I’jaz Al-Qur’an merupakan kekuatan Al-Qur’an yang punya potensi untuk melakukan I’jaz (memperlemah) kondisi hati seseorang, baik kekuatan tersebut datang dari unsur Dzahiri (bahasa) maupun Bathiny (Kandungan). Di kalangan linguis Arab sendiri, masih menjadi perdebatan dimana letak I’jaz dalam tubuh Al-Qur’an itu sendiri. Semua memiliki pendapat masing – masing yang diperkuat dengan argumentasi yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan baik secara konkret maupun perasaan. Diantara para linguis tersebut adalah Abdul Qahir Al-Jurjani, dikenal sebagai ulama yang berjasa dalam menetapkan pondasi ilmu Balaghah
Sebagaimana bahasa Al-Qur’an memiliki power yang unik, yang mampu menghancur leburkan (I’jazi) nalar sastra bangsa Arab Jahiliyah yang kala itu dinilai telah mencapai level tertinggi dalam peradaban bahasa dan sastra. Banyak sekali bukti kehebatan Al-Qur’an hingga mampu memikat manusia – manusia di sekitarnya, bahkan dari segi bahasanya saja. Salah satunya adalah Walid bin Mughirah yang pernah terlena dengan indahnya bahasa Al-Quran, beliau pernah menceritakan pada kaumnya (Bani Makhtum) tentang betapa indahnya bacaan Rasulullah
وَاللهُ لَقَدْ سَمِعْتُ أَنْفاً مِنْ مُحَمَّدٍ كَلَاماً مَا هُوَ كَلَامُ الْإِنْسِ. إِنَّ لَهُ لَحَلَاوَةٌ وّإِنَّ عَلَيْهِ لَطَلَاوَةٌ وَإِنَّ أّعْلَاهُ لَمُثْمِرٌ، وَإِنَّ اَسْلَفَهُ لَمُغْدِقٌ، وَإِنَّهُ يَعْلُوْ وَلَا يُعْلَى
“Sungguh barusan aku mendengar Muhammad melantunkan sebuah ucapan yang tak mungkin berasal dari manusia, dan tak mungkin pula berasal dari jin. Betapa manisnya, betapa indahnya, betapa renyahnya, betapa hancur kary – karya lama dibuatnya. Sungguh itu tinggi, taka da lagi tandingannya”.
Sebagai bagian dari bangsa Arab Jahiliyah, statement Al-Walid bisa dinilai valid karena ia sendiri pasti memiliki rasa sastra yang tinggi.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman
Riwayat Hidup Abdul Qahir Al-Jurjani
Abdul Qahir Al-Jurjani lahir pada abad 11 masehi di Gorgan (Jurjan) sebuah kota terkenal di antara Tibris dan Khurasan. Gorgan dikenal sebagai salah satu kota yang mencetak banyak sekali sastrawan. Nilai seorang sastrawan di masa – masa itu sama nilainya dengan harga seorang panglima perang. Sehingga sastrawan banyak sekali diperebutkan oleh para bangsawan dan pejabat kala itu. Dengan lingkungan yang demikian, Abdul Qahir memilih untuk mendalami keilmuan bahasa Arab, sama dengan rata – rata pemudan Gorgan pada saat itu.
Beliau banyak belajar pada linguis – linguis besar generasi sebelumnya, seperti Sibawaih, Al-Jahidz, Abu Ali Al-Farisi, Abu Hilal Al-‘Askari, dan lain sebagainya. Beliau akhirnya menjadi pakar dalam keilmuan Balaghah dan Sastra. Menulis 2 karya fenomenal yang hingga sekarang menjadi Big book nya balaghah, yakni Dalail Al-I’jaz, dan Asrar Al-Balaghah.
Baca juga: Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan
Perdebatan tentang letak I’Jaz Al-Qur’an
Atas perhatiannya yang besar terhadap ilmu balaghah, Al-Jurjani jadi tertarik soal perdebatan para ulama terdahulu tentang titik poin I’jaz Al-Qur’an. Perhatiannya tersita karena saat itu sedang ramai – ramainya perselisihan antara Mu’tazilah dan Ahlussunnah Asy’ariyah yang semakin memanas. Persaingan itu tidak hanya dalam hal teologi, tapi juga linguistik. Orang – orang mu’tazilah memiliki pengetahuan linguistik yang cukup berpengaruh pada saat itu, yang tentunya akhirnya memberikan mereka pemahaman tentang teks suci.
Id Raja’ dalam bukunya Falsafat Al-Balaghah : Bayna At-Taqniyyah Wa At-Thatawwur menyebutkan bahwa Al-Qhadi Abdul Jabbar seorang mu’tazilah berpendapat bahwa I’jaz Al-Qur’an terletak pada teknik peletakan kalimat dan metode pengungkapannya, bukan pada kata secara independen, makna, maupun formatnya. Al-Jurjani membantah pendapat tersebut, logika yang beliau gunakan, adalah kalimat dan kata tidak dapat dipandang secara parsial. Keduanya memiliki hubungan yang erat.
Maka mustahil kemukjizatan Al-Quran muncul dari kalimatnya saja, tidak dari katanya secara independen. Bagi Al-Jurjani semua unsur dalam Al-Qur’an itu bersatu padu, baik dalam lafadz maupun makna. Dimana tiap lafadz memiliki makna yang sangat kompleks jika ditinjau secara analitik.
Teori Nadzm dalam I’jaz Al-Qur’an menurut Abdul Qahir Al-Jurjani
Beranjak dari bantahan Al-Jurjani terhadap Al-Qadhy Abdul Jabbar, Al-Jurjani dalam karya masterpiece-nya Dalail Al-I’jaz menyebutkan bahwa Al-Qur’an baru terlihat luar biasa dalam kebahasaan bila dibedah melalui teori Nadzm yang beliau kemukakan.
وَاعلَمْ أَنَّكَ إِذَا رَجَعْتَ إِلَى نَفْسِكَ عَلِمْتَ عِلْماً لَا يَعْتَرِضُهُ الشَّكُّ. أَنَّ لَا نَظْمَ فِيْ الْكَلِمِ وَلَا تَرْتِيْبَ حَتَّى يُعَلَّقُ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ، وَيُبْنِيَ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَتَجْعَلُ هَذِهِ بِسَبَبِ مِنْ تِلْكَ. هَذَا مَا لَا يَجْهَلُهُ عَاقِلٌ وَلَا يَخْفَى عَلَى أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ. وَإِذَا كَان َكَذَلِكَ فَبِنَا أَنْ نَنْظُرَ إِلَى التَّعْلِيْقِ فِيْهَا وَالْبِنَاءِ. وَجَعَلَ الْوَاحِدَةَ مِنْهَا بِسَبَبِ مَنْ صَاحَبَتْهَا. مَا مَعْنَاهُ وَمَا مَحْصُوْلُهُ. وَإِذَا كَانَ لَا يَكُوْنُ فِيْ الْكَلِمِ النَّظْمُ وَلَا تَرْتِيْبُ إِلَّا بِأَنْ يَصْنَعَ بِهَا الصَّنِيْعُ وَنَحْوُهُ. كَانَ ذَلِكَ كُلَّهُ مِمَّا لَا يَرْجِعُ مِنْهُ إِلَّا اللَّفْظَ شَيْءٌ
“Jika kalian menoleh kembali pada diri kalian sendiri, kalian akan tahu dengan sungguh tanpa keraguan lagi. Bahwa sungguh tiada nadzm atau tartib hingga satu kata dikaitkan dengan kata yang lain, saling membangun satu sama lain. menjadikan yang ini sebab terjadinya yang it. Ini adalah suatu yang tak pernah luput dan disembunyikan oleh siapapun. Jika sudah demikian, marilah kita melirik pada keterkaitan dan kontruksi diantaranya. Dan menjadikan satu kata sebagai sebab hadirnya kata yang menyertainya. Apa maknanya, dan apa hasilnya. Jika pada satu kalam tidak ada nadzm atau tartib, kecuali jika dibuat oleh penulisnya, maka tidak ada lagi yang bisa dirujuk darinya sedikitpun kecuali lafadz”
Baca juga: Muhsin al-Musawa, Ulama Nusantara Pengarang Kitab Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Tafsir
Teori Nadzm sendiri merupakan teori yang menyatakan bahwa meredaksikan ungkapan sesuai dengan aturan sintaksis yang berlaku. Teori ini bicara soal kompleksitas pemaknaan Al-Quran. Bahwa memaknai Al-Qur’an berarti memetakan Al-Quran secara zoom out. Misalkan untuk membedah lafadz :
الحمد لله
Lafadz Alhamdu saja bila dibedah melalui teori nadzm memiliki 2 fungsi yang berbeda, fungsi Alhamdu sebagai kata yang indpenden, memiliki arti puji syukur. Serta fungsi kedua sebagai komponen sintaksis dari kalimat tersebut. Alhamdu secara susunan gramatikal berposisi sebagai Mubtada’ , maka sifat Alhamdu sebagai kata independen tidak boleh dipisahkan dari perannya sebagai komponen sintaksis.
Bila fungsi Alhamdu sebagai komponen sintaksis direduksi, maka akan berpengaruh pada pemaknaan. Nadzm antara Alhamdu dengan lafadz – lafadz setelahnya, dinilai Al-Jurjani sebagai poin penting bentuk kehebatan Al-Qur’an dalam memproyeksikan sesuatu, hingga sastra Arab yang dinilai punya peradaban puisi tertinggi saat itu tunduk dibawah kedigdayaan I’jaz Al-Qur’an
Wallahu A’lam