BerandaTafsir TematikTafsir Surat al-Baqarah Ayat 208: Makna Islam Kaffah

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 208: Makna Islam Kaffah

Dalam tulisan ini akan diuraikan penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 208 yang di dalamnya bicara soal Islam Kaffah. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silm secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah ayat 208)

Terminologi Islam Kaffah menjadi istilah yang cukup populer dalam kehidupan sosial-politik keagamaan kita akhir-akhir ini. Istilah ini, yang diusung di antaranya oleh kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) dan kelompok khilafah Hizbut Tahrir dipropagandakan sebagai keharusan menerapkan Islam secara 100% dengan tekstualis, simplikatif, rigid, simbolik dan formalistik.

Secara sempit, Islam Kaffah adalah propaganda keharusan menjadikan agama sebagai formalitas sistem politik negara. Lihat saja misalnya dalam pernyataan ke-10 dari prinsip dasar JI yang menyatakan, “Pengamalan Islam kita adalah secara murni dan kafah dengan sistem jamaah (komunitas), kemudian daulah (Negara), kemudian khilafah.”

Bagi kelompok tersebut, Islam Kaffah adalah Islam Terpadu, yang memadukan agama dan negara (religion and state), salat dan perang, pena dan peluru, lidah dan pedang, hijrah dan jihad, kemudian khilafah. Pemerintahan yang tidak “ber-Islam-kaffah” akan dituduh sebagai pemerintahan taghut yang harus dihancurkan, meski masyarakatnya mengamalkan Islam dan pemerintahnya muslim.

Istilah Islam Kaffah sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Agus Maftuh Abegebriel, adalah problematik. Karena kata “kaffah” yang disebut sebanyak 5 kali dalam Alquran dan 35 kali dalam Sembilan Kitab Hadis semuanya berpasangan dengan kalimat yang jamak (plural). Sehingga tidak bisa disematkan ke dalam kata “Islam” yang mufrad (singular/tunggal). Istilah “Islam Kafah” juga tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran dan hadis, bahkan istilah tersebut tidak dikenal kecuali dalam lingkup lokal Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, jika istilah Islam Kaffah adalah hasil inovasi (bid’ah) lokal Indonesia dan ternyata problematik, lalu bagaimana tafsir yang sebenarnya dari Surat al-Baqarah ayat 208 di atas?

Ulama berbeda pendapat mengenai tafsir kata ‘al-silm’ dalam ayat tersebut, sebagian memaknainya dengan Islam. Pendapat ini dikritik oleh Fakhruddin al-Razi, karena dinilai tahsil al-hasil (redundant), dengan penjelasan bahwa ayat tersebut menyapa orang beriman, iman adalah Islam, dan tidak mungkin orang beriman diperintah masuk Islam. Karena itu ulama lain menafsirinya dengan kepasrahan, perdamaian, ketaatan dan ketundukan. Imam Sufyan al-Tsauri menyampaikan tafsir yang sedikit berbeda, dengan mengatakan bahwa makna ‘al-silm’ adalah kebajikan secara umum.

Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Demikian diterangkan dalam Tafsir al-Qurtubi, yang sekaligus menunjukkan tidak ada tafsir tunggal mengenai penafsiran kata tersebut, meski harus diakui bahwa tafsir al-Tsauri adalah yang paling menarik karena menunjukkan universalitas pesan Alquran. Sebaliknya jika dimaknai dengan Islam maka akan terus memantik perdebatan mengenai Islam versi yang mana yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Penafsiran kata ‘al-silm’ dengan perdamaian diperkuat oleh Quraish Shihab. Ia menyatakan bahwa ayat tersebut adalah pesan kepada kaum beriman agar cenderung berdamai dan jangan menumbuhkan sikap fanatisme yang merupakan karakter masyarakat jahiliyah, dan semisalnya yang memancing timbulnya permusuhan dan perpecahan.

Shihab melanjutkan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada kaum Muslimin untuk mencintai perdamaian. Peperangan dan permusuhan digambarkan sebagai mengikuti jalan setan. Hidup damai antar sesama Muslim atau dengan kelompok lain menjadi ajaran terpenting Islam. Karenanya peperangan inter dan antar umat sedapat mungkin dihindari.

Ayat ini juga menunjukkan Islam datang menghapus prinsip hukum rimba dan menggantikannya dengan prinsip yang luhur, yaitu prinsip hidup berdampingan secara damai (koeksistensi). Karena itu, dalam Islam perang hanya dibolehkan sebagai tindakan defensif sampai dapat mengajak musuh untuk berdamai. Perang yang diperintahkan Islam dan agama-agama samawi lainnya adalah untuk menopang perdamaian dan menegakkan keadilan.

Dilihat dari latar belakang (asbab nuzul)-nya pun, sebenarnya ayat ini tidak ditujukan kepada umat Islam. Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini turun kepada ahl al-kitab yang tidak mau beriman kepada Nabi SAW dan kepada orang-orang munafik yang hanya berpura-pura beriman. Maka salah alamat jika kelompok tertentu seperti JI dan HTI menggunakan ayat ini untuk menyerang umat Islam dan melabeli negeri yang didirikan oleh para ulama ini sebagai taghut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terminologi Islam Kafah adalah problematik, dan pemaknaan kata ‘al-silm’ sebagai kebajikan dan perdamaian sebagaimana disampaikan oleh para ulama di atas, jelas sangat berbeda dengan yang disampaikan mereka para pengusung jargon “Islam Kaffah” yang cenderung gemar menghakimi kelompok lain yang dituduh tidak berislam kaffah. Yaitu mereka yang mengidam-ngidamkan perang dan hanya mengenal ‘bahasa darah’. Na’uzubillah min zalik…

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...