Belakangan ini kajian mengenai jihad dan Al-Qur’an, serta segala aspek yang menyertainya, memang menarik untuk dilakukan. Selain up to date, topik yang dapat dibicarakan juga sangat beragam. Saking beragamnya, setiap pengkaji harus dihadapkan pada spesifikasi tertentu untuk mendapatkan kedalaman masalah dan terhindar dari kerancuan pembahasan. Salah satunya ialah jihad nir-kekerasan, yang menjadi kontra narasi dari jihad perspektif kelompok ekstremis. Jihad ini antara lain disuarakan oleh Kiai Sholeh Darat.
Saat tulisan ini dibuat, setidaknya sudah ada dua kajian tafsiralquran.id yang menyorot tragedi bom bunuh diri Makassar Ahad lalu, 28 Maret 2021. Pertama, oleh Miftahus Syifa berjudul Bom Bunuh Diri Termasuk Mati Syahid? Surah An-Nisa’ Ayat 29-30 (29/03/2021) yang spesifik mengkaji tindakan bunuh diri dengan mengacu QS. An-Nisa’ ayat 29-30. Kedua, kajian term jihad dalam Al-Qur’an oleh Muhammad Rafi berjudul Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an (30/03/2021).
Sampai di sini, penulis memandang bahwa telah banyak kajian ‘teoritis’ terhadap jihad dalam Al-Qur’an. Baik kajian tematik pada term-term jihad seperti jahada, qatala dan ragam derivasinya, atau bahkan kajian tentang perbandingan pendapat para mufasir. Karenanya, akan lebih menarik jika kajian yang dilakukan mengambil angle yang berbeda, sehingga nuansa yang dihasilkan juga akan berbeda.
Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an
Penulis kemudian tertarik untuk mengkaji penafsiran yang dilakukan Kiai Sholeh Darat dalam Faidl al-Rahman-nya: tafsir QS. Al-Baqarah ayat 190-193. Bukan dalam bingkai kajian teoritis tentunya, melainkan lebih kepada konteks historis penafsiran dan genealogi sang penafsir. Mengingat relevansi yang dimiliki antara penafsiran Kiai Sholeh Darat dengan peristiwa bom bunuh diri Makassar beberapa waktu yang lalu.
Faidl al-Rahman fi Tarjamat Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan adalah tafsir yang ditulis Kiai Sholeh, yang terinspirasi dari sebuah dialog singkat yang terjadi antara beliau dan RA. Kartini. Diceritakan bahwa Kartini yang kala itu tengah berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak bernama Pangeran Ario Hadiningrat, mengetahui pengajian yang diberikan Kiai Sholeh. Ia kemudian menemui Kiai Sholeh dan menyampaikan kegalauannya perihal makna dan terjemahan Al-Qur’an.
Menariknya, apa yang menjadi kegalauan Kartini terkait keberadaan terjemahan Al-Qur’an merupakan sesuatu yang dilarang oleh fatwa ulama di masa itu. Sebuah fatwa yang sangat menguntungkan pihak kolonial dimana akses pembelajaran terhadap Al-Qur’an menjadi terbatasi oleh internal pembacanya sendiri.
Namun demikian, hal itu justru membuat Kiai Sholeh tergugah untuk menuliskan sebuah karya terjemahan Al-Qur’an yang lantas diberi judul Faidl al-Rahman. Karenanya tidak mengherankan jika pada awal kemunculannya, karya ini cukup kontroversial.
Baca juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian
Menurut catatan Masrur, tafsir atau terjemahan ini mencakup 13 juz dari keseluruhan surat dalam Al-Qur’an, yakni QS. Al-Fatihah hingga QS. Ibrahim. Namun demikian, naskah yang penulis ketahui dan penulis dapatkan hanya berisi QS. Al-Fatihah hingga QS. An-Nisa’ ayat 176 dalam dua jilid. Jilid pertama berisi QS. Al-Fatihah dan QS. Al-Baqarah, sementara selebihnya terdapat pada jilid kedua.
Sebagaimana corak yang dimiliki tafsir ini, yakni sufi-isyari, aksentuasinya terletak pada unsur isyari setiap ayat. Kendati sebelum masuk pada makna isyari, yang ditandai dengan redaksi al-ma‘na al-isyary, Kiai Sholeh tetap menyertakan ulasan-ulasan dasar berkaitan dengan ayat, seperti makna zahir, sebab turunnya ayat, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
Pun demikian dengan tafsir QS. Al-Baqarah 190-193. Sebelum masuk pada makna isyari, Kiai Sholeh memberikan gambaran umum ayat ini:
“konten ayat yang menjelaskan legalitas peperangan yang dilakukan kaum muslimin melawan orang-orang kafir serta perdebatan di kalangan mufasir terkait nasikh-mansukh.”
Yang menarik adalah dari keseluruhan ulasan yang disebutkan oleh Kiai Sholeh dalam rangkaian ayat 190-193 ini, tak satu pun diantaranya yang menyinggung masalah kolonialisme di Indonesia. Jangankan menjadikan ayat sebagai dalil legitimasi, menyebut frasa berkaitan dengan kolonialisme saja tidak.
Padahal seperti telah disinggung sebelumnya, Kiai Sholeh adalah seorang mufasir yang hidup pada era kolonialisme. Mestinya, jika melihat spirit perjuangan dan kapasitas keilmuan yang beliau miliki, ayat ini merupakan dalil ‘empuk’ untuk ‘mengompori’ perjuangan melawan para koloni penjajah.
Baca juga: Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi
Kiai Sholeh adalah putra dari Kiai Umar, seorang kiai yang menjadi anggota laskar tentara di bawah komando Pangeran Diponegoro. Gemblengan langsung dari ayahnya di masa kecil mestinya cukup memberikan pengaruh terhadap spirit perjuangan Kiai Sholeh. Belum lagi jika melihat genealogi tarekat yang diikuti oleh beliau.
Menurut Kambali Zutas dalam Literacy Tradition in Islamic Education in Colonial Period, tarekat Syattariyah yang dibawa Abdurrouf Singkel atau Al-Sinkily, pada era Perang Jawa tercatat telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada ajaran ideologis-nasionalis dibawah kembangan Pangeran Diponegoro.
Tidak pelak lagi, fanatisme agama khas tarekat tasawuf dan semangat nasionalis mestinya mampu mendorong Kiai Sholeh untuk, dalam bahasa sekarang, ‘mempolitisasi’ ayat dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Tetapi, mengapa hal itu tidak dilakukan?
Penulis menganggap bahwa mazhab yang dianut Kiai Sholeh Darat adalah edukatif. Sehingga apa yang ingin disampaikan selalu diselipkan dalam pesan-pesan ideologis di dalam karyanya. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Sri Suhandjati dalam Reinterpretation of Women’s Domestic Roles: Saleh Darat’s Though on Strengthening Women’s Roles in Indonesia.
Baca juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang
Disana ditemukan bahwa, pemikiran progresif Kiai Sholeh dalam melawan kolonialisme Belanda disisipkan melalui pesan yang disampaikan dalam Al-Majmu‘ah al-Syari‘ah. Dimana dalam menghadapi tantangan ekonomi sekaligus bahaya kekerasan seksual dari penjajah, kaum hawa diajarkan ilmu batik dan pengajaran konten QS. An-Nur.
Selain itu, masih dalam Al-Majmu‘ah al-Syari‘ah, terlihat juga bagaimana Kiai Sholeh melawan kolonialisme melalui perang ideologi. Seperti ketika beliau ‘memfatwakan’ keharaman memakai celana dan dasi, yang dianggapnya sebagai unsur tasyabbuh kepada para penjajah. Dengan demikian, persepsi Kiai Sholeh Darat tentang ayat itu tidak menjurus pada jihad fisik berupa kekerasan, melainkan ideologi.
Maksud penulis menghadirkan angle ini adalah untuk melihat lebih dalam bahwa jihad, pemahaman tentangnya, tidak melulu mengarah kepada sesuatu yang berbau kekerasan seperti peperangan atau bahkan bom bunuh diri. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam frame besar jihad, yang salah satunya ialah jihad ideologi, sehingga bisa disebut dengan jihad nir-kekerasan, Karena jihad ini tidak mengurangi ghirah keislaman yang telah tertanam, sebagaimana telah dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat. Wallahu a‘lam bish shawab.