BerandaUlumul QuranTahukah Anda Perbedaan Makna Antara Kata Walid (وَالِدٌ) dan Abu (أَبُوْ) dan...

Tahukah Anda Perbedaan Makna Antara Kata Walid (وَالِدٌ) dan Abu (أَبُوْ) dan Kata Umm (أم) dan Walidah (وَالِدَة)?

Kata wālid (وَالِدٌ) mempunyai makna yang sangat berbeda dengan kata abū (أَبُوْ) meskipun keduanya sama berarti “ayah, orang tuamu.” Seperti dalam kalimat وَالِدُكَ berarti “ayahmu” dan kata أَبُوْكَ yang berarti “ayahmu, bapakmu” dan kata وَالِدَاكَ yang berarati “kedua orang tuamu” dan أَبَوَاكَ yang berarti “kedua otang tuamu.” Kalau begitu, di mana letak perbedaan makna antara kata wālid (وَالِدٌ) dan abū (أَبُوْ)?

Kata abū (أَبُوْ) digunakan untuk menunjukkan kepada “ayah yang telah melahirkan secara hakiki, ayah yang memiliki hubungan darah dengan anaknya, memiliki hubungan nasab.” Seseorang yang disebut abū (أَبُوْ) adalah seorang laki-laki yang menjadi suami dari ibumu. Makna dari kata أَبُوْكَ adalah ayah kandungmu, suami dari ibumu.” Makna dari kata أَبُوْ عُمَرَ adalah “ayah yang melahirkan Umar, dan karenanya dia memiliki hubungan darah dengan anaknya.

Adapun makna kata wālid (وَالِدٌ) digunakan untuk menunjukkan kepada “ayah yang melahirkan secara majazi, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan belum tentu memiliki hubungan darah atau nasab dengan anaknya.” Kalau saya memiliki anak tiri, anak murid, mahasiswa, anak bimbingan, anak asuh, anak binaan, atau anak yang semacamnya, maka kalau dia meanggil saya dengan walidy (وَالِدِيْ) “ayahku,” itu adalah panggilan yang tepat, karena dia adalah anak asuh saya. Kalau juga saya memanggil anak itu sebagai walady (وَلَدِيْ), maka itu adalah panggilan yang tepat pula, karena dia adalah anak murid, mahasiswa saya.”

(Baca Juga: Apa Makna Kata Walidayn? Berikut Penjelasannya …)

Dalam keadaan demikian, saya telah menggunakan kata yang kurang tepat apabila saya memanggilnya dengan menggunakan kata ibny (اِبْنِيْ) untuk seorang mahasiswa saya yang laki-laki. Atau binty (بِنْتِيْ) untuk mahasiswa saya yang perempuan. Sebab, kedua kata itu menunjukkan anak yang memiliki hubungan darah dengan saya.

Kedua kata ini bisa saja digunakan secara majazi dalam pergaulan sehari-hari (informal), apabila sang anak memandang saya bagaikan ayah kandungnya, sehingga dia memnggil saya aby (أبي), dan saya memanggilnya binty (بنتي) bagaikan anak kandung saya.

Dalam keseharian, kita sering kali melihat ada orang yang hanya sebagai abū (أَبُوْ), yang menjadi suami dari seorang perempuan, dan anak dari hubungannya lalu lahir. Sesudah itu sang abū (أَبُوْ) pergi entah ke mana, tidak diktehui rimbanya. Maka abū (أَبُوْ) seperti ini tidak layak untuk disebut wālid (وَالِدٌ). Sebab, dia tidak pernah mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anaknya. Dia hanya membiarkan isterinya sendirian yang mengasuh dan membina anak.

Ibu yang seperti ini sangat pantas untuk disebut Ummun (أم) karena dia mempunyai hubungan darah dengan anaknya, lalu dia menyusui, mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anak itu. Demikian juga sebaliknya, ada seorang ibu yang hanya disebut ummun (أم), tidak disebut sebagai walidah (والدة), gara-gara dia melahirkan saja, tetapi tidak pernah mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anaknya.

Kalau Anda ingin mendapat panggilan “ayah” sebagai abū (أَبُوْ) dan wālid (وَالِدٌ) yang sesungguhnya, maka Anda yang melahirkannya secara hakiki, kemudian mengasuh, membesarkan, mendidik, sehingga menjadi anak yang hebat. Kalau Anda ingin mendapat panggilan “ibu” sebagai ummun (أم) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya, maka Anda yang melahirkannya secara hakiki, kemudian mengasuh, membesarkan, mendidik, sehingga menjadi anak yang hebat.

Semua orang yang memberikan pendidikan dan pengajaran, mengasuh, membina, dan melakukan kegiatan semacamnya untuk anak didiknya adalah wālid (وَالِدٌ) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya. Dengan tugasnya itu mereka memiliki anak-anak (أولاد) yang sangat banyak sepanjang hidupnya. Mereka itulah yang akan mendoannya ketika para guru telah kembali kehadirat-Nya.

Semoga kita dapat menjadi abū (أَبُوْ) dan wālid (وَالِدٌ) yang sesungguhnya dan ummun (أم) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...