Interpretasi Sejarah Mushaf Blawong

Mushaf Blawong berkode BRI 82
Mushaf Blawong berkode BRI 82

Pada tulisan yang lalu berjudul Telaah Nisbat KeSayaan Mushaf Blawong, di bagian akhir, saya sempat melemparkan pertanyaan mengenai siapa penulis Mushaf Blawong, atau setidaknya pertanyaan senada yang mencoba menelusuri asal keberadaan mushaf tersebut. Nah, dalam tulisan kali ini, saya memberikan penjelasan interpretatif berkenaan dengan sejarah Mushaf Blawong sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut.

Pengantar

Sebagai pondasi awal, apa yang akan saya paparkan di sini merupakan penjelasan yang bersifat interpretatif. Artinya, ulasan yang ada nantinya berisi kemungkinan-kemungkinan atas data-data yang saya miliki berkaitan dengan Mushaf Gogodalem. Hal ini dikarenakan kurangnya data yang saya miliki mengingat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi saya untuk melakukan kajian lebih lanjut.

Sebagai contoh, kajian filologi berkaitan dengan Mushaf Blawong sudah semestinya dibarengi dengan kajian sejarah atas tokoh-tokoh terkait. Dalam hal ini, penelusuran tentang sejarah Mbah Jamaluddin, utamanya, dan para wali yang lain sangat dibutuhkan sebagai upaya triangulasi data.

Mengenai Mbah Jamaluddin dan relasinya terhadap Mushaf Blawong, saya sempat mendapat kritik bahwa, jangan-jangan Mbah Jamaluddin yang selama ini diasumsikan hidup di abad ke-16 dan 17 justru hidup di era belakangan. Sehingga nisbat kepenulisan tetap dapat disandarkan kepada beliau mengingat Mushaf Blawong paling awal datang dari awal abad ke-19 atau sekitar tahun 1820-an.

Kritik ini didasarkan pada nama Jamaluddin yang kental sekali dengan nuansa kefasihan Arab. Sementara di masa itu, sekitar abad 16-17, penggunaan nama masih didominasi dengan redaksi dan sebutan bernuansa Jawa. Sebagai pembanding, nama tokoh lain yang menjadi leluhur Gogodalem adalah Niti Negoro dan Merto Ngasono, kontras dengan Jamaluddin.

Baca Juga: Potensi Keragaman Qiraah dalam Mushaf Blawong Gogodalem

Interpretasi Sejarah Mushaf

Interpretasi ini saya dasarkan pada penggunaan kertas Eropa dalam Mushaf Blawong. Ide dasarnya adalah penggunaan kertas Eropa dalam naskah kuno selalu dikaitkan dengan tradisi keraton, bukan santri. Tradisi santri umumnya menggunakan kertas berbahan dluwang atau daluwang.

Oleh karenanya, jika ditemukan naskah yang terafiliasi dalam tradisi santri, tetapi menggunakan kertas Eropa maka ia dipastikan memiliki relasi dengan keraton. Hal semacam ini dapat dilihat dari, misalnya, hasil kajian yang dilakukan oleh Islah Gusmian terhadap mushaf koleksi Pesantren Al-Mansur, Popongan, yang memiliki hubungan dengan Keraton Surakarta.

Sehingga dari asumsi ini, ada dugaan kuat bahwa Mushaf Blawong berasal dari lingkungan keraton. Pertanyaannya kemudian, apakah keraton yang dimaksud merupakan Keraton Surakarta (Kesunanan Surakarta Hadiningrat) ataukah Keraton Yogyakarta (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat), mengingat kuatnya keberadaan dua keraton tersebut di masa itu.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Al-Qur’an Blawong Gogodalem yang Dianggap Mistis (Part 1)

Berdasarkan data-data yang ada, saya memiliki kecenderungan yang kuat bahwa Mushaf Blawong berasal dari Keraton Surakarta, bukan Yogyakarta. Hal ini saya dasarkan setidaknya pada tiga argumentasi berikut ini.

Pertama, dalam sebuah makalah yang ditulis oleh Retno Prastiwi tentang Sejarah Dusun Kauman Gogodalem, disebutkan bahwa Desa Kauman, Gogodalem, memiliki relasi yang cukup dekat dengan Keraton Surakarta. Dikisahkan bahwa Raden Bagustowongso, cucu dari Mbah Niti Negoro, memiliki hubungan dekat dengan Raden Tubagus, putra Keraton Surakarta.

Cerita ini sendiri telah Saya konfirmasikan kepada Kiai Ahsin, juru kunci Mushaf Blawong yang juga zuriah Mbah Niti Negoro. Kiai Ahsin menambahkan bahwa cerita tersebut berkaitan dengan sejarah perpindahan nama Desa Gogodalem yang semula bernama Selo Miring.

Selain itu, jika menilik letak geografis, wilayah Gogodalem berada pada jalur Keraton Surakarta. Hal ini dikarenakan wilayah Semarang kala itu merupakan pintu masuk menuju Keraton Surakarta dan Gogodalem terletak tepat berada di antara Semarang dan Surakarta.

Kedua dan ketiga, hasil penelusuran saya terhadap naskah-naskah mushaf dari Surakarta menunjukkan adanya kemiripan dalam segi penggunaan alas naskah dan model serta gaya iluminasi.

Untuk alas naskah, Mushaf Blawong menggunakan kertas dengan watermark Pro Patria dan Concordia. Watermark ini sebagaimana banyak digunakan dalam mushaf Surakarta. Berbeda dengan mushaf-mushaf yang berasal dari Yogyakarta yang kebanyakan menggunakan watermark SUPERFINE dan sebagian kecil Three Crescent (tiga bulan sabit).

Yang paling menarik adalah iluminasi. saya mendapati bahwa model dan gaya yang digunakan dalam Mushaf Blawong sangat mirip dengan mushaf-mushaf Surakarta, terutama yang kini tersimpan di Masjid Agung Surakarta (lihat dan bandingkan selengkapnya dalam Mushaf Kuno Nusantara: Jawa).

Salah satu yang paling mencolok ada pada kemiripan iluminasi Mushaf Blawong berkode BRI 82 dengan mushaf Masjid Agung Surakarta nomor 7 (penomoran mengikuti buku Mushaf Kuno Nusantara: Jawa). Iluminasinya mengikuti model floral simetris dengan dua lapis frame: dalam dan luar. Modelnya juga khas sebagaimana nanti dapat pembaca lihat.

Baca Juga: Mengenal Mushaf al-Qur’an Blawong Gogodalem (part 2)

Tak hanya model, warna yang digunakan juga sangat mirip. Keduanya didominasi dengan penggunaan warna kuning dan merah serta aksen hitam, biru, dan hijau di beberapa titik. Model frame semacam ini juga ditemukan dalam mayoritas mushaf Masjid Agung Surakarta, seperti pada mushaf 4, 10, dan 14. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar di bawah ini,

Mushaf Masjid Agung Surakarta 7
Mushaf Masjid Agung Surakarta 7
. Mushaf Masjid Agung Surakarta 4
. Mushaf Masjid Agung Surakarta 4
Mushaf Masjid Agung Surakarta 10
Mushaf Masjid Agung Surakarta 10
Mushaf Masjid Agung Surakarta 14
Mushaf Masjid Agung Surakarta 14

Penggunaan model dan gaya iluminasi sebagai alat penelusuran naskah memang tidak seakurat jika dibandingkan dengan, misalnya, rujukan pada catatan kolofon naskah. Namun menurut Islah Gusmian, kemiripan iluminasi setidaknya dapat menjadi pijakan awal dalam penelusuran asal naskah. Pola yang sama yang juga dia gunakan terhadap mushaf koleksi Pesantren Al-Mansur, Popongan, sebelum akhirnya beliau sowankan kepada Bu Annabel Teh Gallop.

Oleh karenanya, kajian menyeluruh terhadap seluruh aspek yang menunjang pengetahuan asal keberadaan Mushaf Blawong tetap harus dilakukan sebagai upaya validasi. Utamanya kajian sejarah tokoh terhadap para leluhur Gogodalem. Namun sampai hal itu terwujud, agaknya interpretasi awal ini dapat menjadi pijakan, termasuk wahana kritik dan masukan bagi saya. Wallahu a‘lam bi al-shawab.