BerandaTafsir TematikInternalisasi Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Quran pada Diri Umat Islam

Internalisasi Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Quran pada Diri Umat Islam

Terbentuknya sebuah masyarakat sejahtera dan adil makmur merupakan salah satu tujuan ajaran Islam. Di mana dalam masyarakat tersebut ditinggali sekelompok umat yang berperadaban tinggi dan memiliki karakter akhlak yang mulia. Ciri-ciri umat tersebut salah satunya seperti yang disebut oleh Al-Quran sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan). Sebuah umat yang bersikap wasathiyah atau moderat, tidak ekstrim salah satu kutub kiri maupun kanan. Umat Islam sebagai umat yang mendapat khitab Al-Quran oleh Allah mendapat kesempatan pertama dalam menanamkan atau internalisasi konsep ummatan wasathan ini dalam diri setiap individunya. Lebih lanjut konsep ummatan wasathan ini bisa kita temukan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 143, surah Ali Imran ayat 110, dan surah A-Isra’ ayat 110.

Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 208: Makna Islam Kaffah

Konsep ummatan wasathan menurut Al-Quran

Dalil yang secara gamblang menyinggung ummatan wasathan adalah surah Al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Al-Qurthubi melalui kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Quran menyatakan bahwa turunnya surah Al-Baqarah ayat 144 malah lebih dahulu daripada ayat 143 di atas. Ayat tersebut di atas menurut Al-Qurthubi berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pada waktu itu kaum muslimin memang mendapat cemoohan kaum Yahudi bahwa mereka menyalahi agama Yahudi namun mengikuti arah kiblatnya yaitu di Baitul Maqdis. Sebagaimana yang disebutkan Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb bahwa doa Rasulullah agar turun perintah Ka’bah sebagai kiblat terkabul setelah kurun waktu 16 atau 17 bulan melalui surah Al-Baqarah ayat 144.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Ibrah dari adanya pemindahan kiblat ke Ka’bah disimpulkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah sebagai sebuah simbol bahwa umat Islam adalah umat pertengahan, moderat, dan tauladan sebagaimana posisi Ka’bah yag berada di tengah-tengah pula. Sesuai lanjutan surah Al-Baqarah ayat 143 di atas agar mereka menjadi saksi (syuhada), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.

Keberadaan masyarakat ideal pada posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanya hanyut oleh materialisme dan tidak pula menghantarkannya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala aktivitas. Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

Dengan demikian, masyarakat ideal menurut Al-Qur’an adalah masyarakat harmonis atau masyarakat yang berkeseimbangan. Barangkali inilah sisi lain dari konsep tentang ummatan wasathan. Jadi boleh dikatakan bahwa ciri keunggulan umat atau masyarakat yang diidealkan Al-Qur’an itu adalah sifatnya yang moderat dan berdiri di tengah-tengah.

Baca juga: Mengenal Istilah Kaum dan Umat dalam al-Quran, Samakah Keduanya?

Internalisasi ummatan wasathan dalam individu umat Islam

Al-Quran sebenarnya tidak membatasi definisi ummah hanya bagi sekelompok manusia saja sebagaimana disebut dalam surah Al-An’am ayat 38 dan juga hadis riwayat Muslim “Semut yang berkeliaran juga umat dari umat-umat Tuhan”. Merujuk Al-Mufradat fi Gharib al-Quran karya Ar-Raghib lafadz ummah ini sebenarnya digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu yang sama. Begitu pula lafadz ummatan wasathan dalam suarh Al-Baqarah ayat 143 memiliki korelasi dengan lafadz khairu ummah dalam surah Ali Imran ayat 110. Ini artinya umat Islamlah yang ditandai sebagai khairu ummah untuk bersikap wasathiyah atau moderat.

Pendapat tersebut dipilih oleh Quraish Shihab dalam penjabaran di kitab tafsirnya. Keterangan Quraish Shihab tentang umat Islam sebagai khairu ummah dan umat yang mendapat khitab ummatan wasathan bukan berarti membenarkan umat Islam untuk bersikap superior. Sebaliknya, hal itu justru sebagai perintah untuk menginternalisasikan konsep wasathiyah ini ke dalam diri setiap individu umat Islam.

Baca juga: Kisah Nabi Idris: Pelopor Berbagai Ilmu dan Inovasi Umat Manusia

Cara menginternalisasi konsep ummatan wasathan ini dijabarkan oleh Quraish Shihab secara sederhana melalui bentuk sikap keseharian. Ia mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim. Ia mencontohkan bahwa keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara boros dan kikir, kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan hawa nafsu yang menggebu dengan ketidakmampuan melakukan hubungan seksual (disfungsi seksual). Dari situ, kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah.

Ummatan wasathan tidak bisa lepas dari sikap masing-masing individu yang harus memiliki sikap adil atau menempatkan sesuatu pada porsinya, tidak terjebak dalam ekstrim kanan dan ekstrim kiri, bersikap obyektif dan berkeseimbangan dalam menghadapi berbagai masalah, terutama dalam kehidupan bermasyarakat dan bermuamalah sehingga mengakibatkan kehidupan yang tidak harmonis. Mereka bisa berinteraksi, berdialog secara terbuka dengan semua pihak, baik dalam hal urusan agama, budaya, suku dan ras. Sehingga dalam kehidupan sehari hari merka menjadi tauladan bagi umat Islam dan umat lainnya dengan tetap di dasari pada ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU