Beberapa waktu yang lalu penulis berkesempatan sowan kepada Pak Islah Gusmian untuk sedikit berkonsultasi mengenai tema kajian mushaf kuno di Indonesia. Beliau, yang merupakan peneliti senior bidang naskah kuno, menyarankan untuk melakukan kajian terhadap perubahan dan perkembangan struktur huruf pada penulisan mushaf kuno.
Yang penulis pahami dari istilah ‘struktur huruf’, sebagaimana dimaksud Pak Islah, adalah muatan substantif dalam anatomi huruf, alih-alih ‘lekuk’ model penulisan huruf sebagaimana kecenderungan kajian ilmu kaligrafi. Hal ini didasarkan pada contoh yang beliau berikan berkaitan dengan titik pada huruf seperti dzal.
Kajian struktur huruf yang dimaksudkan Pak Islah ini mungkin adalah istilah lain dari ilmu dlabth dalam ilmu-ilmu Alquran, yakni ilmu yang membahas tentang penyematan harakat atau tanda baca (naqth al-i‘rab) dan titik (naqth al-i‘jam) pada huruf.
Contoh konkrit dari masalah ini dapat dijumpai pada perbedaan penyematan titik pada huruf fa’ dan qaf dalam beberapa mushaf dunia. Mushaf al-Madinah al-Nabawiyyah riwayat Imam Warsy (w. 197 H.), misalnya, menyematkan satu titik pada bagian atas untuk huruf qaf dan satu titik pada bagian bawah lingkaran huruf untuk huruf fa’.
Berkaitan dengan penjelasan ini, penulis mendapati praktik penulisan yang cukup menarik dan barangkali dapat terkategorikan dalam kajian struktur huruf sebagaimana dimaksud oleh Pak Islah, yakni penulisan huruf syin dalam sebuah fragmen mushaf kuno di Kampung Saren Jawa milik Subki Muhamad Noer.
Fragmen mushaf ini sendiri hanya terdiri dari satu kuras dengan dimensi 24,5 cm x 17 cm dan bidang teksnya 16 cm x 12 cm. Fragmen ini ditulis menggunakan tinta hitam di atas alas berbahan daluang. Tidak ditemukan penomoran halaman, catchword atau kata alihan, iluminasi dan catatan kolofon. Fragmen ini telah didigitalisasi oleh Balai Litbang Agama Semarang dan dapat diunduh melalui repositori Wanantara dengan kode BLAS/SJ/Al-Qur’an/SMN 16/2019.
Praktik penulisan huruf syin yang penulis maksud dalam fragmen ini ada pada kata syai’ (شيئ) dan syaithan (شيطان) dengan berbagai bentuk dan i’rab yang dimiliki keduanya. Huruf syin pada dua kata ini ditulis dengan tanpa menyematkan tiga titik di bagian atas lengkuk huruf sehingga terkesan menyamai penulisan huruf sin.
Penulisan mushaf kuno memang sering kali mengalami kesalahan atau kekurangan, baik dari aspek harakat atau tanda baca (naqth al-i‘rab) maupun titik pada huruf (naqth al-i‘jam). Akan tetapi penulisan huruf syin pada dua kata ini dilakukan secara konsisten dalam seluruh diksi yang ditemukan dalam fragmen.
Penelusuran yang penulis lakukan terhadap literatur yang menjelaskan tentang penyematan naqth, tidak mendapati keterangan yang menjelaskan pengosongan titik pada huruf syin. Hal ini sebagaimana disebutkan Al-Farmawiy dalam Rasm al-Mushhaf wa Naqthuh. Perbedaan penyematan titik hanya terjadi pada huruf fa’ dan qaf mengacu pada pendapat ahl al-Maghrib (Maroko).
Penulisan semacam ini agaknya mirip dengan kasus yang penulis dapati dalam Mushaf Blawong dan Mushaf Kusamba yang menulis kata dawud (داوود) dengan dua wawu dan salah satunya ditulis menggunakan tinta merah. Meskipun dalam penulisan ini, penulis mendapati takwil bahwa penggunaan tinta merah dan dua wawu untuk menunjukkan bentuk asli dan bentuk valid dalam kaidah rasm.
Temuan-temuan ini yang kemudian menjadi pusat kajian struktur huruf pada penulisan mushaf kuno. Di antara signifikansi dari kajian ini adalah untuk melakukan pembacaan atas perubahan dan perkembangan yang terjadi serta relevansinya terhadap situasi dan kondisi sosial yang terjadi di masa itu melalui anomali penulisan yang ada.
Kajian ini menurut Pak Islah dianggap lebih menarik ketimbang melakukan analisis ‘datar’ terhadap rasm yang digunakan mushaf kuno, yang agaknya telah ‘final’ mengerucut pada dominasi imlai atas usmani. Wallahu a‘lam bi al-shawab.