Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain koleksi Museum MAJT, penulis berkesimpulan bahwa catatan-catatan yang dikutip dalam naskah tersebut merefleksikan jejak tafsir periferal (pinggiran) dalam konteks ke-Indonesia-an. Alasannya, selain merujuk pada interpolasi Al-Wajiz karya Al-Wahidiy, catatan tersebut juga bersumber dari teks Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Abdullah al-Ijiy al-Syiraziy.
Dalam tulisan berjudul Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal, penulis menyebutkan setidaknya empat karya tafsir yang menjadi rujukan mainstream di Indonesia. Keempat karya tersebut adalah Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy (w. 529 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlalwiy (w. 691 H.), Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin (w. 741 H.), dan Al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalliy (w. 864 H.) dan Jalal al-Din al-Suyuthiy (w. 911 H.).
Di luar itu, sejatinya ada beberapa karya yang juga menjadi bahan rujukan dan kajian tafsir di Indonesia yang boleh jadi tidak sepopuler karya-karya sebelumnya. Berdasarkan hasil telaah penulis paling tidak ada dua, yakni teks Al-Wajiz dan teks Jami‘ al-Bayan. Dua karya inilah yang penulis katakan sebagai tafsir-tafsir periferal.
Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah
Ulasan mengenai Al-Wajiz, baik dari sudut pandang kenaskahannya maupun dari sudut pandang karya tafsirnya telah penulis tulis dalam beberapa tulisan. Oleh karenanya, tulisan kali ini hanya akan berfokus pada Jami‘ al-Bayan dari sudut pandang kenaskahannya. Sebelum masuk pada ulasan, sebagai catatan sebelumnya bahwa yang dikehendaki dari Jami‘ al-Bayan di sini adalah Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Abdullah al-Ijiy al-Syiraziy, bukan Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabariy (w. 310 H.).
Seperti halnya Al-Wajiz, interpolasi Jami‘ al-Bayan dituliskan pada bagian pias naskah dengan memberikan tanda tertentu yang merujuk teks utama naskah di bagian tengah. Interpolasi tersebut juga dituliskan dengan menambahkan huruf ha’ (هـ) yang menjadi inisial kata intaha sebagai tanda dari akhir kutipan.
Penanda bahwa kutipan tersebut diambil dari interpolasi Jami‘ al-Bayan adalah keterangan yang diberikan setelah huruf ha’ tersebut baik dalam keterangan utuh yang menyebutkan nama teks Jami‘ al-Bayan atau sekedar huruf jim (ج) yang menjadi inisial dari nama teks tersebut. Yang perlu dicermati dari keterangan tersebut adalah bahwa penyurat tampaknya telah melakukan kesalahan dalam penulisannya. Kata Jami‘ yang seharusnya dipanjangkan huruf jim-nya (جامع) justru dipanjangkan huruf mim-nya (جميع).
Baca juga: Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura
Kesalahan ini tentu akan menimbulkan masalah mengingat nama Jami‘ al-Bayan kurang begitu populer termasuk mungkin bagi pengkaji tafsir sekalipun. Sehingga nama keliru yang dituliskan tersebut akan memberikan arahan yang ‘menyesatkan’ dalam pencarian teks asli yang menjadi rujukan. Namun demikian, dari catatan yang diberikan dapat dipastikan bahwa itu merupakan interpolasi dari teks Jami‘ al-Bayan.
Satu hal yang cukup menarik dari kutipan-kutipan yang diambil dari interpolasi Jami‘ al-Bayan ini adalah bahwa banyak dari kutipan tersebut yang berisi penjelasan linguistik, tepatnya penjelasan tentang kedudukan suatu kata atau tarkib dalam ayat, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan di bawah ini,
فاعل يهد جملة كم اهلكنا بواسطة مضمونها اى كثيرة اهلاكنا لان كم لا يعمل فيه ما قبله او فاعله ضمير الله والجملة في تأويل المفعول اى فلم يبين الله لهم مضمون هذا الجملة وعند البصريين فاعله مضمر يفسره كم اهلكنا هـ جميع البيان
Jika melihat kutipan-kutipan dari Jami‘ al-Bayan dan kemudian menempatkannya bersama-sama dengan kutipan dari teks lain akan ditemukan satu distribusi kutipan yang teratur dan menarik. Menurut hemat penulis sejauh ini, kutipan dalam naskah Jalalain Museum MAJT terbanyak dirujuk dari Al-Wajiz, Jami‘ al-Bayan, dan Anwar al-Tanzil. Tiga teks ini dikutip secara teratur pada masing-masing sepertiga bagian dari naskah yang berisi teks Jalalain juz kedua (juz 15-30 dari mushaf Alquran).
Baca juga: Mengenal Hasyiah al-Shawi, Kitab Penjelas Tafsir al-Jalalain
Sepertiga awal dari naskah didominasi oleh kutipan dari Al-Wajiz yang berisi keterangan tafsir atas ayat. Sepertiga tengah didominasi oleh kutipan dari Jami‘ al-Bayan yang kebanyakan berisi penjelasan linguistik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan sepertiga akhir didominasi kutipan dari Anwar al-Tanzil, tepatnya pada juz 30 dari mushaf Alquran dan berisi fadhilah atau keutamaan surah-surah berdasar riwayat dari Nabi saw.
Terkait keberadaan kutipan dari Jami‘ al-Bayan ini beberapa hal yang menjadi pertanyaan adalah dari manakah penyurat naskah mengutip teks tersebut? Pertanyaan ini sangat relevan diajukan mengingat teks tersebut, sekali lagi, tidak populer. Dan hingga saat ulasan ini ditulis, penulis belum menemukan sumber yang memberikan informasi terkait keberadaan teks tersebut di era naskah tersebut ditulis. Berbeda dengan Al-Wajiz yang meski sama-sama tidak populer, tetapi ada salinan naskahnya di Pamekasan, Madura.
Selain itu, apakah penyurat naskah menuliskan kutipan-kutipan dari tafsir yang tidak populer secara sengaja? Berikut dengan irama distribusinya? Ataukah memang kebetulan yang tidak terduga? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini semoga akan ada suatu hari nanti. Hingga saat itu datang, keberadaan kutipan Jami‘ al-Bayan dan Al-Wajiz ini dapat memberikan gambaran akan jejak tafsir periferal di Indonesia di masa lalu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []