Kasus Marital Rape dan Penafsiran Surah An-Nisa Ayat 34

Marital Rape
Marital Rape dan Penafsiran Surah An-Nisa Ayat 34

Kajian tentang perkosaan dalam rumah tangga atau dalam bahasa praktisnya Marital Rape kembali hadir menjadi sebuah kontroversi setelah terbitnya Rancangan Undang Undang (RUU) KUHP Pasal 479. Dalam Pasal ini, ancaman pidana bagi pelaku perkosaan paling lama 12 tahun. Meskipun Revisi dari KUHP tersebut belum resmi diterbitkan, akan tetapi Pasal ini dianggap oleh beberapa khalayak sebagai pasal kontroversial.

Meskipun menjadi rencana yang disambut baik oleh sebagian pihak, akan tetapi masyarakat sendiri menurut Komnas Perempuan masih banyak yang menganggap dengan tidak serius bahkan banyak juga yang menilai tidak ada istilah perkosaan dalam rumah tangga. Padahal, peraturan tentang marital rape ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 53 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT.

Asal-usulnya disinyalir berasal dari budaya patriarki yang sudah mengakar di masyarakat kita. Ditambah lagi peraturan perundangan yang relasi gendernya timpang. Seperti ditunjukkan dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 80 ayat (4) dan Pasal 83 suami dianggap sebagai pencari nafkah, sebagai pemimpin, sedangkan istri adalah seseorang yang mengurus rumah tangga, yang harus siap melayani suami, berbakti lahir batin kepada suami termasuk dalam berhubungan seksual.

Sementara itu, kasus aduan tentang kekerasan terhaap perempuan termasuk di dalamnya marital rape masih sangat tinggi. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2021: Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, terdapat sedikitnya 8.234 kasus data aduan yang terkumpul sepanjang tahun 2020. Jenis kekerasan yang paling banyak adalah KDRT dan relasi personal sebanyak 6.480 kasus atau kurang lebih 79% dari seluruh aduan. Disusul oleh kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 3.221 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 924 kasus, dan sisanya kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, dan sebagainya.

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Bisa dikatakan bahwa salah satu unsur yang melanggengkan patriarki adalah pemahaman yang salah terhadap Surah An-Nisa’ (4) :34. Ayat ini acapkali digunakan sebagai legitimasi ketidaksetaraan relasi antara suami dan istri, bahkan sering menjadi rujukan kebolehan marital rape. Benarkan demikian? Mari kita pahami lebih lanjut tentang ayat ini. Allah Swt berfirman:  

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”

Apakah dengan ayat di atas suami berhak melakukan kekerasan terhadap istri? Tentu tidak. Masturiyyah Sa’dan dalam artikelnya Posisi Perempuan Kepala Keluarga dalam Konstestasi Tafsir dan Negosiasi Realitas Masyarakat Nelayan Madura: Kajian Muhammad Syahrur, menjelaskan bahwa sesuai dengan prinsip tafsir Syahrur, ruang sosial dan kepemimpinan tidak hanya milik laki-laki tetapi juga milik perempuan. Kepemimpinan tidak berdasarkan gender, tetapi berdasarkan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki seseorang.

Dalam ayat tersebut, Syahrur memaknai kata qawwamun (kepemimpinan) oleh seorang laki-laki karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan berupa ilmu, agama, akal dan kekuasaan. Oleh karena itu, apabila laki-laki diberikan beban kepemimpinan karena ada kelebihan tersebut, bukan semata karena dia adalah laki-laki. Maka dari itu, seorang laki-laki yang tidak memiliki kelebihan tersebut, maka ia jelas tidak dibenarkan untuk menjadi pemimpin atas perempuan.

Merujuk pada idealitas Islam, tentu kebenaran untuk melakukan perkosaan terhadap pasangannya tidaklah benar. Menurut Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan, Islam selalu hadir dalam sifat-sifat dan gasgasan besar kemanusiaan (humanisme universal). Agama menurutnya dihadirkan oleh Tuhan sebagai sarana pembebasan dari bentuk penindasan, tirani, kebiadaban, dan perbudakan manusia.

Al-Qur’an berbicara secara tegas tentang perlindungan Hak Asasi Manusia dalam QS. Al-Hujurat (49) : 13. Didalamnya, Allah Swt menjelaskan bahwa Ia menciptakan manusia baik itu laki-laki dan perempuan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya mereka saling mengenal. Karena Allah sendiri pun tidak membedakan manusia antara laki-laki dan perempuan, bangsa satu dengan yang lain kecuali tingkat ketakwaan manusia pada-Nya.

Ditambah lagi, dalam QS. Al-Isra’ (17) : 70 disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia di muka bumi ini. Kemuliaan tersebut menurut Husein Muhammad merupakan hak alami setiap manusia yang karena itu, ia tidak boleh dilecehkan, dinodani, diperlakukan kasar, bahkan dihancurkan. Hal ini berlaku untuk seluruh manusia, tanpa memebedakan mereka laki-laki atau perempuan, suami atau isteri.

Baca Juga: Mengenal Badriyah Fayumi, Mufasir Perempuan Indonesia Pejuang Keadilan Gender

Oleh karena itu, apapun bentuk pelecehan bahkan perkosaan kepada siapapun baik itu relasi suami-isteri atau bukan, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Cara pandang masyarakat tentang pernikahan sebagai suatu keabsahan untuk melakukan hubungan seksual saja perlu diubah dengan lebih memperhatikan apa yang Allah ingin sampaikan dalam QS. Ar-Rum (30) : 21.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Menurut Nur Rofi’ah dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah, tujuan perkawinan dalam di atas jelas bukan kepuasan seks suami atas dasar kekuasaan mutlaknya pada istri. Melainkan sakinah (ketenangan jiwa) antara suami istri yang tumbuh atas dasar mawaddah warahmah (cinta dan kasih). Sehingga, etika dasar hubungan seksual dan istri adalah dapat memberikan ketenangan jiwa kepada kedua belah pihak dan dilakukan dengan cara yang mencerminkan cinta dan kasih.