BerandaTafsir TematikTafsir AhkamJudi yang Merusak, Sejak Dulu hingga Sekarang

Judi yang Merusak, Sejak Dulu hingga Sekarang

Di Indonesia, perjudian masih menjadi masalah sosial di tengah masyarakat. Rilis setkab.go.id bertajuk “Gov’t to Take Strict Action on Online Gambling”, melaporkan bahwa judi masih menjadi ancaman besar terhadap masyarakat, terutama paling berdampak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah (lower middle class). Korban dari perjudian ini adalah kelompok masyarakat rentan. Diperkirakan terdapat sekitar 30 ribu transaksi judi slot dalam sehari. Selama sebulan aktivitas tersebut menjadi 900 ribu aktivitas perjudian. Tragisnya, aktivitas judi tersebut melibatkan anak-anak.

Fakta-fakta tersebut memiliki berbagai implikasi ekonomi. Salah satunya adalah, berpotensi melanggengkan kemiskinan bagi pelaku perjudian, selain dampak-dampak psikologis bagi pecandu judi. Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimana ayat Alquran dan tafsirnya menarasikan tentang judi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya?

Al-Maysir: Sejarah dan Contoh Perjudian Pra-Islam

Di dalam khazanah tafsir Alquran terdapat narasi-narasi tentang judi yang dijelaskan oleh para ulama berkaitan dengan Q.S. Al-Maidah [5] ayat 90:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?

Dilihat dari sebab turunnya, ayat ini memberikan gambaran tentang proses pengharaman khamar dan kegiatan-kegiatan yang menyertainya, termasuk judi. Imam al-Suyuthi dalam kitab Lubab al-Nuqul (h. 85-86), mengutip riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurayrah;

“Ketika Nabi sampai di Kota Madinah, ia melihat orang-orang sedang meminum khamar  dan bermain judi. Mereka lalu bertanya kepada Nabi tentang hukum keduanya, maka turunlah firman Allah, ‘Mereka bertanya tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘ pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,’ Lalu orang-orang berkata, ‘Khamar dan judi tidak diharamkan kepada kita, tetapi Allah hanya mengatakan di dalam kedua hal tersebut dosa yang besar.’ Kemudian mereka tetap meminum khamar dan berjudi, hingga pada suatu hari seseorang dari kaum Muhajirin yang baru memimpin salat Maghrib dan bacaannya banyak terjadi kesalahan, maka Allah menurunkan firman-Nya yang lebih tegas dari sebelumnya, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.’ Kemudian setelah itu, turun lagi ayat yang lebih keras dari sebelumnya, ‘Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala..’ hingga firman-Nya, ‘Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”

Baca juga: Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

Riwayat ini setidaknya menunjukkan bahwa khamar dan judi menjadi aktivitas berunsur hiburan yang dilakukan oleh masyarakat Arab pra-Islam dan awal Islam. Antara judi dan khamar saling terkait karena dalam perjudian biasanya terdapat kegiatan meminum khamar, begitu juga sebaliknya.

Kata al-maysir atau perjudian yang terdapat pada Q.S. Al-Ma‘idah [5]: 90, menurut Syaikh al-Thanthawi merupakan derivasi dari kata al-yusru yang berarti al-suhulah (kemudahan). Maknanya, orang-orang yang berjudi mendatangkan harta tanpa perlu bekerja keras (perolehan melalui keberuntungan) (Tafsir al-Wasith, juz 4, h. 274-275).

Selain itu, dengan mengutip pendapat Imam al-Qurthubi, Syaikh al-Thanthawi juga mengartikan al-maysir dengan jaza‘a yang artinya membagi. Arti ini, dapat dikatakan bernilai historis, karena pada masa pra-Islam, perjudian dilakukan dengan mempertaruhkan bagian-bagian potongan daging sembelihan unta, yang kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin.

Lebih lanjut, Syaikh Thanthawi memperinci berbagai jenis perjudian. Di antaranya: permainan dadu, catur dan sejenisnya yang digantungkan pada keberuntungan, kebetulan, dan mempertaruhkan uang adalah termasuk kategori judi.

