Muhsin al-Musawa, Ulama Nusantara Pengarang Kitab Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Tafsir

Muhsin al-Musawa
Muhsin al-Musawa

Pada masa abad ke-18 hingga abad ke-20 awal, genealogi ulama Nusantara mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada saat itu, Hijaz dikenal sebagai pusat utama belajar ilmu keislaman. Sehingga banyak ulama-ulama Nusantara yang mulai berbondong-bondong melanjutkan studinya di Hijaz. Salah satu ulama besar Nusantara jebolan Hijaz yang memiliki karangan di bidang ilmu tafsir adalah Muhsin al-Musawa.

Biografi Muhsin al-Musawa

Sosok ulama Nusantara yang memiliki darah keturunan Nabi ini memiliki nama lengkap Muhsin ibn Ali ibn Abdurrahman al-Musawa al-Hadhrami. Beliau lahir pada tanggal 18 Muharram 1323 H/22 Maret 1905 M di Pelembang. Semenjak usia belia, al-Musawa mendapat didikan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahnya yaitu Ali ibn Abdurrahman al-Musawa.

Setelah menguasai dasar-dasar ilmu keislaman melalui tarbiyah ayahnya, al-Musawa kemudian melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan Islam yang berada di Jambi yaitu Madrasah Nur al-Islam. Sembari belajar di lembaga tersebut, ia juga mondok di pesantren tertua di Jambi yaitu Pesantren Sa’adah al-Darain. Namun, sebelum masa studi selesai, al-Musawa muda diberi cobaan dengan wafatnya ayahnya pada tahun 1919. Hal tersebut mengakibatkan al-Musawa harus kembali ke Palembang untuk melanjutkan tugas dakwah sepeninggal ayahnya.

Baca juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Dalam buku Ulama-ulama Aswaja Nusantara yang Berpengaruh di Negeri Hijaz karya Amirul Ulum, ia menjelaskan bahwa meskipun sibuk dengan kegiatan dakwah, ia masih menyempatkan diri untuk menimba ilmu di sekolah milik Belanda, seperti Volk School (sekolah dasar), Vervolg (sekolah lanjutan) atau Meer Uietgebreid Leger Orderwijs (MULO). Selain itu, dalam hal ilmu keagamaan, ia belajar lagi kepada Kiai Idrus dan menghafalkan Al-Quran kepada Kiai Syamsudin.

Merasa masih haus akan ilmu agama, Muhsin al-Musawa pun meminta restu kepada ibunya agar diizinkan untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu kepada para ulama Haramain pada tahun 1922. Pada tahun 1923, setelah menunaikan ritual ibadah haji, al-Musawa kemudian masuk di sebuah lembaga pendidikan Islam yang rujukan para ulama Nusantara yaitu Madrasah al-Shaulatiyah. Proses studi di tempat tersebut ditempuh selama 5 tahun hingga tahun 1928.

Sayyid ‘Alawi dalam karyanya Faidh al-Khabir wa Khulashah al-Taqrir menjelaskan bahwa selama di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, al-Musawa belajar kepada ulama-ulama terkemuka di tanah Haramain, seperti Syaikh Hasan ibn Muhammad al-Masyath, Syaikh Dawud ad-Dahan al-Makki, Syaikh Abdullah ibn al-Hasan al-Kuhi, Syaikh Habibullah as-Syinqithi, Syaikh Mahmud ibn Abdurrahman Zuhdi al-Bankuki al-Makki.

Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

Tidak berhenti disitu, al-Musawa kembali ingin melanjutkan belajar agama kepada para ulama terkemuka dunia. Kali ini pelabuhan yang menjadi tujuan rihlah ilmiah al-Musawa adalah kampung halamanya sendiri yaitu tanah seribu wali Hadhramaut, Yaman.

Selama tiga bulan, al-Musawa sibuk mengunjungi halaqah-halaqah ilmiah yang mengkaji berbagai fan keilmuan Islam asuhan oleh para ulama Yaman, seperti halaqah yang ada di daerah Seiwun, dan lain sebagainya. Selain belajar, al-Musawa juga menjalin silaturrahim dengan saudara-saudaranya yang juga sama-sama keturunan Sadah ‘Alawiyyin.

Pada tahun 1929, setelah banyak melakukan pengembaraan ilmiah, al-Musawa kembali ke Makkah dan diminta untuk menjadi pengajar di Madrasah al-Shaulatiyah. Dalam proses mengajar, ia dikenal sebagai sosok pengajar yang dalam penyampaian materinya disampaikan dengan sederhana dan mudah dipahami. Oleh karena itu, tidak heran jika halaqah yang diasuh al-Musawa cukup banyak digemari dan ramai dihadiri oleh para pelajar.

Walaupun sudah menjadi seorang pengajar, al-Musawa tetap belajar dan menghadiri halaqah ilmiah yang diasuh oleh para ulama senior Hijaz, seperti Syaikh Umar ibn Abi Bakar Bajunaid al-Makki, Syaikh Said ibn Muhammad al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali ibn Husain al-Maliki al-Makki, Syaikh Khalifah ibn Hamad an-Nabhani, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syaikh Abdullah ibn Muhammad al-Ghazi al-Makki, Syaikh Abdul Baqi al-Luknawi.

Baca juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Pada tanggal 16 Syawwal 1353 H, akibat adanya konflik internal yang menimbulkan ketegangan antara pelajar Nusantara dengan non-Nusantara di Madrasah al-Shaulatiyah, maka para ulama Nusantara bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Para tokoh ulama Nusantara yang ikut bermusyawarah adalah Sayyid Muhsin al-Musawa, Syaikh Zubair ibn Ahmad al-Filfulani, Syaikh Muhaimin ibn Abdul Aziz al-Lasemi, Syaikh Ahmad Manshuri, dan tokoh-tokoh lainya.

Hasil dari musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan untuk mendirikan madrasah diniyyah tersendiri yang diberi nama Dar al-Ulum. Dalam hal ini, Muhsin al-Musawa ditunjuk oleh para ulama Nusantara sebagai pimpinan pertama madrasah yang baru berdiri tersebut. Penunjukkan tersebut dilakukan karena al-Musawa dipandang sebagai sosok ulama yang memiliki kapasitas keilmuan Islam yang ‘alim dan lebih menonjol dibanding ulama Nusantara yang lain.

Setelah banyak mengabdikan diri untuk kepentingan umat dan agama, al-Musawa akhirnya wafat pada 10 Jumadi al-Tsani 1354 H/28 September 1935. Ia wafat diusia yang masih cukup muda yaitu sekitar 31 tahun dalam hitungan Hijriyah. Jenazah Muhsin al-Musawa dishalatkan di Masjidil Haram, kemudian dikebumikan di pemakaman Ma’la, Makkah.

Karya tulis Muhsin al-Musawa

Dalam bidang kepenulisan, Muhsin al-Musawa dikenal sebagai sosok ulama yang tekun dalam menulis dan mencatat ilmu-ilmu yang disampaikan oleh guru-gurunya. Bahkan, tatkala ia ingin membeli suatu kitab, namun uang yang harus dibayarkan belum cukup, maka ia dengan senang hati akan menyalin kitab yang tidak mampu dibeli tersebut dengan tulisan tangan sendiri.

Beberapa kitab yang disalin oleh al-Musawa adalah Fath al-Fattah Syarh al-Idhah, Hulul Syarh Jam’ al-Jawami’, Syarh Khalid al-Azhari, dan Hasyiyah al-Syanwani ‘ala al-Minhaj. Kebiasaan dalam menulis tersebut mengakibatkan Muhsin al-Musawa memiliki beberapa karya karangan kitab, mulai dari bidang fikih, ushul fikih, tafsir, faraid, dan lain sebagainya. Beberapa karya tulis tersebut antara lain adalah:

  1. al-Nafhah al-Hasiniyah Syarh al-Tuhfah al-Tsaniyah
  2. Madkhal al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul
  3. Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Zamzami fi Ushul al-Tafsir
  4. Jam’ al-Tsamar Ta’liq ‘ala Mandzumah Manazil al-Qamar

Adapun kitab-kitab karya al-Musawa yang belum rampung diselesaikan dan belum dicetak antara lain adalah al-Judad Syarh Mandzumah al-Zubad, Zubdah al-Shalawah ‘ala Khair al-Bariyyat, al-Nushuh al-Jauhariyah fi Ta’arif al-Manthiqiyah, Adillah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Daf’ al-Syubuhat al-Firaq al-Dhallah wa al-Mubtadi’ah, dan al-Rihlal al-’Aliyah ila al-Diyar al-Hadhramiyah li Ziyarah Aslafina al-’Alawiyyah.

Dengan hadirnya deretan karya itu, Muhsin al-Musawa pantas disebut ulama asal Nusantara yang mampu menguasai berbagai bidang keilmuan Islam. Termasuk satu di antaranya, bidang ilmu tafsir, yang terbukti dari bukunya yang berjudul Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Zamzami fi Ushul al-Tafsir. Buku yang secara khusus ia rancang untuk bahasan ushul tafsir. Wallahu a’lam.