dan keturunan (hifzu al-nasl).
Meskipun tidak secara eksplisit merumuskan teori maqasid syariah, Ibnu Mas’ud telah mempraktikkannya dalam penafsiran Alquran. Oleh karena itu, fatwa-fatwa yang diberikan oleh Ibnu Mas’ud seringkali menjadi rujukan dalam penetapan hukum Islam, karena dianggap memiliki dasar yang kuat dan sesuai dengan kemaslahatan umat.
Langkah-langkah Metodologis Ibnu Mas’ud dalam Penafsiran
Secara umum, langkah-langkah metodologis Ibnu Mas’ud dalam penafsiran Alquran tidak jauh berbeda dengan sahabat lainnya. Umumnya penafsiran Alquran era sahabat merujuk kepada Alquran itu sendiri, perkataan Nabi saw. (sebagai mufasir pertama) dan pendapat para sahabat lain yang dianggap lebih mengerti tentang Alquran. Namun yang membedakan Ibnu Mas’ud dengan lainnya adalah metode penafsiran yang senantiasa berpegang kepada maqasid syariah dan mempertimbangan aspek kemaslahatan umat.
Dalam implementasinya, pertama dia memerhatikan konsistensi antara ayat-ayat Alquran yang satu dengan yang lain (Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, 63). Dia memahami bahwa Alquran adalah suatu kitab yang konsisten dan tidak bertentangan dengan dirinya sendiri. Seperti dalam penafsirannya tentang hukum makanan halal dan haram. Dia memperhatikan bahwa Alquran menyebutkan kriteria makanan yang halal dan beberapa jenis makanan yang haram seperti babi, bangkai, dan darah.
Namun, Ibnu Mas’ud juga memerhatikan ayat-ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, seseorang diperbolehkan untuk memakan makanan yang haram untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud menyimpulkan bahwa hukum makanan halal dan haram harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan harus memerhatikan prinsip-prinsip konsistensi antara ayat-ayat Alquran yang satu dengan yang lain.
Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?
Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud menunjukkan bahwa Alquran mengandung ajaran yang menekankan pada pewujudan kemaslahatan dan penolakan segala bentuk kemudharatan “jalbu al-mashalih wa dzar’u al-mafasid.” Ta’bir (ungkapan) ini kemudian digunakan dalam ilmu ushul fiqih atau rumusan tentang maqasid syariah. Istilah ini merujuk pada prinsip yang mengatakan bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk memperoleh kemaslahatan (mashlahah) dan menghindari kemudaratan (mafsadah).
Selain melihat konsistensi antar ayat, Ibnu Mas’ud juga memerhatikan konteks sejarah dan budaya di mana Alquran diturunkan, dipahami, dan ditafsirkan (Nurhakim, Metodologi Studi Islam, 114). Dia memahami bahwa Alquran diturunkan dalam konteks sejarah dan budaya tertentu, sehingga dia memperhatikan konteks tersebut dalam penafsirannya. Hal ini meliputi pengetahuan tentang latar belakang ayat dan kondisi sosial masyarakat.
Misalnya ketika dia menafsirkan ayat tentang talak tiga (talak ba’in), pada saat dia berada di Kufah, Iraq. Ketentuan talak tiga dalam Alquran hanya terjadi apabila suami menceraikan istrinya secara berturut-turut sebanyak tiga kali, sebagaimana dinyatakan dalam Surah Albaqarah [2]: 229-230. Sehingga, talak tiga yang diucapkan sekaligus dianggap jatuh satu. Ini merupakan pendapat mayoritas Sahabat.
Sementara kalau melihat konteks masyarakat Kufah pada masa itu, mereka seringkali menceraikan istrinya dengan ungkapan “saya ceraikan kamu dengan talak tiga” atau “aku ceraikan kamu delapan kali” dengan mudah dan sembarangan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kaum perempuan (Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, 280). Hal ini dilihat oleh Ibnu Mas’ud sebagai kemudaratan yang besar, karena dapat merugikan kaum perempuan secara sosial dan ekonomi.
Ini merupakan bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan yang harus diatasi dengan cara-cara yang lebih bijak dan manusiawi. Oleh karena itu, dia memandang bahwa perlu dilakukan reformasi dalam sistem hukum Islam terkait dengan masalah talak, sehingga dapat memberikan perlindungan dan keadilan yang lebih baik bagi kaum perempuan.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak
Fatwa Ibnu Mas’ud pada saat itu adalah mewajibkan adanya dua saksi dalam talak dan rujuk (Ali Akbar, Ibnu Mas’ud: Pemikiran Fikih dan Fatwanya, 171), serta talak tiga yang diucapkan dalam satu waktu sekaligus dianggap jatuh talak tiga (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, jilid 10, 118). Ketentuan tersebut memiliki tujuan untuk memperketat praktik talak.
Persyaratan dua saksi bertujuan agar proses talak menjadi lebih transparan dan menghindari kemungkinan penyalahgunaan atau keputusan yang dibuat dengan cepat tanpa pertimbangan yang matang. Dengan adanya saksi, suami akan lebih berpikir dua kali sebelum mengucapkan talak, karena tindakan tersebut akan memiliki konsekuensi yang lebih berat dan tidak bisa dianggap enteng.
Selain itu, dengan menganggap talak tiga yang diucapkan dalam satu waktu sebagai jatuh talak tiga, fatwa ini juga mempersempit praktik talak tiga. Dalam konteks ini, suami akan lebih berhati-hati dan berpikir panjang sebelum mengucapkan talak tiga secara bersamaan, karena tindakan tersebut akan mengakhiri pernikahan secara permanen.
Maka ketentuan tentang disyaratkannya dua saksi dalam talak merupakan salah satu reformasi hukum Islam yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud yang tidak ditemukan dalam pendapat-pendapat sahabat lainnya. Ini juga membuktikan bahwa dia dalam ijtihadnya senantiasa berpegang kepada prinsip maqasid syariah. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua tujuan syariat yang diimplementasikan, yaitu menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga harta (hifzu al-mal).
Kesimpulan
Melalui uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Mas’ud layak disebut sebagai pionir dalam metode maqasid syariah era sahabat karena dia menggunakan pendekatan maqasid syariah dalam penafsiran Alquran sebelum konsep ini secara resmi dirumuskan. Pendekatan Ibnu Mas’ud dalam penafsiran Alquran kemudian memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan ilmu tafsir Alquran pada era berikutnya.