Baca juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Imam Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith (juz 2, h. 399-400) mendeskripsikan simulasi al-Qidah, yaitu perjudian dengan sepuluh dan atau sebelas buah bilah. Pada masing-masing bilah itu, para penjudi bertaruh untuk mendapatkan bagian potongan daging unta, yang secara keseluruhan berjumlah 28 potong daging. Bilah pertama, dinamai al-Qad (satu bagian daging unta); bilah kedua, al-Taw‘am (dua bagian daging unta); bilah ketiga, al-Raqib (tiga bagian daging unta); bilah keempat, al-Jals (empat bagian daging unta); bilah kelima, al-Nafis (lima bagian daging unta); bilah keenam, al-Musabbal (enam bagian daging unta); bilah ketujuh, al-Mu’alla (tujuh bagian daging) dan empat lainnya adalah: al-Mashdar, al-Mudh’if, al-Manih, dan al-Safih adalah bilah-bilah yang turut pula disertakan dengan bilah-bilah lainnya, hanya saja keempat bilah ini tidak bernilai (kosong) atau, yang mendapatkanya setelah diundi, tidak mendapat bagian daging unta, hanya tujuh bilah yang memperoleh porsi bagian-bagian daging dalam perjudian al-Qidah. Semua bilah itu kemudian dikumpulkan dalam satu wadah, lalu diguncang oleh seorang yang adil dan tidak berpihak kepada siapapun. Bilah-bilah itu lalu diambil satu persatu, oleh pengguncang, kemudian bilah-bilah itu diberikan kepada para penjudi (orang-orang yang bertaruh) sesuai dengan nama-nama bilah itu. Hanya tujuh orang penjudi yang mendapatkan potongan daging sesuai dengan porsinya masing-masing. Adapun bagi para penjudi yang memperoleh bilah al-Mashdar, al-Mudh’if, al-Manih, dan al-Safih tidak memperoleh apapun bahkan mengalami kerugian, karena tidak mendapatkan potongan daging.

Hikmah Pengharaman Judi

Pengharaman judi sebagai keputusan hukum sesungguhnya mengandung berbagai tujuan dan hikmah. Hal ini diisyaratkan oleh ayat selanjutnya pada Q.S. Al-Ma‘idah [5] ayat 91:

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَاوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِي ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلاَةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنتَهُونَ

Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?

Imam Ahmad bin ‘Umar dalam tafsirnya, al-Ta‘wilat al-Najmiyyah fi Tafsir al-Isyari al-Shufi (juz 2, h. 305), berpendapat bahwa perjudian menjadi penyebab sifat-sifat tercela, seperti kikir, sombong, marah, permusuhan, kebencian, dengki, dan dendam. Melalui perjudian, seseorang menjadi tersesat ke jalan yang buruk.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Manfaat dan Mudarat Khamar

Keharaman minuman keras, judi, pengorbanan untuk berhala (al-Anshab), dan mengundi nasib dengan anak panah (al-Azlam) merupakan isyarat dari Allah kepada hamba-hambanya agar tidak melakukannya. Hal itu dapat melahirkan perasaan waswas (yang dibuat oleh setan), mengalihkan dari jalan petunjuk Tuhan, menuju kehancuran dengan mengikuti hawa nafsu. Kemenangan dan keberhasilan yang sesungguhnya adalah menjauhi dan tidak mengerjakan hal-hal tersebut.

Dalam konteks Indonesia, keharaman judi menyelamatkan generasi muda dari sikap malas bekerja dan berpangku tangan dengan berharap pada keberuntungan dan kebetulan. Imam Ibn ‘Athiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (juz 2, h. 234), menghubungkan perjudian dengan tumbuh suburnya masalah-masalah sosial kemasyarakatan seperti hilangnya dasar-dasar persatuan, dan perasaan saling menjaga antara satu dengan yang lainnya.

Seperti halnya fakta-fakta yang terlihat dalam berita di berbagai media sosial. Orang-orang berjudi dan terjerat pinjaman online yang memperburuk keadaan ekonomi, rusaknya hubungan antarkeluarga, bahkan masyarakat, meningkatnya gangguan psikologis, serta tindakan-tindakan kriminal yang didorong oleh perjudian. Dengan alasan-alasan itu, pelarangan judi merupakan sesuatu yang beralasan dan bertujuan. Judi bertentangan dengan norma-norma kebaikan. Kemudaratannya jauh lebih banyak daripada kemanfataannya. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.                                       

Muhammad Julkarnain
Muhammad Julkarnain
Pedagang; peminat kajian Alquran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU